Minggu, 16 Maret 2008

Love of My Life - Tinggallah Bersama Aku

Love of My Life – Tinggallah Bersama Aku!

Tahun lalu Mel Gibson menghasilkan sebuah sinematografi yang memukau dan mengiris-iris hati, tiada lain the passion of Christ. Film ini merebut cukup banyak perhatian dibandingkan dengan film-film bertema sama pada tahun-tahun sebelumnya terutama karena menghadirkan dan menekankan penderitaan Yesus yang luar biasa. Laporan Injil seolah-olah hidup di dalam mata penonton, mengaduk-aduk perasaan, sedih bercampur ngeri. Akan tetapi, passion of the Christ tetaplah sebuah tafsir tentang penderitaan Yesus. Toh ia bukan segalanya, dan identifikasi kita terhadap pribadi Yesus tidak bergantung pada film yang pernah menduduki peringkat teratas box office di bioskop-bioskop Amerika itu. Lagi pula, cukup banyak hal penting yang tidak begitu banyak disinggung dalam film ini.
Di awal pekan suci ini saya mengajak anda kembali pada Injil, menggali dan menemukan bersama realitas penderitaan Yesus yang jauh melebihi ribuan luka dan mandi darah yang hampir sedemikian ‘sadis’nya dilukiskan Gibson. Salah satu adegan terpenting yang mendahului penderitaan Yesus adalah pengalaman terminal, pengalaman yang hampir serupa sakrat maut, ketika ia berada di Getzemani. Di tempat ini Yesus harus memutuskan, melanjutkan misinya atau tidak. Karenanya pula pengalaman ini menjadi pengalaman yang sangat eksistensial.
Getzemani juga menjadi tempat perpisahan yang tragis dan karena itu pengalaman ini pun bisa disebut sebagai pengalaman perpisahan Yesus dengan para murid. Perpisahan itu sudah dimulai ketika mereka makan Paskah bersama (Mat. 26:17-25). Ia mengingatkan bahwa salah seorang dari para murid-Nya akan menyerahkan Dia. Tanda-tanda perpisahan kiranya mulai terbaca oleh para murid. Segera sesudah makan bersama, mereka berangkat menuju taman Getzemani. Yesus memilih untuk mengungsi pada Bapa di saat dia digoda oleh banyak perasaan: mungkin perasaan untuk tidak rela meninggalkan Petrus dkk. yang masih belum mengerti dan yang sungguh ia cintai; tentu saja perasaan sedih ketika tahu bahwa satu di antara orang yang dikasihinya sebentar lagi akan datang untuk menyerahkan Dia.
Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes bersamanya tidak jauh dari para murid lain yang disuruhnya menunggu dan berjaga. Kiranya ketiga orang inilah yang dari dekat mendengar keluh kesah Yesus meski mereka sendiri masih belum sepenuhnya mengerti apa yang akan terjadi.
“Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku”(ayat 38)…Betapa dalam rintihan Yesus. Dalam kesadarannya akan kematian, Ia gentar dan sedih membayangkan apa yang sedang menunggu di depan-Nya, yakni penderitaan dan kematian. Tidak siapapun dari kita yang suka menderita. Yesus pun tidak. Dia tidak masuk hitungan para masokist, orang-orang yang gemar menderita. Lihatlah, betapa Tuhan mengenakan seluruh kemanusiaan kita secara lengkap, seluruh kesepian dan ketakutan kita; yah.. memang tepat keluhan itu: “seperti mau mati rasanya.
Dia meminta para murid-Nya untuk tetap tinggal dan berjaga-jaga; sebuah pernyataan total untuk dimengerti dan dicintai; untuk tidak ditinggalkan. Saya paham betul perasaan Yesus. Yudas telah mengkhianatiNya; Ia tahu bahwa murid-murid lain dalam bahaya yang sama. Akan tetapi kepada ketiga murid inilah Dia memohonkan bantuan istimewa, apalagi setelah mendapati murid-murid lainnya malah sedang tidur (ay.40). Bisa jadi perasaannya lebih teriris-iris lagi. Bayangkan jika selama ini Dia yang selalu melayani semua permintaan orang termasuk para murid-Nya, sekarang Dialah yang meminta sesuatu dari para murid-Nya: tinggallah bersama aku. Dia ingin ditemani dan dikuatkan, supaya tidak jatuh dalam godaan yang sama: tidak setia.
Di saat yang paling genting seperti ini, apalagi menyadari bahwa mulai jelas bahwa banyak murid yang meninggalkan Dia, Dia sadar bahwa Bapa lah tempat pengungsian terbaik dan terakhir. Maka Ia berdoa pada Bapa, mempertaruhkan kepercayaan dan cinta-Nya. Dia membuka seluruh dirinya pada Bapa, semua perasaan-perasaan manusiawinya: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku”. Yesus sebanyak tiga kali menanyakan ini dalam doa-Nya (ay.39,42, 44). Artinya, bisa jadi ada tiga kali kemungkinan dan godaan bagi Yesus untuk pergi dan bahkan lari. Apalagi di seberang taman Getzemani terhampar padang pasir mahaluas di mana para penyamun dan perampok melarikan diri. Bisa pula kata-kata itu dibayangkan demikian: Tidakkah ada jalan lain daripada jalan ini? Bukankah Dia diberi kuasa? Bukankah Dia yang membangkitkan orang-orang mati dan menyembuhkan orang sakit dari penderitaan?
Akan tetapi Yesus memilih taat justru karena tahu bahwa Bapa menghendaki jalan ini. Mati untuk mencintai adalah jalan sempurna memperlihatkan wajah belas kasih Bapa pada dunia. Melampaui semua perasaan-perasaan manusiawi-Nya, Dia memperbaharui ketaatannya sebanyak tiga kali pula :” Tetapi janganlah seperti yang Kukehendai, melainkan seperti yang Engkau kehendaki!” (ay.39,42,44). Pilihan ini sungguh didasari rasa cinta dan percaya bahwa Bapa tidak pernah akan meninggalkan Dia, pun ketika semua orang meninggalkan-Nya. Rasanya kidung Yesaya tentang hamba yang menderita pas untuk menubuatkan pilihan Yesus ini:
“Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Tuhan Allah telah menolong Aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu bahwa aku tidak akan mendapat malu (Yesaya 50:40-7). Pilihan-Nya untuk tetap mengasihi Allah dan manusia membuat Dia merelakan seluruh kesetaraan-Nya dengan Allah dan mau mengenakan seluruh kemanusiaan kita, lengkap dengan seluruh takut dan ngeri di hadapan penderitaan. Inilah pilihan dasar Yesus, yang mesti jadi pilihan dasar kita semua. Dalam cakrawala cinta inilah kita layak merenungkan sengsara Tuhan di pekan yang agung ini.
Tiga kali pernyataan kesetiaan itu tentu bertolak belakang kelak dengan tiga kali penyangkalan Petrus. Kiranya fakta inilah yang betul-betul membuat Petrus kelak menangis tersedu-sedu setelah menyangkal Yesus (Mat. 26:75).
Getzemani memang tragis, perpisahan yang sungguh-sungguh tragis. Ia sudah membayangkan itu dan pantas jauh-jauh hari Ia mengingatkan ini: “Berjaga-jaga dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Mat.26:41). Seruannya kepada Petrus untuk berjaga-jaga bersama-Nya selama sejam, diperuntukkan bagi anda dan saya pula justru kita selalu mempunyai peluang yang sama untuk tidur, lupa dan akhirnya meninggalkan Yesus. “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?”
Terlalu gampang rasanya menyamakan permintaan itu dengan pergi ke Katedral menyaksikan sebuah tablo indah tentang Jesus atau lebih dari tiga kali melihat the passion nya Gibson. Terlalu mudah kita menjawab pertanyaan itu dengan keyakinan-keyakinan kita seperti ini: “Ah..gue kan udah ngaku dosa di masa prapaskah; hampir setiap hari naik kereta listrik saya selalu ngasih duit sama yang ngamen; aku kan udah rosario …mau apa lagi? Jika kita punya keyakinan-keyakinan serupa ini, tidak lain hanya mau mengatakan bahwa memang kita sedang ‘tidur lelap’.
Berdoa, yang Dia minta, pertama-tama berarti mendengarkan. Dunia sekeliling kita terlalu sering membiasakan kita berbicara daripada mendengarkan. Ada bap-bip bup getaran HP dan mengundang kita terus bicara, apalagi lagi ada IM3 dengan tarif 0,01/detik. Belum lagi segudang acara dan setumpuk jadwal kerja kita yang setiap hari menunggu. Dan jika lagi collapse, kalah, kesepian, gagal dan sejenisnya kita cepat-cepat menuntut supaya Tuhan mendengarkan kita.
Mendengarkan tiada lain ikut serta dalam seluruh pengalaman kesepian tapi juga ketaatan-Nya. Mendengarkan berarti ikut memutuskan apa yang Ia putuskan: siap menderita dan mati untuk yang lain; agar sesama bertumbuh dan bahagia. Pilihan dasar-Nya mesti menjadi pilihan dasar anda, pilihan untuk mencintai sampai akhir.
Dia tidak menghendaki kita tidur sebelum waktu, berpuas diri sebelum sungguh melaksanakan kehendak Bapa. Maka di masa dan saat yang penting ini, kita mesti bertanya: apakah kita sudah sungguh mencintai? Sudah cukupkah? Kalau belum, itulah maksudnya permintaan “berjaga-jagalah!”, yakni supaya kita terus berkembang dan maju dalam mencintai. Kita selalu belum cukup untuk mencintai, tapi kita diminta terus mencintai sampai habis. Inilah kemenangan Paskah. Semoga menjelang Paskah dan untuk selamanya kita membiasakan diri untuk selalu berdoa dan berjaga-jaga bersama Yesus.
Love of My Life adalah judul lagu yang dilantunkan dan dipopulerkan grup musik legendaries Queen. Lagu itu berisi nestapa seorang yang ditinggalkan kekasihnyai sekaligus permintaan untuk kembali setia dan mencintai-Nya. Betapapun buruknya kesan anda tentang tampang atau tingkah laku musisi ini, toh mereka tetap membantu saya memikirkan keseriusan hubungan saya dengan Tuhan. Apakah aku sedang meninggalkannya? Ini pertanyaan penting juga buat anda. Selamat mempersiapka Paskah!

Love of my life don’t leave me,
You’ve taken my love, and now desert me,
Love of my life can’t you see
Bring it back, bring it back
Don’t take it away from me
Because you don’t know
What it means to me

Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari