Selasa, 30 Juni 2009

From RHO-ers: Percayalah!

Ayat bacaan: Kejadian 15:6
====================

"Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran"

“Percaya” sudah menjadi kata yang sangat sulit dialami oleh orang kebanyakan saat ini. Mulai dari iklan-iklan di media sampai teman baik dan bahkan sampai pasangan hidup, hampir semua sulit untuk dipercaya janjinya. Tetapi tanpa “percaya” apalah artinya hidup yang kita jalani di dunia ini? Bahkan untuk sekedar mandi pagi-pun kita harus “percaya” kalau kita tidak akan terpeleset di kamar mandi. Atau ketika berjalan di jalan raya, kita juga butuh “percaya” kalau mobil atau motor kita tidak akan tertimpa papan reklame. Jika kita bahkan sudah kehilangan rasa “percaya” untuk hal-hal yang sedemikian sederhana, maka kita hanya akan menjadi orang-orang yang paranoid yang selalu mencurigai dan was-was sepanjang hari dan sepanjang usia kita. Tentunya tidak ada dari kita yang menginginkan hidup seperti demikian bukan? Lalu jika demikian bagaimana kita bisa “menghidupkan” lagi atau mungkin lebih tepat “menghidupkan ulang” rasa “percaya” itu?

Kata Ibrani yang dipakai untuk kata “percaya” pada ayat di atas adalah !m;a' (“aman” demikian bacanya). Bunyi kata Ibrani dari kata “percaya” di atas adalah AMAN! Aman! Ya, bukankah memang “percaya” itu dapat memberikan rasa aman pada jiwa kita. Kita merasa aman ketika mandi bahwa kita tidak akan terpeleset karena kita “percaya” pada keamanan dinding kamar mandi kita. Kita merasa aman ketika berkendaraan di jalan raya dan tidak akan tertimpa papan reklame karena kita “percaya” bahwa pemerintah tata kota yang memasang papan reklame itu tidak akan sembarang memasangnya.

Akhir Desember 2008 yang lalu, saya bersama dengan seorang rekan dan saudara pergi ke Dufan. Sudah beberapa kali saya ke Dufan dan mengikuti semua wahana permainan yang ada di Dufan. Akan tetapi ada satu wahana permainan yang saya belum bisa merasa “aman” untuk menaikinya. Mengapa? Karena saya belum “percaya” sama kualitas dan keamanan permainan tersebut. Nama wahana permainan tersebut adalah TORNADO! Permainan ini begitu memaksa adrenalin manusia sampai di titik puncaknya. Jadi seorang yang pendiam sekalipun pasti akan berteriak ketika duduk dan diputar-putar 360 derajat oleh mesin permainan ini.

Beberapa kali rekan dan saudara saya mengajak tetapi saya terus menolak dengan alasan rasa “aman” tadi. Tetapi waktu itu, saya berpikir. Kalau saya baru timbul rasa “aman” setelah saya cek semua baut dan oli serta karyawan yang mengelola permainan ini, maka rasanya “makna sejati” daripada permainan ini hilang! Saya akan duduk dan diputar-putar 360 derajat tanpa ada rasa apa-apa. Lalu jika demikian apa makna permainan ini? Lalu saya mencoba memberanikan diri dengan belajar “percaya” sama benda ini! Hasilnya sungguh mencengangkan saya secara pribadi: ternyata rasa “aman” itu ada SETELAH saya berani “percaya” dan “mempercayakan” diri saya pada kualitas wahana permainan tersebut!

Bukankah Abram pada ayat-ayat di atas juga merasakan rasa tidak “aman” yang besar? “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan anak yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.” (Kejadian 15:2) dan “Engkau [TUHAN] tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku.” (Kejadian 15:3). Kita semua membutuhkan rasa “aman” di dalam hidup ini. Bahkan menjelang kematianpun kita masih butuh akan rasa “aman” tentang siapa penerusku nanti. Lalu bagaimana Abram menemukan rasa “aman”-nya?

Rasa “aman” Abram tidak ditemukan di atas dasar manapun SELAIN di atas dasar FIRMAN (KATA-KATA) TUHAN! Kata (firman) Tuhan kepada Abram: “Orang ini [Eliezer] tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” (Kejadian 15:4). Setelah Abram mendengar kata-kata Tuhan ini, Alkitab mencatat: “lalu percayalah [amanlah] Abram kepada TUHAN…” Nah, percaya Abram ini timbul setelah Abram mendengarkan kata-kata (firman) Tuhan, dan lihatlah apa yang dikatakan firman kepada Abram ketika ia meng-“aman”-kan dirinya berdasarkan kata-kata Tuhan: “…maka TUHAN memperhitungkan [menghargai] hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” (Kejadian 15:6)

Filipi 4:6-7 mengatakan: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam DOA dan PERMOHONAN dengan UCAPAN SYUKUR. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Jika Allah memperhitungkan (menghargai) percaya Abram kepada-Nya, maka Allah juga akan memperhitungkan percaya kita, anak-anak Abra[ha]m, jika kita meneladani Abram yang menaruh percayanya (aman-nya) pada kata-kata Tuhan saja! Kiranya rasa “aman-percaya” kita hanya kita landaskan pada kata-kata-Nya (firman-Nya) yang kekal dan abadi!

Percayalah! Karena firman-Nya masih “berkata-kata” hingga hari ini!

From RHO-ers: Percayalah!

Ayat bacaan: Kejadian 15:6
====================

"Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran"

“Percaya” sudah menjadi kata yang sangat sulit dialami oleh orang kebanyakan saat ini. Mulai dari iklan-iklan di media sampai teman baik dan bahkan sampai pasangan hidup, hampir semua sulit untuk dipercaya janjinya. Tetapi tanpa “percaya” apalah artinya hidup yang kita jalani di dunia ini? Bahkan untuk sekedar mandi pagi-pun kita harus “percaya” kalau kita tidak akan terpeleset di kamar mandi. Atau ketika berjalan di jalan raya, kita juga butuh “percaya” kalau mobil atau motor kita tidak akan tertimpa papan reklame. Jika kita bahkan sudah kehilangan rasa “percaya” untuk hal-hal yang sedemikian sederhana, maka kita hanya akan menjadi orang-orang yang paranoid yang selalu mencurigai dan was-was sepanjang hari dan sepanjang usia kita. Tentunya tidak ada dari kita yang menginginkan hidup seperti demikian bukan? Lalu jika demikian bagaimana kita bisa “menghidupkan” lagi atau mungkin lebih tepat “menghidupkan ulang” rasa “percaya” itu?

Kata Ibrani yang dipakai untuk kata “percaya” pada ayat di atas adalah !m;a' (“aman” demikian bacanya). Bunyi kata Ibrani dari kata “percaya” di atas adalah AMAN! Aman! Ya, bukankah memang “percaya” itu dapat memberikan rasa aman pada jiwa kita. Kita merasa aman ketika mandi bahwa kita tidak akan terpeleset karena kita “percaya” pada keamanan dinding kamar mandi kita. Kita merasa aman ketika berkendaraan di jalan raya dan tidak akan tertimpa papan reklame karena kita “percaya” bahwa pemerintah tata kota yang memasang papan reklame itu tidak akan sembarang memasangnya.

Akhir Desember 2008 yang lalu, saya bersama dengan seorang rekan dan saudara pergi ke Dufan. Sudah beberapa kali saya ke Dufan dan mengikuti semua wahana permainan yang ada di Dufan. Akan tetapi ada satu wahana permainan yang saya belum bisa merasa “aman” untuk menaikinya. Mengapa? Karena saya belum “percaya” sama kualitas dan keamanan permainan tersebut. Nama wahana permainan tersebut adalah TORNADO! Permainan ini begitu memaksa adrenalin manusia sampai di titik puncaknya. Jadi seorang yang pendiam sekalipun pasti akan berteriak ketika duduk dan diputar-putar 360 derajat oleh mesin permainan ini.

Beberapa kali rekan dan saudara saya mengajak tetapi saya terus menolak dengan alasan rasa “aman” tadi. Tetapi waktu itu, saya berpikir. Kalau saya baru timbul rasa “aman” setelah saya cek semua baut dan oli serta karyawan yang mengelola permainan ini, maka rasanya “makna sejati” daripada permainan ini hilang! Saya akan duduk dan diputar-putar 360 derajat tanpa ada rasa apa-apa. Lalu jika demikian apa makna permainan ini? Lalu saya mencoba memberanikan diri dengan belajar “percaya” sama benda ini! Hasilnya sungguh mencengangkan saya secara pribadi: ternyata rasa “aman” itu ada SETELAH saya berani “percaya” dan “mempercayakan” diri saya pada kualitas wahana permainan tersebut!

Bukankah Abram pada ayat-ayat di atas juga merasakan rasa tidak “aman” yang besar? “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan anak yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.” (Kejadian 15:2) dan “Engkau [TUHAN] tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku.” (Kejadian 15:3). Kita semua membutuhkan rasa “aman” di dalam hidup ini. Bahkan menjelang kematianpun kita masih butuh akan rasa “aman” tentang siapa penerusku nanti. Lalu bagaimana Abram menemukan rasa “aman”-nya?

Rasa “aman” Abram tidak ditemukan di atas dasar manapun SELAIN di atas dasar FIRMAN (KATA-KATA) TUHAN! Kata (firman) Tuhan kepada Abram: “Orang ini [Eliezer] tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” (Kejadian 15:4). Setelah Abram mendengar kata-kata Tuhan ini, Alkitab mencatat: “lalu percayalah [amanlah] Abram kepada TUHAN…” Nah, percaya Abram ini timbul setelah Abram mendengarkan kata-kata (firman) Tuhan, dan lihatlah apa yang dikatakan firman kepada Abram ketika ia meng-“aman”-kan dirinya berdasarkan kata-kata Tuhan: “…maka TUHAN memperhitungkan [menghargai] hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” (Kejadian 15:6)

Filipi 4:6-7 mengatakan: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam DOA dan PERMOHONAN dengan UCAPAN SYUKUR. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Jika Allah memperhitungkan (menghargai) percaya Abram kepada-Nya, maka Allah juga akan memperhitungkan percaya kita, anak-anak Abra[ha]m, jika kita meneladani Abram yang menaruh percayanya (aman-nya) pada kata-kata Tuhan saja! Kiranya rasa “aman-percaya” kita hanya kita landaskan pada kata-kata-Nya (firman-Nya) yang kekal dan abadi!

Percayalah! Karena firman-Nya masih “berkata-kata” hingga hari ini!

Senin, 29 Juni 2009

The Choice is Yours

Ayat bacaan: Ulangan 30:19
======================
"Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu"

the choice is yours, hidup penuh pilihan, pilih kehidupan atau kematianBeberapa hari belakangan ini saya melihat hal-hal yang memprihatinkan. Ada seorang teman yang ternyata tega menjual harga diri dan kehormatan dirinya, mengkhianati orang yang selama ini mengasihinya dengan tulus demi sejumlah uang, Ada juga yang tidak lagi sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan tapi bergeser pada individu-individu tertentu yang dianggap bisa membahagiakan hidup mereka. Ada yang mulai menjauh dari Tuhan sehingga mulai sulit menangkap apa rencana Tuhan dalam hidupnya. Dia menjadi sulit mendengar pesan Tuhan, lebih tepatnya mulai merasa bahwa ia hanyalah sendirian berjuang menghadapi permasalahan hidupnya. Beberapa hari yang lalu saya mendengar sebuah suara dalam hati saya. Kira-kira demikian yang saya dengar. Apakah Tuhan menganugerahkan keselamatan dan rancangan damai sejahteraNya pada semua orang? Ya. Semua orang tanpa terkecuali dianugerahkan keselamatan dan perencanaan akan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya. Tapi ingat, ada kehendak bebas pada manusia. Setiap keputusan atau pilihan yang kita ambil akan membawa hasil yang berbeda. Apakah kita ikut apa kata Tuhan, apakah kita menyerahkan hidup kita ke dalam tanganNya, menjalani sesuai kehendakNya, atau kita fokus pada hal-hal yang menurut kita sendiri terbaik buat kita, meski itu bertentangan dengan firman Tuhan, apakah kita memilih untuk patuh mengikuti rencanaNya atau hanya mendasarkan keputusan kita terpusat pada diri sendiri, itu semua adalah pilihan. Kesimpulan yang saya dapat adalah, ya, Tuhan memberikan anugerahNya akan keselamatan dan rancangan terbaik untuk hari depan pada semua orang, namun kepada kita diberikan kehendak bebas (free will) untuk mengikuti atau menolakNya. The choice is up to us.

Ayat hari ini hadir dalam hati saya ketika mendengar suara di atas. "Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu" (Ulangan 30:19). Tuhan menjanjikan segala yang terbaik, penyertaan, pertolongan dan berkat-berkat luar biasaNya kepada kita, sebaliknya ada konsekuensi dari dosa dan pilihan-pilihan kita yang bertolak belakang dengan kehendak Tuhan. Kita bisa berbuat dosa, kita bisa hidup benar. Kita bisa menolak Tuhan, kita bisa menerimaNya. Kita bisa memilih untuk baik, bisa pula memilih untuk jahat. Kita bisa memilih kehidupan, kita bisa memilih kematian. Kita bisa memilih berkat, kita bisa memilih kutuk. Itu tergantung kita. Meski demikian, kita diingatkan agar mau membuka mata untuk memilih kehidupan. Mengapa? Supaya kita hidup, baik kita sendiri maupun keturunan kita. Mari kita baca lanjutannya. "dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka." (ay 20). Memilih kehidupan ternyata berkaitan dengan mendengarkan suaraNya, bergantung padaNya dan mengasihiNya. Itulah yang dimaksud dengan memilih kehidupan, dan bukan kematian.

Sulitkah untuk melakukan itu? Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan hal tersebut. "Sebab perintah ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh." (ay 11). Itu bukan di langit, bukan di seberang laut (ay 12-13), maksudnya tidaklah jauh atau sulit untuk diraih, tapi kenyataannya hal tersebut sangatlah dekat. "Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan."(ay 14). Tuhan setiap hari berbicara kepada kita dengan banyak cara. Rajin membaca Alkitab akan membawa kita semakin tahu rencana Tuhan. Kita pun akan dibimbing langsung oleh Roh Kudus untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika firman itu menjadi rhema dalam diri kita, maka hati kita akan berfungsi banyak untuk membuat kita peka mengetahui mana yang baik dan yang buruk. "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Hati kita haruslah kita jaga, dan terus disuburkan dengan firman Tuhan, karena dari situlah terpancar kehidupan.

Apa yang saya lihat beberapa hari ini memberi pelajaran penting. Status, gelar, kepandaian seseorang tidaklah menjamin orang untuk berlaku benar. Tertulis sebagai pengikut Kristus pun belum menjamin orang untuk hidup sesuai kehendak Tuhan, jika ia tidak mendengar firmanNya, terlebih tidak melakukan firmanNya dan hanya fokus pada kepentingan-kepentingan duniawi saja. Begitu banyak anak-anak Tuhan yang jatuh pada banyak hal, terutama 3 ta (tahta, harta dan wanita). Ada begitu banyak lubang menganga di depan kita. Apakah kita mau melompat melewati lubang-lubang itu atau memilih untuk jatuh, itu adalah pilihan. Pilihan dan keputusan kita hendaklah senantiasa didasarkan pada kehendak Tuhan, bukan atas diri kita sendiri. Ulangan 28 menjelaskan secara rinci mengenai berkat dan kutuk. Berkat, apabila kita melakukan hal ini: "Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini...." (Ulangan 28:1), sementara kutuk akan jatuh bila demikian: "Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini." (ay 15). Tuhan menjanjikan segala yang terbaik bagi kita karena kasihNya begitu besar pada kita, tapi hidup penuh dengan pilihan. Pilihan dan keputusan yang kita ambil hari ini akan menentukan bagaimana kita kelak di kemudian hari. Jagalah hati dan diri kita, penuhi dengan firman Tuhan. Pilih kehidupan atau kematian? The choice is yours. Jangan sampai salah pilih.

Hidup penuh pilihan, maka berhati-hatilah dalam memilih

The Choice is Yours

Ayat bacaan: Ulangan 30:19
======================
"Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu"

the choice is yours, hidup penuh pilihan, pilih kehidupan atau kematianBeberapa hari belakangan ini saya melihat hal-hal yang memprihatinkan. Ada seorang teman yang ternyata tega menjual harga diri dan kehormatan dirinya, mengkhianati orang yang selama ini mengasihinya dengan tulus demi sejumlah uang, Ada juga yang tidak lagi sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan tapi bergeser pada individu-individu tertentu yang dianggap bisa membahagiakan hidup mereka. Ada yang mulai menjauh dari Tuhan sehingga mulai sulit menangkap apa rencana Tuhan dalam hidupnya. Dia menjadi sulit mendengar pesan Tuhan, lebih tepatnya mulai merasa bahwa ia hanyalah sendirian berjuang menghadapi permasalahan hidupnya. Beberapa hari yang lalu saya mendengar sebuah suara dalam hati saya. Kira-kira demikian yang saya dengar. Apakah Tuhan menganugerahkan keselamatan dan rancangan damai sejahteraNya pada semua orang? Ya. Semua orang tanpa terkecuali dianugerahkan keselamatan dan perencanaan akan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya. Tapi ingat, ada kehendak bebas pada manusia. Setiap keputusan atau pilihan yang kita ambil akan membawa hasil yang berbeda. Apakah kita ikut apa kata Tuhan, apakah kita menyerahkan hidup kita ke dalam tanganNya, menjalani sesuai kehendakNya, atau kita fokus pada hal-hal yang menurut kita sendiri terbaik buat kita, meski itu bertentangan dengan firman Tuhan, apakah kita memilih untuk patuh mengikuti rencanaNya atau hanya mendasarkan keputusan kita terpusat pada diri sendiri, itu semua adalah pilihan. Kesimpulan yang saya dapat adalah, ya, Tuhan memberikan anugerahNya akan keselamatan dan rancangan terbaik untuk hari depan pada semua orang, namun kepada kita diberikan kehendak bebas (free will) untuk mengikuti atau menolakNya. The choice is up to us.

Ayat hari ini hadir dalam hati saya ketika mendengar suara di atas. "Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu" (Ulangan 30:19). Tuhan menjanjikan segala yang terbaik, penyertaan, pertolongan dan berkat-berkat luar biasaNya kepada kita, sebaliknya ada konsekuensi dari dosa dan pilihan-pilihan kita yang bertolak belakang dengan kehendak Tuhan. Kita bisa berbuat dosa, kita bisa hidup benar. Kita bisa menolak Tuhan, kita bisa menerimaNya. Kita bisa memilih untuk baik, bisa pula memilih untuk jahat. Kita bisa memilih kehidupan, kita bisa memilih kematian. Kita bisa memilih berkat, kita bisa memilih kutuk. Itu tergantung kita. Meski demikian, kita diingatkan agar mau membuka mata untuk memilih kehidupan. Mengapa? Supaya kita hidup, baik kita sendiri maupun keturunan kita. Mari kita baca lanjutannya. "dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka." (ay 20). Memilih kehidupan ternyata berkaitan dengan mendengarkan suaraNya, bergantung padaNya dan mengasihiNya. Itulah yang dimaksud dengan memilih kehidupan, dan bukan kematian.

Sulitkah untuk melakukan itu? Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan hal tersebut. "Sebab perintah ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh." (ay 11). Itu bukan di langit, bukan di seberang laut (ay 12-13), maksudnya tidaklah jauh atau sulit untuk diraih, tapi kenyataannya hal tersebut sangatlah dekat. "Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan."(ay 14). Tuhan setiap hari berbicara kepada kita dengan banyak cara. Rajin membaca Alkitab akan membawa kita semakin tahu rencana Tuhan. Kita pun akan dibimbing langsung oleh Roh Kudus untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika firman itu menjadi rhema dalam diri kita, maka hati kita akan berfungsi banyak untuk membuat kita peka mengetahui mana yang baik dan yang buruk. "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Hati kita haruslah kita jaga, dan terus disuburkan dengan firman Tuhan, karena dari situlah terpancar kehidupan.

Apa yang saya lihat beberapa hari ini memberi pelajaran penting. Status, gelar, kepandaian seseorang tidaklah menjamin orang untuk berlaku benar. Tertulis sebagai pengikut Kristus pun belum menjamin orang untuk hidup sesuai kehendak Tuhan, jika ia tidak mendengar firmanNya, terlebih tidak melakukan firmanNya dan hanya fokus pada kepentingan-kepentingan duniawi saja. Begitu banyak anak-anak Tuhan yang jatuh pada banyak hal, terutama 3 ta (tahta, harta dan wanita). Ada begitu banyak lubang menganga di depan kita. Apakah kita mau melompat melewati lubang-lubang itu atau memilih untuk jatuh, itu adalah pilihan. Pilihan dan keputusan kita hendaklah senantiasa didasarkan pada kehendak Tuhan, bukan atas diri kita sendiri. Ulangan 28 menjelaskan secara rinci mengenai berkat dan kutuk. Berkat, apabila kita melakukan hal ini: "Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini...." (Ulangan 28:1), sementara kutuk akan jatuh bila demikian: "Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini." (ay 15). Tuhan menjanjikan segala yang terbaik bagi kita karena kasihNya begitu besar pada kita, tapi hidup penuh dengan pilihan. Pilihan dan keputusan yang kita ambil hari ini akan menentukan bagaimana kita kelak di kemudian hari. Jagalah hati dan diri kita, penuhi dengan firman Tuhan. Pilih kehidupan atau kematian? The choice is yours. Jangan sampai salah pilih.

Hidup penuh pilihan, maka berhati-hatilah dalam memilih

50 Ways to a Better You

1. Take naps. Researchers at Harvard found an hour nap was as beneficial as a full night's sleep.

2. Don't take things personally. It's not raining on you alone. And maybe the waiter's dog just died.

3. Breathe. Holding your breath increases muscle tension.

4. When it's your turn to listen, don't think. Thinking interferes with hearing.

5. Eat only when you're hungry. If you're not hungry, but you're eating anyway, it's not food you're needing.

Read more......

BUAH ROH: KESABARAN

“...Kalau kami (Paulus dan rekan-rekan) dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar;” 1 Korintus 4:12

Kesabaran berasal dari kata Yunani MACROTHUMIA yang merupakan gabungan dari dua kata: macro yang berarti panjang, dan thumos yang artinya temperamen. Jadi kesabaran itu menunjuk pada pengertian tentang kemarahan yang memerlukan waktu yang sangat panjang untuk membangkitkannya sebelum kemarahan itu dinyatakan; amarah yang terkendali. Tidak sedikit dari kita yang memiliki temperamen pendek, artinya mudah sekali kehilangan kesabaran dan menjadi marah; tersinggung dengan kata-kata yang kurang mengenakkan saja amarah kita langsung meledak dan tak terkendali. Pemazmur mengingatkan, “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.” (Mazmur 37:8). Namun ada juga orang-orang yang mampu mengendalikan amarah dan bisa sabar terhadap orang lain.

Kesabaran adalah lawan dari kemarahan yang tidak pada tempatnya, kemampuan untuk menahan diri dalam menghadapi situasi-situasi sulit. Musa, sebagai seorang pemimpin yang juga manusia biasa, terkadang tidak bisa menahan amarahnya terhadap orang-orang Israel karena ketidaktaatan mereka kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyuruh Musa untuk berbicara kepada batu agar batu itu mengeluarkan air, Musa malah memukul batu itu. Ketidaksabarannya menyebabkan Musa tidak diijinkan Tuhan untuk memasuki Tanah Perjanjian. Bisa disimpulkan bahwa orang yang sabar sekali pun ada batasnya. Maka kita sangat membutuhkan Roh Kudus agar kita memiliki kesabaran di segala situasi, karena cepat atau lambat kita akan sampai pada batas kesabaran kita.

Begitu pentingnya kesabaran dalam hidup orang percaya sehingga firman Tuhan menempatkannya pada urutan tertentu. Bila kita sudah memiliki kasih, sukacita dan damai sejahtera, kesabaran akan hadir. Tuhan Yesus sendiri telah memberi teladan hidup kepada kita, bagaimana Ia tetap sabar terhadap orang-orang yang menganiaya dan menyalibkan Dia di kayu salib, tidak ada amarah sama sekali. Dan sabar adalah sifat Allah; Dia sabar terhadap setiap orang. Sebagai anak-anakNya, sudah seharusnya kita mewarisi sifat-sifat Bapa kita. Jika tidak, lalu kita ini anak siapa?

Milikilah kesabaran, karena “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan,...” Amsal 16:32

10 Hal yang Di Inginkan Oleh Anak

Sebagai orang tua, kebanyakan dari kita lebih memperhatikan perilaku anak, dan bukannya perilaku kita sebagai orang tua. Tentu ini sesuatu yang tak adil bagi anak. Cobalah lihat diri Anda dari sudut pandang anak. Penelitian terhadap seratus ribu anak menunjukkan, ada 10 hal yang paling diinginkan anak dari orang tua mereka:

1. Tidak bertengkar di hadapan mereka.
Anak selalu mencontoh tindakan orang tua. Apa jadinya jika setiap hari orang tua adu mulut di hadapan mereka?

2. Berlaku adil terhadap semua anak-anaknya.
Setiap anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Yang mereka butuhkan bukan perlakuan yang sama, melainkan perlakuan yang adil, sesuai kebutuhan masing-masing anak.

3. Orang tua yang jujur.
Orang tua yang meminta anaknya berbohong, tentu tidak sadar pada apa yang tengah dilakukannya. Sekali lagi, anak mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya.

4. Toleran terhadap orang lain.
Toleransi akan mengajarkan anak untuk menghargai perbedaan.

5. Selalu menyambut teman-teman mereka dengan ramah.

6. Mau membangun semangat tim bersama mereka.
Kekompakan antar-orang tua dan anak akan sangat berpengaruh saat anak beranjak dewasa.

7. Mau menjawab setiap pertanyaan mereka.
Luangkan waktu untuk mereka. Jika Anda tak mampu menjawab, katakan Anda akan mencari tahu lebih dulu.

8. Mau mengajarkan disiplin,
namun tidak di depan orang lain, terutama teman-teman mereka. Intinya, jagalah perasaan anak.

9. Lebih melihat sisi positif ketimbang sisi buruk mereka.

10. Konsisten.
Bayangkan, apa yang dirasakan anak jika hari ini Anda menjawab A dan besok menjawab B untuk pertanyaan yang sama yang diajukan anak.

PLAYER AND PRAYER

"Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, IA bangun dan pergi ke luar. IA pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana" (Markus 1:35)

Seorang pemain basket sebuah SMU memiliki kebiasaan yang sangat baik. Setiap usai melakukan pertandingan, dia selalu masuk ke ruang ganti sendirian dan berdoa di sana. Suatu kali pelatihnya melihat apa yang dia lakukan. "Apakah engkau baik-baik saja, Nak?" tanyanya dengan nada peduli. "Oh, saya tidak apa-apa. Saya hanya berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan atas pertandingan hari ini" jawab murid SMU itu.

Empat belas tahun kemudian, pemuda itu telah menjadi seorang pendeta dan penulis terkenal serta pembicara motivasi internasional. Sementara, si pelatih basket mengalami krisis di dalam rumah tangganya. Dia mendatangi pendeta yang mantan muridnya dan berkata, "Saya telah mengamatimu bermain dan saya juga telah mengamatimu berdoa. Saya membutuhkan apa yang kamu lakukan" Pembicara publik terkenal itu menyanggupinya dan berhasil menyelesaikan masalah ex-pelatihnya. Pendeta itu bernama John C. Maxwell.

Para sahabat seiman, kisah sejati di atas membuktikan sekali lagi bahwa sinergi antara player (pemain) dan prayer (pendoa) sungguh dahsyat. Kita juga bisa memakai sinergi yang sama antara bekerja dan berdoa. Saat Anda membaca renungan ini, semakin banyak saja para profesional atau karyawan yang mengadakan persekutuan doa di kantornya. "Ternyata produktivitas kami justru semakin meningkat," ujar seorang pemilik usaha penerbitan. Mari kita mengikuti jejak John C. Maxwell...

Minggu, 28 Juni 2009

Kalau Ayah Juga Ikut Melahirkan…


Kalau Ayah Juga Ikut Melahirkan…
Saya kurang tahu apakah anda sepakat kalau suami adalah orang pertama yang paling kuatir dan paling takut pada saat proses persalinan istrinya berlangsung. Mungkin pengalaman saya terlalu partikular untuk menyatakan ini : ketika saya melihat papa saya menunggu kelahiran adik bungsu lebih dari delapan belas tahun lalu. Saya percaya masih banyak lagi pria-pria yang hidup sebagai suami yang setia sekarang ini menunggu kelahiran anak mereka di ruang bersalin, poliklinik dan rumah-rumah sakit di seluruh dunia.
Saya mau memberi perhentian atau jeda secukupnya atas pengalaman banal atau yang mungkin tidak kita perhitungkan istimewa mengingat bahwa peran ibu sebagai tokoh penting kelahiran kehidupan baru tidak tergantikan dan tidak bisa disejajarkan dengan peran ayah. Saya memberi jedah, karena saya menemukan bahwa meskipun peran ayah tidak sama dengan peran ibu, toh tidak berarti tak punya nilai... Pribadi ayah adalah juga bagian penting dari proses terjadinya kita.
Kata melahirkan selalu dan tak dapat ditampik kita terapkan pada ibu, pada perempuan yang melahirkan. Dengan melahirkan, perempuan menjadi atau makin menegaskan peran keibuannya. Di mana tempat pria atau lebih tepat ayah dalam makna yang mau ditunjukkan kata kerja itu ? Rasanya perlu bertanya lagi pada ayah kita, (kalau masih hidup) apa yang dia lakukan ketika ibu kita menghadapi detik-detik persalinan kita. Kecemasan, apakah kita lahir selamat atau tidak, ketakutan akan resiko yang terjadi pada sang istri tercinta yang bersatu dengan kerinduan dan harapan melihat kehidupan baru membuat ayah saya, -dan saya percaya terjadi pada banyak ayah dan suami – tetap berjaga tiap malam sejak ibu memasuki bulan kesembilan perkandungan, saat dia mulai mengeluh sakit hingga akhirnya melahirkan…Sikap berjaga seorang ayah adalah manifestasi kehendaknya agar kita ada dan hidup, sikap berjaganya adalah sebuah penyambutan. Dan dari sana saya mengerti, kita tidak cukup lahir dari rahim ibu, tapi juga lahir dari hati ibu dan ayah kita. Keduanya menghendaki kita ada, itulah yang melahirkan kita.
Saya mengenang ini setelah membaca kisah Yesus Menghardik Angin Ribut. Murid-murid yang menyeberangi danau dengan perahu tiba-tiba disergap angin badai yang membuat laut menggelora dan mengombang-ambingkan perahu mereka. Sementara Yesus masih tertidur di buritan. “Tuhan apakah engkau tak peduli kalau kita binasa?” teriak seorang murid yang ketakutan. Tuhan bangun lalu menghardik laut hingga tenang.
Ayah membantu saya memahami inti kisah ini, yakni Allah yang senantiasa berjaga meski dia nampak seolah tidur dan tak peduli. Seperti ayah yang selalu berjaga menanti kelahiran anaknya atau seperti ibu yang selalu berjaga di hari-hari pertama kelahiran sang bayi, demikian Tuhan mengingat kita dalam hatinya dan melindungi kita. Tidak keliru kalau Yesus mengigatkan bahwa tak satupun rambut di kepalamu yang tak terhitung oleh Bapa di surga. Saya ingat pula dua atau tiga tahun lalu di Carolus saat menunggui seorang konfrater dalam keadaan koma berat. Ada sedikit ngeri dan takut kalau dia mati saat saya yang menunggui. Lebih takut lagi kalau itu terjadi sementara saya tertidur atau berada di luar kamar jaga. Mengingat kembali peristiwa itu, saya mengerti sekarang bahwa Tuhan sejak kita dilahirkan hingga saat kematiaan kita, senantiasa di samping, senantiasa berjaga menemani kita menghabiskan satu perjalanan kehidupan yang indah. Saya percaya, Tuhan jauh lebih setia dan lebih sungguh berjaga di samping konfrater saya sehingga akhirnya dia sembuh.
Tuhan yang tidur adalah Tuhan yang lupa…Tapi eeiitt, sabar dulu, dia bukannya lupa atau tidak peduli kalau kita, seperti para murid, akan binasa. Hanya satu yang ia lupakan yakni bahwa kita selalu bisa lupa percaya padanya. Dia sedemikian mencintai kita sehingga dia lupa yang satu ini dan selalu bisa tak terbatas memaafkan ketidakpercayaan kita…

Salam

Ronald,Sx

Yaoundé-Cameroun

Menyikapi Kemerdekaan

Ayat bacaan: Galatia 5:13
==================
"Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih."


menyikapi kemerdekaan, mengisi kemerdekaanReformasi secara luar biasa mengubah begitu banyak hal di Indonesia mengenai kemerdekaan atau kebebasan. Sekarang kita jauh lebih bebas untuk mengekspresikan diri, mengeluarkan unek-unek dan berpendapat. Itu sebuah sisi positif yang mendapat pujian dari banyak negara-negara di belahan dunia. Tapi di sisi lain, kita melihat efek samping dari reformasi. Kebebasan seringkali diartikan dengan bebas sebebas-bebasnya berbuat apapun. Akhirnya kelompok-kelompok ekstrim kini menampakkan diri dengan mengatasnamakan kebebasan. Aksi-aksi anarkhis, kekerasan, pemaksaan kehendak dari mayoritas pada minoritas, bentuk-bentuk tekanan, dan sebagainya, muncul sebagai konsekuensi dari pemahaman keliru mengenai kebebasan. Salah seorang teman pernah berkata, jika begini jadinya, lebih baik tidak usah reformasi. Bangsa kita ternyata belum siap untuk menerima kebebasan dan perbedaan pendapat secara dewasa. Yang lain berpendapat, kita adalah sebuah bangsa yang terlalu lama disuapi, dan ketika keran kebebasan dibuka, banyak yang menjadi salah tingkah dan akhirnya "keblinger". Just like two sides of coin, selalu saja ada sisi positif dan negatif dalam kehidupan. Yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana cara menyikapi sebuah kemerdekaan. Dan hari ini saya ingin berbagi firman Tuhan yang menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap atas sebuah kemerdekaan atau kebebasan.

Apakah kita sudah dimerdekakan? Lewat karya penebusan Kristus, kita sudah dimerdekakan. "Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:18). "Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan." (Galatia 5:1). Jika demikian, pertanyaannya adalah bukan lagi apakah kita sudah merdeka atau tidak, melainkan bagaimana kita mengisi kemerdekaan itu. Apa yang harus kita lakukan, bagaimana kita menyikapinya. Ayat bacaan hari ini dengan jelas berisikan firman Tuhan mengenai hal itu. "Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih." (Galatia 5:13). Kemerdekaan yang kita peroleh lewat karya penebusan Kristus di atas kayu salib bukan berarti bahwa kita bisa berbuat seenaknya. Ada banyak orang yang memahami kemerdekaan sebagai sebuah kebebasan untuk berbuat sesuka hati. Melakukan dosa sebebasnya, toh nanti Tuhan akan mengampuni. Ini bentuk kebebasan yang keliru, memanfaatkan Tuhan untuk hal-hal jelek atau jahat yang kita lakukan. Kemerdekaan adalah karunia Tuhan atas kita, karena kasihNya yang begitu besar. Dan ketika kita menerima kasih sedemikan rupa yang memerdekakan dari Tuhan, bukankah seharusnya kita pun terpanggil untuk mengasihi orang lain lebih lagi? Inilah bentuk mengisi kemerdekakan yang difirmankan Tuhan. "Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!" (ay 14). Ini adalah pesan yang sangat penting agar kita tidak keliru mengartikan sebuah kemerdekaan yang dikaruniakan Tuhan pada kita.

"Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut." (Roma 8:3) Bagaimana bisa demikian? "Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan." (2 Korintus 3:17). Ketika ada Roh yang memberi kemerdekaan, maka seharusnya kita akan menghasilkan buah-buah Roh seperti yang tertulis pada Galatia 5:22-23. "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22-23). Jadi alangkah ironisnya apabila kemerdekaan yang kita peroleh malah membuat kita menuruti keinginan daging dengan sebebasnya. Padahal jelas dikatakan bahwa keinginan Roh bertentangan dengan keinginan daging. (ay 17). Sebagaimana Roh memerdekakan dalam Kristus, kita pun harus menghasilkan buah-buah Roh dalam kehidupan kita, dimana Tuhan bisa dipermuliakan.

Ketika dunia mengartikan kemerdekaan sebagai sebuah kebebasan tanpa batas untuk melakukan apa yang mereka sukai seenaknya, kita haruslah berbeda. Kita menyikapi kemerdekaan dengan ucapan syukur dan sukacita, dan mengisinya dengan menyatakan kasih kepada orang-orang di sekitar kita. Itulah sebuah bentuk yang sangat baik sebagai sebuah apresiasi akan besarnya kasih Tuhan yang telah memerdekakan kita. Kasih adalah inti dasar kekristenan, dan itulah yang seharusnya kita pakai sebagai landasan untuk mewartakan kabar gembira dan keselamatan di dalam Kristus. Kita semua sudah dipanggil untuk merdeka. Puji Tuhan untuk itu. Marilah kita menjaga diri kita agar tidak menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk berbuat dosa. Sebaliknya mari kita menyatakan kasih dengan segala tingkah laku dan perbuatan kita kepada sesama kita, tanpa membedakan apapun latar belakang mereka.

Hasilkan buah-buah Roh untuk mengisi kemerdekaan yang telah dikaruniakan Tuhan

Menyikapi Kemerdekaan

Ayat bacaan: Galatia 5:13
==================
"Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih."


menyikapi kemerdekaan, mengisi kemerdekaanReformasi secara luar biasa mengubah begitu banyak hal di Indonesia mengenai kemerdekaan atau kebebasan. Sekarang kita jauh lebih bebas untuk mengekspresikan diri, mengeluarkan unek-unek dan berpendapat. Itu sebuah sisi positif yang mendapat pujian dari banyak negara-negara di belahan dunia. Tapi di sisi lain, kita melihat efek samping dari reformasi. Kebebasan seringkali diartikan dengan bebas sebebas-bebasnya berbuat apapun. Akhirnya kelompok-kelompok ekstrim kini menampakkan diri dengan mengatasnamakan kebebasan. Aksi-aksi anarkhis, kekerasan, pemaksaan kehendak dari mayoritas pada minoritas, bentuk-bentuk tekanan, dan sebagainya, muncul sebagai konsekuensi dari pemahaman keliru mengenai kebebasan. Salah seorang teman pernah berkata, jika begini jadinya, lebih baik tidak usah reformasi. Bangsa kita ternyata belum siap untuk menerima kebebasan dan perbedaan pendapat secara dewasa. Yang lain berpendapat, kita adalah sebuah bangsa yang terlalu lama disuapi, dan ketika keran kebebasan dibuka, banyak yang menjadi salah tingkah dan akhirnya "keblinger". Just like two sides of coin, selalu saja ada sisi positif dan negatif dalam kehidupan. Yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana cara menyikapi sebuah kemerdekaan. Dan hari ini saya ingin berbagi firman Tuhan yang menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap atas sebuah kemerdekaan atau kebebasan.

Apakah kita sudah dimerdekakan? Lewat karya penebusan Kristus, kita sudah dimerdekakan. "Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:18). "Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan." (Galatia 5:1). Jika demikian, pertanyaannya adalah bukan lagi apakah kita sudah merdeka atau tidak, melainkan bagaimana kita mengisi kemerdekaan itu. Apa yang harus kita lakukan, bagaimana kita menyikapinya. Ayat bacaan hari ini dengan jelas berisikan firman Tuhan mengenai hal itu. "Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih." (Galatia 5:13). Kemerdekaan yang kita peroleh lewat karya penebusan Kristus di atas kayu salib bukan berarti bahwa kita bisa berbuat seenaknya. Ada banyak orang yang memahami kemerdekaan sebagai sebuah kebebasan untuk berbuat sesuka hati. Melakukan dosa sebebasnya, toh nanti Tuhan akan mengampuni. Ini bentuk kebebasan yang keliru, memanfaatkan Tuhan untuk hal-hal jelek atau jahat yang kita lakukan. Kemerdekaan adalah karunia Tuhan atas kita, karena kasihNya yang begitu besar. Dan ketika kita menerima kasih sedemikan rupa yang memerdekakan dari Tuhan, bukankah seharusnya kita pun terpanggil untuk mengasihi orang lain lebih lagi? Inilah bentuk mengisi kemerdekakan yang difirmankan Tuhan. "Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!" (ay 14). Ini adalah pesan yang sangat penting agar kita tidak keliru mengartikan sebuah kemerdekaan yang dikaruniakan Tuhan pada kita.

"Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut." (Roma 8:3) Bagaimana bisa demikian? "Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan." (2 Korintus 3:17). Ketika ada Roh yang memberi kemerdekaan, maka seharusnya kita akan menghasilkan buah-buah Roh seperti yang tertulis pada Galatia 5:22-23. "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." (Galatia 5:22-23). Jadi alangkah ironisnya apabila kemerdekaan yang kita peroleh malah membuat kita menuruti keinginan daging dengan sebebasnya. Padahal jelas dikatakan bahwa keinginan Roh bertentangan dengan keinginan daging. (ay 17). Sebagaimana Roh memerdekakan dalam Kristus, kita pun harus menghasilkan buah-buah Roh dalam kehidupan kita, dimana Tuhan bisa dipermuliakan.

Ketika dunia mengartikan kemerdekaan sebagai sebuah kebebasan tanpa batas untuk melakukan apa yang mereka sukai seenaknya, kita haruslah berbeda. Kita menyikapi kemerdekaan dengan ucapan syukur dan sukacita, dan mengisinya dengan menyatakan kasih kepada orang-orang di sekitar kita. Itulah sebuah bentuk yang sangat baik sebagai sebuah apresiasi akan besarnya kasih Tuhan yang telah memerdekakan kita. Kasih adalah inti dasar kekristenan, dan itulah yang seharusnya kita pakai sebagai landasan untuk mewartakan kabar gembira dan keselamatan di dalam Kristus. Kita semua sudah dipanggil untuk merdeka. Puji Tuhan untuk itu. Marilah kita menjaga diri kita agar tidak menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk berbuat dosa. Sebaliknya mari kita menyatakan kasih dengan segala tingkah laku dan perbuatan kita kepada sesama kita, tanpa membedakan apapun latar belakang mereka.

Hasilkan buah-buah Roh untuk mengisi kemerdekaan yang telah dikaruniakan Tuhan

Sabtu, 27 Juni 2009

Persekutuan

Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25
========================
"Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat."

persekutuanSemenjak aktif dalam persekutuan keluarga, saya memasuki sebuah fase baru kehidupan yang lebih menyenangkan. Memang menyenangkan bisa berkumpul dengan beberapa keluarga lain yang saat ini dekatnya sudah terasa seperti saudara sendiri. Kita saling menguatkan, saling menasihati, dan bersama-sama berdoa dan memuliakan Tuhan lewat pujian/penyembahan dalam tiap pertemuan seminggu sekali. Saya bersyukur mendapatkan sebuah persekutuan yang serasi, dan kami semua sama-sama bertumbuh. Saya menyadari betul bahwa sebagai manusia, kita harus menyadari bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan sendirian. No man is an island. Kita harus hidup berinteraksi dan saling bantu, sebagai sosok mahluk sosial di bumi ini. Seorang teman persekutuan pernah mengalami masalah dengan pekerjaannya, namun dengan kuatnya persaudaraan dalam persekutuan, ia tidak sampai jatuh, malah kini sudah bangkit lagi.

Ada kalanya kita kuat, disaat kuat adalah baik jika kita menguatkan saudara-saudara kita yang tengah ditimpa masalah. Sebaliknya ada saat dimana kita sedang lemah, di saat itu saudara-saudara kita yang tengah dalam keadaan baik mendukung kita. That's how it works. Kita saling mengingatkan, saling menasehati, saling mendukung, saling support. Sebagai manusia kita bisa mengalami "ups and downs", dan itu wajar. Di saat-saat "down" itu kita membutuhkan saudara-saudara seiman yang bisa menguatkan, mengingatkan bahwa kita jangan sampai jatuh. Ada orang-orang yang peduli, tidak sekedar simpati namun juga ber-empati. Ini hal yang sangat penting agar iman kita tidak ikut-ikutan jatuh ketika diri kita menjadi lemah ditimpa setumpuk masalah hidup. Penulis Ibrani mengingatkan hal tersebut. "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." (Ibrani 10:24-25). Kita harus terus menjaga komitmen, keseriusan dan semangat kita untuk terus hadir bersekutu dengan saudara-saudara seiman. Ingatlah bahwa kita tidak lagi boleh menyia-nyiakan waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. (Efesus 5:16). Saling mengingatkan agar jangan sampai terpeleset dan terjerumus dalam kesesatan ketika kita tengah lemah berarti kita menjadi seorang pelayan Kristus yang baik. (1 Timotius 4:6).

Kita bisa belajar dari cara hidup jemaat yang pertama yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47. Demikian petikannya: "Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan." (ay 46-47). Lihatlah bagaimana Tuhan memberkati persekutuan jemaat pertama yang bersama-sama memuji Tuhan dengan gembira dan dengan tekun saling menasihati. Jauh sebelumnya, Pengkotbah pun mengingatkan kita bahwa berdua itu lebih baik dari sendirian. Ketika yang satu terjatuh, yang lain mengangkatnya. "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!" (Pengkotbah 4:9-10). Pengkotbah juga mengingatkan lewat sebuah ayat yang mengingatkan pada pepatah "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh." "Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan."(ay 12). Dan di atas segalanya, ingatlah bahwa "di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."(Matius 18:20).

Begitu pentingnya makna sebuah persekutuan, yang akan saling menguatkan. Kita manusia yang tidak akan bisa 100% hidup tanpa masalah. Ada kalanya kita terjatuh, di saat itulah saudara-saudara kita akan mengangkat kita. Ada kalanya saudara kita yang jatuh, giliran kita untuk menopangnya. Ada banyak hal yang mungkin bisa menghalangi kita untuk hadir dalam persekutuan. Mungkin pekerjaan, keluarga, kesehatan, atau suasana hati, atau malah malas. Agar bisa terus tumbuh dan terus kuat, dan agar kita tetap bisa hidup sesuai kehendak Tuhan, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menghindari pertemuan-pertemuan ibadah, termasuk di dalamnya persekutuan bersama saudara-saudara seiman. Keep walking on strong together in Jesus!

Betapa indah memiliki saudara-saudara yang saling peduli, saling menasehati dan saling membangun

Persekutuan

Ayat bacaan: Ibrani 10:24-25
========================
"Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat."

persekutuanSemenjak aktif dalam persekutuan keluarga, saya memasuki sebuah fase baru kehidupan yang lebih menyenangkan. Memang menyenangkan bisa berkumpul dengan beberapa keluarga lain yang saat ini dekatnya sudah terasa seperti saudara sendiri. Kita saling menguatkan, saling menasihati, dan bersama-sama berdoa dan memuliakan Tuhan lewat pujian/penyembahan dalam tiap pertemuan seminggu sekali. Saya bersyukur mendapatkan sebuah persekutuan yang serasi, dan kami semua sama-sama bertumbuh. Saya menyadari betul bahwa sebagai manusia, kita harus menyadari bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan sendirian. No man is an island. Kita harus hidup berinteraksi dan saling bantu, sebagai sosok mahluk sosial di bumi ini. Seorang teman persekutuan pernah mengalami masalah dengan pekerjaannya, namun dengan kuatnya persaudaraan dalam persekutuan, ia tidak sampai jatuh, malah kini sudah bangkit lagi.

Ada kalanya kita kuat, disaat kuat adalah baik jika kita menguatkan saudara-saudara kita yang tengah ditimpa masalah. Sebaliknya ada saat dimana kita sedang lemah, di saat itu saudara-saudara kita yang tengah dalam keadaan baik mendukung kita. That's how it works. Kita saling mengingatkan, saling menasehati, saling mendukung, saling support. Sebagai manusia kita bisa mengalami "ups and downs", dan itu wajar. Di saat-saat "down" itu kita membutuhkan saudara-saudara seiman yang bisa menguatkan, mengingatkan bahwa kita jangan sampai jatuh. Ada orang-orang yang peduli, tidak sekedar simpati namun juga ber-empati. Ini hal yang sangat penting agar iman kita tidak ikut-ikutan jatuh ketika diri kita menjadi lemah ditimpa setumpuk masalah hidup. Penulis Ibrani mengingatkan hal tersebut. "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." (Ibrani 10:24-25). Kita harus terus menjaga komitmen, keseriusan dan semangat kita untuk terus hadir bersekutu dengan saudara-saudara seiman. Ingatlah bahwa kita tidak lagi boleh menyia-nyiakan waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. (Efesus 5:16). Saling mengingatkan agar jangan sampai terpeleset dan terjerumus dalam kesesatan ketika kita tengah lemah berarti kita menjadi seorang pelayan Kristus yang baik. (1 Timotius 4:6).

Kita bisa belajar dari cara hidup jemaat yang pertama yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47. Demikian petikannya: "Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan." (ay 46-47). Lihatlah bagaimana Tuhan memberkati persekutuan jemaat pertama yang bersama-sama memuji Tuhan dengan gembira dan dengan tekun saling menasihati. Jauh sebelumnya, Pengkotbah pun mengingatkan kita bahwa berdua itu lebih baik dari sendirian. Ketika yang satu terjatuh, yang lain mengangkatnya. "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!" (Pengkotbah 4:9-10). Pengkotbah juga mengingatkan lewat sebuah ayat yang mengingatkan pada pepatah "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh." "Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan."(ay 12). Dan di atas segalanya, ingatlah bahwa "di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."(Matius 18:20).

Begitu pentingnya makna sebuah persekutuan, yang akan saling menguatkan. Kita manusia yang tidak akan bisa 100% hidup tanpa masalah. Ada kalanya kita terjatuh, di saat itulah saudara-saudara kita akan mengangkat kita. Ada kalanya saudara kita yang jatuh, giliran kita untuk menopangnya. Ada banyak hal yang mungkin bisa menghalangi kita untuk hadir dalam persekutuan. Mungkin pekerjaan, keluarga, kesehatan, atau suasana hati, atau malah malas. Agar bisa terus tumbuh dan terus kuat, dan agar kita tetap bisa hidup sesuai kehendak Tuhan, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menghindari pertemuan-pertemuan ibadah, termasuk di dalamnya persekutuan bersama saudara-saudara seiman. Keep walking on strong together in Jesus!

Betapa indah memiliki saudara-saudara yang saling peduli, saling menasehati dan saling membangun

Jumat, 26 Juni 2009

Sahabat Orang Berdosa

Ayat bacaan: Matius 9:12
=====================
"Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit."

sahabat orang berdosa, tuhan tidak membenci orang berdosaKalau bicara soal pengabdian, saya selalu mengingat ayah saya. Ia seorang dokter yang sama sekali tidak pernah mementingkan bayaran. Saya ingat ketika saya kecil, ia selalu melayani pasien yang datang kapan saja. Bahkan tengah malam atau subuh sekalipun. Kami sekeluarga sering terbangun tengah malam ketika ada orang yang mengetuk pagar dan memanggil dokter. Ibu saya pun waktu itu sering merasa terganggu dan takut, kalau-kalau yang datang bukanlah pasien tetapi orang jahat. Bagaimana jika maling yang datang? Seringkali ibu saya bertanya seperti itu. Tapi jawaban ayah saya tetap sama. "ya, bisa saja maling.. tapi bagaimana jika yang datang adalah orang yang benar-benar butuh pertolongan?" Ia menyediakan waktunya secara total untuk siapa saja. Bahkan dulu ia sering tidak dibayar karena pasiennya orang yang tidak sanggup. Atau beberapa kali saya melihat ia dibayar tidak dengan uang, melainkan dengan sayur atau sedikit buah. Karena saya waktu itu masih kecil, saya belum mengerti mengapa ia tetap membantu orang walaupun terkadang tidak dibayar. Ia menjawab bahwa menjadi dokter adalah sebuah panggilan untuk menolong orang lain, dan bukan untuk mencari keuntungan. Sebuah keteladanan yang luar biasa, yang masih membekas hingga kini dalam diri saya.

Alkisah pada suatu kali Yesus melihat Matius, seorang pemungut cukai (penagih pajak) sedang duduk di kantornya. Yesus lalu mengajak Matius untuk ikut. (Matius 9:9). Yesus lalu duduk makan di rumah Matius bersama pemungut cukai lainnya dan orang-orang yang dianggap tidak baik oleh masyarakat. (ay 10). Orang Farisi melihat itu, dan bertanya pada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" (ay 11). Yesus mendengar hal tersebut dan kemudian menjawab: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit." (ay 12). Lalu melanjutkan perkataanNya: "Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."(ay 13). Ini sebuah keteladanan dari Yesus yang tidak sungkan-sungkan untuk duduk bersama orang-orang yang dianggap tidak layak. Yesus menunjukkan bahwa siapapun itu layak untuk menerima diriNya.

Ada banyak orang yang terus terjerumus dalam dosa karena merasa bahwa mereka sudah terlalu jauh melenceng dari jalan Tuhan. Sudah terlanjur basah, ceburkan saja sekalian. Begitu kira-kira pandangan mereka. Ada banyak orang yang ragu terhadap keselamatan mereka nanti, karena banyaknya pelanggaran yang pernah mereka lakukan. Banyak orang mengira bahwa Yesus membenci orang berdosa. Tapi kisah hari ini menggambarkan sebaliknya. Yesus tidak membenci orang berdosa. Yang Dia benci adalah dosa, bukan orangnya. Justru kedatangan Yesus ke dunia ini adalah untuk menebus dosa-dosa kita dan menyelamatkan kita dari jurang maut. Kasih Allah sungguh tak terhingga buat kita. Begitu sayangnya hingga Yesus diutus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia." (Yohanes 3:16-17). Yesus sangat mengasihi manusia yang berlumur dosa. Begitu mengasihi hingga Dia rela meninggalkan 99 ekor domba untuk mencari seekor domba yang sesat. (Lukas 15:4). Kehadiran Yesus justru untuk menyelamatkan orang-orang yang sesat, agar tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Dalam kiasan yang mudah dimengerti, Yesus menggambarkannya dengan dibutuhkannya dokter bukan oleh orang sehat, melainkan oleh orang sakit.

"Marilah, baiklah kita berperkara! --firman TUHAN--Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18). Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa dosa yang sudah sangat banyak dan berat hingga "memerah" sekalipun bisa menjadi putih kembali seperti salju, atau seputih bulu domba jika kita mau bertobat dan berbalik dari jalan-jalan yang salah untuk kembali kepadaNya. Tuhan adalah Allah yang sangat penuh dengan kasih setia. Dia selalu menyediakan pengampunan bagi orang-orang berdosa yang mengakui dosa-dosanya. Ini janji Tuhan: "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:19). Pengampunan total dan segera, disediakan Tuhan kepada orang yang mau datang dengan hati yang hancur, menyesali dan mengakui dosa-dosa mereka. Ketika kita bertobat dengan sungguh-sungguh, saat itu juga Tuhan memberikan pengampunan. Itulah sebentuk kasih karunia yang dianugrahkan Tuhan kepada kita semata-mata karena Dia teramat sangat mengasihi kita dan tidak menginginkan satupun dari kita untuk binasa.

Jika diantara teman-teman ada yang sat ini merasa tidak layak, ingatlah bahwa Yesus telah mengorbankan diriNya untuk menyelamatkan kita semua dari ketidaklayakan akibat dosa-dosa itu. Berbalik dari jalan-jalan sesat, dan terimalah Yesus sebagai Juru Selamat pribadi anda. "Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah." (Yohanes 3:18). Tuhan tidak membenci orang berdosa. Yang Dia benci adalah dosa. Tuhan akan selalu membuka tanganNya lebar-lebar untuk menerima kembali orang berdosa yang mau datang kepadaNya.


Jadilah orang yang layak untuk menghampiri tahta kasih dengan membereskan seluruh dosa lewat pertobatan dalam nama Yesus

Sahabat Orang Berdosa

Ayat bacaan: Matius 9:12
=====================
"Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit."

sahabat orang berdosa, tuhan tidak membenci orang berdosaKalau bicara soal pengabdian, saya selalu mengingat ayah saya. Ia seorang dokter yang sama sekali tidak pernah mementingkan bayaran. Saya ingat ketika saya kecil, ia selalu melayani pasien yang datang kapan saja. Bahkan tengah malam atau subuh sekalipun. Kami sekeluarga sering terbangun tengah malam ketika ada orang yang mengetuk pagar dan memanggil dokter. Ibu saya pun waktu itu sering merasa terganggu dan takut, kalau-kalau yang datang bukanlah pasien tetapi orang jahat. Bagaimana jika maling yang datang? Seringkali ibu saya bertanya seperti itu. Tapi jawaban ayah saya tetap sama. "ya, bisa saja maling.. tapi bagaimana jika yang datang adalah orang yang benar-benar butuh pertolongan?" Ia menyediakan waktunya secara total untuk siapa saja. Bahkan dulu ia sering tidak dibayar karena pasiennya orang yang tidak sanggup. Atau beberapa kali saya melihat ia dibayar tidak dengan uang, melainkan dengan sayur atau sedikit buah. Karena saya waktu itu masih kecil, saya belum mengerti mengapa ia tetap membantu orang walaupun terkadang tidak dibayar. Ia menjawab bahwa menjadi dokter adalah sebuah panggilan untuk menolong orang lain, dan bukan untuk mencari keuntungan. Sebuah keteladanan yang luar biasa, yang masih membekas hingga kini dalam diri saya.

Alkisah pada suatu kali Yesus melihat Matius, seorang pemungut cukai (penagih pajak) sedang duduk di kantornya. Yesus lalu mengajak Matius untuk ikut. (Matius 9:9). Yesus lalu duduk makan di rumah Matius bersama pemungut cukai lainnya dan orang-orang yang dianggap tidak baik oleh masyarakat. (ay 10). Orang Farisi melihat itu, dan bertanya pada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" (ay 11). Yesus mendengar hal tersebut dan kemudian menjawab: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit." (ay 12). Lalu melanjutkan perkataanNya: "Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."(ay 13). Ini sebuah keteladanan dari Yesus yang tidak sungkan-sungkan untuk duduk bersama orang-orang yang dianggap tidak layak. Yesus menunjukkan bahwa siapapun itu layak untuk menerima diriNya.

Ada banyak orang yang terus terjerumus dalam dosa karena merasa bahwa mereka sudah terlalu jauh melenceng dari jalan Tuhan. Sudah terlanjur basah, ceburkan saja sekalian. Begitu kira-kira pandangan mereka. Ada banyak orang yang ragu terhadap keselamatan mereka nanti, karena banyaknya pelanggaran yang pernah mereka lakukan. Banyak orang mengira bahwa Yesus membenci orang berdosa. Tapi kisah hari ini menggambarkan sebaliknya. Yesus tidak membenci orang berdosa. Yang Dia benci adalah dosa, bukan orangnya. Justru kedatangan Yesus ke dunia ini adalah untuk menebus dosa-dosa kita dan menyelamatkan kita dari jurang maut. Kasih Allah sungguh tak terhingga buat kita. Begitu sayangnya hingga Yesus diutus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia." (Yohanes 3:16-17). Yesus sangat mengasihi manusia yang berlumur dosa. Begitu mengasihi hingga Dia rela meninggalkan 99 ekor domba untuk mencari seekor domba yang sesat. (Lukas 15:4). Kehadiran Yesus justru untuk menyelamatkan orang-orang yang sesat, agar tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Dalam kiasan yang mudah dimengerti, Yesus menggambarkannya dengan dibutuhkannya dokter bukan oleh orang sehat, melainkan oleh orang sakit.

"Marilah, baiklah kita berperkara! --firman TUHAN--Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18). Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa dosa yang sudah sangat banyak dan berat hingga "memerah" sekalipun bisa menjadi putih kembali seperti salju, atau seputih bulu domba jika kita mau bertobat dan berbalik dari jalan-jalan yang salah untuk kembali kepadaNya. Tuhan adalah Allah yang sangat penuh dengan kasih setia. Dia selalu menyediakan pengampunan bagi orang-orang berdosa yang mengakui dosa-dosanya. Ini janji Tuhan: "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:19). Pengampunan total dan segera, disediakan Tuhan kepada orang yang mau datang dengan hati yang hancur, menyesali dan mengakui dosa-dosa mereka. Ketika kita bertobat dengan sungguh-sungguh, saat itu juga Tuhan memberikan pengampunan. Itulah sebentuk kasih karunia yang dianugrahkan Tuhan kepada kita semata-mata karena Dia teramat sangat mengasihi kita dan tidak menginginkan satupun dari kita untuk binasa.

Jika diantara teman-teman ada yang sat ini merasa tidak layak, ingatlah bahwa Yesus telah mengorbankan diriNya untuk menyelamatkan kita semua dari ketidaklayakan akibat dosa-dosa itu. Berbalik dari jalan-jalan sesat, dan terimalah Yesus sebagai Juru Selamat pribadi anda. "Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah." (Yohanes 3:18). Tuhan tidak membenci orang berdosa. Yang Dia benci adalah dosa. Tuhan akan selalu membuka tanganNya lebar-lebar untuk menerima kembali orang berdosa yang mau datang kepadaNya.


Jadilah orang yang layak untuk menghampiri tahta kasih dengan membereskan seluruh dosa lewat pertobatan dalam nama Yesus

Kamis, 25 Juni 2009

Anak Panah di Busur Pahlawan

Ayat bacaan: Mazmur 127:4
======================
"Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda."

anak panah, anak-anak, orang tua, busurBeda generasi, beda gaya. Itu sudah menjadi hal yang lumrah dalam perkembangan jaman. Karena beda generasi inilah terkadang muncul konflik dalam keluarga antara orang tua dan anak. Orang tua tidak bisa menerima gaya hidup generasi yang lebih muda, mereka tetap berpegang kuat kepada tradisi mereka, sementara anak-anak merasa orang tua mereka terlalu kolot/kuno dan tidak mau mengerti mereka. Selalu ada perbedaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan selalu ada ciri dimana generasi yang lebih muda akan menentang generasi sebelumnya. Jika dalam hal-hal kecil tentu masalah yang timbul dari perbedaan generasi ini tidak akan terlalu berakibat besar. Namun bagaimana mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa depan? Ada sebuah contoh nyata dari keluarga saya. Salah seorang paman memaksakan kehendaknya agar anaknya mengikuti jejaknya menjadi seorang dokter. Si anak sama sekali tidak tertarik, ia lebih tertarik untuk mendalami komputer dan/atau belajar menjadi koki, karena ia sangat hobi memasak. Karena paksaan, ia pun akhirnya dimasukkan ke fakultas kedokteran. Ini terjadi 6 tahun yang lalu. Saat ini, si anak sudah dikeluarkan karena tidak berprestasi apa-apa, sering bolos dan hidupnya pun tidak karuan. Saya sempat berpikir, seandainya paman saya bisa lebih bijaksana. Andaikan ia memang ragu anaknya bisa sukses, setidaknya mungkin ia bisa memberikan kesempatan bagi si anak untuk membuktikan pilihannya adalah benar. Atau setidaknya mereka bisa berbicara dari hati ke hati sebelum memutuskan secara sepihak. Si anak (sepupu saya) ini dahulu sering berkeluh kesah kepada saya mengenai hal ini. Tapi saya tidak memiliki otoritas untuk ikut campur. Orang tua otoriter, tapi di sisi lain, sepupu saya juga salah karena tidak menurut. Ia memberontak dengan sengaja merusak kuliahnya sendiri. Siapa yang salah? Orang tua yang merasa mereka lebih punya pengalaman dan lebih tahu, atau anak yang merasa mereka tidak didengarkan?

Nyanyian ziarah Salomo dalam Mazmur menengahi hal ini dengan indah. Salomo berkata: "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3). Dalam versi Inggrisnya anak-anak lelaki ini dikatakan sebagai "children", jadi hal ini saya kira berlaku baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Lihatlah Alkitab berkata bahwa anak adalah sesungguhnya pemberian Allah, anugerah luar biasa indah yang dititipkan kepada para orang tua. Pemiliknya tetaplah Allah sendiri. Bagaimana anak ini nantinya terbentuk, itu adalah pertanggungjawaban dari orang yang dititipkan (orang tua) kepada sang Pemilik (Tuhan). Ayat selanjutnya berbunyi demikian: "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda." (ay 4). Jika anak-anak diibaratkan sebagai anak-anak panah, maka orang tua diibaratkan sebagai pahlawan, yang siap menembakkan anak-anak panah ini ke tempat yang tepat. Busur yang tidak elastis dan kuat tidak akan bisa mengarahkan anak panah dengan baik. Di sisi lain, anak panah yang berat dan berekor kaku juga akan melenceng dari arah yang benar, meski busurnya baik. Untuk mencapai sasaran yang benar, keduanya harus baik.

Apa yang saya maksud adalah begini. Busur yang elastis adalah sikap para orang tua yang, alangkah baiknya, tidak terlalu kaku dan mau mendengar keluh kesah dan pendapat anaknya. Memang orang tua jauh lebih berpengalaman, lebih banyak makan asam garam, namun ada kalanya mereka kurang tanggap terhadap perkembangan jaman, dan kurang mengenal anak-anak mereka. Jalannya hubungan hanyalah satu arah, dan tidak pernah interaktif. Anak tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut masa depan mereka. Terlalu sibuk pada warna rambut, mengkritik mode, tren dan sebagainya, terlalu kaku dan otoriter sehingga lupa menyiapkan busur yang kuat sebagai tempat berpijak dan sumber terbangnya anak-anak panah. Di sisi lain, anak-anak pun seringkali terlalu cepat menentang orang tuanya. Salah satu saja tidak berfungsi baik akan membelokkan arah ke tempat yang salah, apalagi jika dua-duanya tidak berfungsi.

Pemazmur mengingatkan : "Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya kuasa; seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan." (Mazmur 33:16). Seorang raja tidak akan selamat jika hanya bergantung pada besarnya kuasa mereka sendiri, seorang pahlawan tidaklah tergantung dari besarnya kekuatan mereka sendiri. Orang tua tidak akan bisa menjadi pahlawan jika mereka mengandalkan kekuasaan dan kekuatan mereka semata dalam menentukan kelanjutan masa depan anak-anaknya. Di sisi lain, anak pun hendaknya jangan menjadi pribadi pembangkang. Terlalu cepat menentang tanpa pikir panjang juga salah. Karena ada kalanya anak harus belajar dari pengalaman dan kebijaksanaan orang tua mereka. Belum ketemu jalan tengahnya? Ini yang menjadi titik tengah: Apa yang bisa membuat segalanya baik hanyalah jika kedua pihak, baik orang tua maupun anak mendasarkan segala sesuatunya kepada Tuhan. "Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya, untuk melepaskan jiwa mereka dari pada maut dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan." (ay 18-19). Jika kita melihat dari pribadi Kristus sendiri, lihatlah bagaimana bentuk doa Kristus. "datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga." (Matius 6:10). Lalu, ".....tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (26:39). Bukan kehendak kita, bukan kehendak orang tua, bukan kehendak anak, tapi yang terbaik adalah seperti yang Tuhan kehendaki.

Belajar dari hal ini, yang terbaik adalah orang tua dan anak duduk bersama-sama, saling terbuka dan mendengar pendapat masing-masing. Beri kesempatan masing-masing untuk mengutarakan pandangannya. Dan yang lebih penting lagi, berdoalah bersama. Biarlah Tuhan yang berbicara dan memberitahukan apa yang terbaik. Bersikap otoriter tidak akan pernah mendatangkan kebaikan. Di sisi lain, anak-anak hendaklah menghormati orang tuanya. "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Ulangan 5:16). Jangan terburu-buru membangkang. Dengarkanlah dan jangan sia-siakan suara mereka. "Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu" (Amsal 1:8). Generasi boleh berbeda, sifat dan gaya boleh berbeda, tapi dalam Tuhan kita semua satu dan tetap sama. Orang tua, jadilah busur yang kuat dan elastis agar anak-anak panah anda bisa mencapai sasaran yang tepat. Fleksibellah kepada anak-anak anda, dengarkan kebutuhan, keinginan, cita-cita dan impian mereka. Anak-anak, jadilah anak-anak panah yang stabil, jangan mengeraskan hati sehingga sulit diarahkan. Bersatulah dalam doa, dengarlah apa kata Tuhan, karena itulah yang terbaik.

Bukan menurut kita, tapi menurut Tuhan, itulah yang terbaik

Anak Panah di Busur Pahlawan

Ayat bacaan: Mazmur 127:4
======================
"Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda."

anak panah, anak-anak, orang tua, busurBeda generasi, beda gaya. Itu sudah menjadi hal yang lumrah dalam perkembangan jaman. Karena beda generasi inilah terkadang muncul konflik dalam keluarga antara orang tua dan anak. Orang tua tidak bisa menerima gaya hidup generasi yang lebih muda, mereka tetap berpegang kuat kepada tradisi mereka, sementara anak-anak merasa orang tua mereka terlalu kolot/kuno dan tidak mau mengerti mereka. Selalu ada perbedaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan selalu ada ciri dimana generasi yang lebih muda akan menentang generasi sebelumnya. Jika dalam hal-hal kecil tentu masalah yang timbul dari perbedaan generasi ini tidak akan terlalu berakibat besar. Namun bagaimana mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa depan? Ada sebuah contoh nyata dari keluarga saya. Salah seorang paman memaksakan kehendaknya agar anaknya mengikuti jejaknya menjadi seorang dokter. Si anak sama sekali tidak tertarik, ia lebih tertarik untuk mendalami komputer dan/atau belajar menjadi koki, karena ia sangat hobi memasak. Karena paksaan, ia pun akhirnya dimasukkan ke fakultas kedokteran. Ini terjadi 6 tahun yang lalu. Saat ini, si anak sudah dikeluarkan karena tidak berprestasi apa-apa, sering bolos dan hidupnya pun tidak karuan. Saya sempat berpikir, seandainya paman saya bisa lebih bijaksana. Andaikan ia memang ragu anaknya bisa sukses, setidaknya mungkin ia bisa memberikan kesempatan bagi si anak untuk membuktikan pilihannya adalah benar. Atau setidaknya mereka bisa berbicara dari hati ke hati sebelum memutuskan secara sepihak. Si anak (sepupu saya) ini dahulu sering berkeluh kesah kepada saya mengenai hal ini. Tapi saya tidak memiliki otoritas untuk ikut campur. Orang tua otoriter, tapi di sisi lain, sepupu saya juga salah karena tidak menurut. Ia memberontak dengan sengaja merusak kuliahnya sendiri. Siapa yang salah? Orang tua yang merasa mereka lebih punya pengalaman dan lebih tahu, atau anak yang merasa mereka tidak didengarkan?

Nyanyian ziarah Salomo dalam Mazmur menengahi hal ini dengan indah. Salomo berkata: "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3). Dalam versi Inggrisnya anak-anak lelaki ini dikatakan sebagai "children", jadi hal ini saya kira berlaku baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Lihatlah Alkitab berkata bahwa anak adalah sesungguhnya pemberian Allah, anugerah luar biasa indah yang dititipkan kepada para orang tua. Pemiliknya tetaplah Allah sendiri. Bagaimana anak ini nantinya terbentuk, itu adalah pertanggungjawaban dari orang yang dititipkan (orang tua) kepada sang Pemilik (Tuhan). Ayat selanjutnya berbunyi demikian: "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda." (ay 4). Jika anak-anak diibaratkan sebagai anak-anak panah, maka orang tua diibaratkan sebagai pahlawan, yang siap menembakkan anak-anak panah ini ke tempat yang tepat. Busur yang tidak elastis dan kuat tidak akan bisa mengarahkan anak panah dengan baik. Di sisi lain, anak panah yang berat dan berekor kaku juga akan melenceng dari arah yang benar, meski busurnya baik. Untuk mencapai sasaran yang benar, keduanya harus baik.

Apa yang saya maksud adalah begini. Busur yang elastis adalah sikap para orang tua yang, alangkah baiknya, tidak terlalu kaku dan mau mendengar keluh kesah dan pendapat anaknya. Memang orang tua jauh lebih berpengalaman, lebih banyak makan asam garam, namun ada kalanya mereka kurang tanggap terhadap perkembangan jaman, dan kurang mengenal anak-anak mereka. Jalannya hubungan hanyalah satu arah, dan tidak pernah interaktif. Anak tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut masa depan mereka. Terlalu sibuk pada warna rambut, mengkritik mode, tren dan sebagainya, terlalu kaku dan otoriter sehingga lupa menyiapkan busur yang kuat sebagai tempat berpijak dan sumber terbangnya anak-anak panah. Di sisi lain, anak-anak pun seringkali terlalu cepat menentang orang tuanya. Salah satu saja tidak berfungsi baik akan membelokkan arah ke tempat yang salah, apalagi jika dua-duanya tidak berfungsi.

Pemazmur mengingatkan : "Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya kuasa; seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan." (Mazmur 33:16). Seorang raja tidak akan selamat jika hanya bergantung pada besarnya kuasa mereka sendiri, seorang pahlawan tidaklah tergantung dari besarnya kekuatan mereka sendiri. Orang tua tidak akan bisa menjadi pahlawan jika mereka mengandalkan kekuasaan dan kekuatan mereka semata dalam menentukan kelanjutan masa depan anak-anaknya. Di sisi lain, anak pun hendaknya jangan menjadi pribadi pembangkang. Terlalu cepat menentang tanpa pikir panjang juga salah. Karena ada kalanya anak harus belajar dari pengalaman dan kebijaksanaan orang tua mereka. Belum ketemu jalan tengahnya? Ini yang menjadi titik tengah: Apa yang bisa membuat segalanya baik hanyalah jika kedua pihak, baik orang tua maupun anak mendasarkan segala sesuatunya kepada Tuhan. "Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya, untuk melepaskan jiwa mereka dari pada maut dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan." (ay 18-19). Jika kita melihat dari pribadi Kristus sendiri, lihatlah bagaimana bentuk doa Kristus. "datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga." (Matius 6:10). Lalu, ".....tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (26:39). Bukan kehendak kita, bukan kehendak orang tua, bukan kehendak anak, tapi yang terbaik adalah seperti yang Tuhan kehendaki.

Belajar dari hal ini, yang terbaik adalah orang tua dan anak duduk bersama-sama, saling terbuka dan mendengar pendapat masing-masing. Beri kesempatan masing-masing untuk mengutarakan pandangannya. Dan yang lebih penting lagi, berdoalah bersama. Biarlah Tuhan yang berbicara dan memberitahukan apa yang terbaik. Bersikap otoriter tidak akan pernah mendatangkan kebaikan. Di sisi lain, anak-anak hendaklah menghormati orang tuanya. "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Ulangan 5:16). Jangan terburu-buru membangkang. Dengarkanlah dan jangan sia-siakan suara mereka. "Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu" (Amsal 1:8). Generasi boleh berbeda, sifat dan gaya boleh berbeda, tapi dalam Tuhan kita semua satu dan tetap sama. Orang tua, jadilah busur yang kuat dan elastis agar anak-anak panah anda bisa mencapai sasaran yang tepat. Fleksibellah kepada anak-anak anda, dengarkan kebutuhan, keinginan, cita-cita dan impian mereka. Anak-anak, jadilah anak-anak panah yang stabil, jangan mengeraskan hati sehingga sulit diarahkan. Bersatulah dalam doa, dengarlah apa kata Tuhan, karena itulah yang terbaik.

Bukan menurut kita, tapi menurut Tuhan, itulah yang terbaik

Rabu, 24 Juni 2009

Mendengar

Ayat bacaan: Matius 11:15
======================
"Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!"

mendengar, kritik membangun, komentar destruktif, telinga"Waduh, kalau semua kritik dimasukin ke hati, bisa gila mas.." demikian komentar salah seorang anggota penyelenggara event musik pada suatu kali pada saya. "Orang kalau mengkritik suka nggak kira-kira, mereka nggak mau tahu bagaimana sulitnya pekerjaan ini, kita sudah mati-matian kerja, masih juga kejam-kejam komentarnya.." ia melanjutkan. "Mengomentari sih mudah, coba dulu deh duduk di posisi saya, baru tahu bagaimana susahnya." lanjutnya lagi. Ya, mendengarkan kritik seringkali tidak mudah. Ada kalanya kritik yang datang terlalu kejam, sifatnya bukan lagi membangun tapi meremehkan dan menjatuhkan, sehingga jika kita tidak memiliki mental kuat dan benar-benar fokus pada tujuan, kita bisa menjadi lemah dan patah semangat.

Kita tidak bisa menghindari kritik. Kapanpun, dimanapun kita akan berhadapan dengan kritik. Ada kalanya memang kita memerlukan kritikan yang konstruktif atau membangun, agar kita bisa menata sesuatu lebih baik lagi. Mungkin pedas, namun jika untuk kebaikan kita sendiri, itu haruslah kita terima dengan lapang hati. Kedatangan Tuhan Yesus ke dunia diisi dengan banyak peringatan. Banyak hal-hal yang dibukakan Yesus, yang sebelumnya tidak diketahui orang. Berulang kali Yesus mengakhiri pesannya dengan "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!" Kita diberikan sepasang telinga oleh Tuhan (Amsal 20:12). Dia berikan telinga bukanlah tanpa maksud. Gunakanlah keduanya dengan baik untuk mendengar, sehingga kita bisa mengerti dan memperbaiki diri. Dalam Amsal juga kita membaca demikian: "Orang yang mengarahkan telinga kepada teguran yang membawa kepada kehidupan akan tinggal di tengah-tengah orang bijak." (Amsal 15:31). Kita harus melembutkan hati, dengan lapang dada, untuk menerima kritik atau teguran konstruktif untuk bertumbuh lebih lagi.

Sebaliknya, bagaimana jika kritikan itu tidak bersifat membangun, dan bertujuan untuk menjatuhkan? Bagaimana jika ucapan-ucapan pesimis dan negatif yang kita hadapi? Jangan menjadi patah semangat karenanya. Jika kita sudah berusaha dengan sebaik mungkin, apalagi jika kita melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh sesuai kehendak Tuhan, jangan biarkan ucapan-ucapan negatif itu menghancurkan kita. Ingatlah bagaimana beratnya Musa menghadapi orang-orang Israel yang keras kepala dan jagoan bersungut-sungut untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Sepertinya hampir setiap hari ia diteror oleh komentar-komentar pedas dari bangsa yang tegar tengkuk ini. Bayangkan, adalah perintah Tuhan untuk membawa mereka ke tanah terjanji, keluar dari perbudakan di Mesir, namun inilah yang mereka katakan pada Musa. "dan mereka berkata kepada Musa: "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:11-12). Bukan hanya ini komentar sinis bangsa Israel. Perjalanan mereka penuh dengan keluh kesah, protes dan komentar-komentar yang bisa setiap saat melemahkan Musa. Nuh pun demikian. Membangun sebuah kapal di atas bukit, sementara belum pernah ada hujan yang turun, apalagi banjir? Saya yakin Nuh setiap hari berhadapan dengan banyak pencemooh yang mengolok-olok dia dan keluarganya. Seandainya Nuh tidak menyaring komentar-komentar orang, tidak menjaga telinganya dengan filter yang memadai, bahteranya tidak akan pernah selesai ia bangun.

"Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan, tetapi mulut orang bebal mencurahkan kebodohan." (Amsal 15:2). Orang yang bijak akan memberikan kritik konstruktif, sebaliknya orang bebal hanya akan mengumbar kebodohannya dengan komentar-komentarnya. Itu biasa terjadi di dunia, yang harus pandai-pandai kita saring. Jika komentar-komentar negatif yang kita terima, buanglah itu. Namun jika teguran positif, terimalah itu dengan lapang hati. Telinga diberikan Tuhan untuk tujuan mendengar, Pergunakanlah anugrah Tuhan akan sepasang telinga untuk bisa bertumbuh menjadi orang-orang bijaksana yang maju dari hari ke hari. Selain untuk mendengar, miliki pula telnga yang selektif dalam mendengar. Pandai-pandailah menyaring komentar dan kritik yang masuk. Simpan yang positif, buang yang negatif. Teguran yang membangun sangatlah berharga. Salomo menggambarkannya demikian: "Teguran orang yang bijak adalah seperti cincin emas dan hiasan kencana untuk telinga yang mendengar." (25:12). Menolak teguran bisa membuat kita lupa diri, tapi komentar destruktif yang tidak membangun bisa melemahkan semangat kita bahkan menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu, miliki telinga yang selektif, dan pekalah terhadap kehendak Tuhan. Pergunakan dan manfaatkan anugrah sepasang telinga dari Tuhan dengan baik.

Ada kritik konstruktif dan ada yang destruktif, saringlah semuanya dengan baik

Mendengar

Ayat bacaan: Matius 11:15
======================
"Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!"

mendengar, kritik membangun, komentar destruktif, telinga"Waduh, kalau semua kritik dimasukin ke hati, bisa gila mas.." demikian komentar salah seorang anggota penyelenggara event musik pada suatu kali pada saya. "Orang kalau mengkritik suka nggak kira-kira, mereka nggak mau tahu bagaimana sulitnya pekerjaan ini, kita sudah mati-matian kerja, masih juga kejam-kejam komentarnya.." ia melanjutkan. "Mengomentari sih mudah, coba dulu deh duduk di posisi saya, baru tahu bagaimana susahnya." lanjutnya lagi. Ya, mendengarkan kritik seringkali tidak mudah. Ada kalanya kritik yang datang terlalu kejam, sifatnya bukan lagi membangun tapi meremehkan dan menjatuhkan, sehingga jika kita tidak memiliki mental kuat dan benar-benar fokus pada tujuan, kita bisa menjadi lemah dan patah semangat.

Kita tidak bisa menghindari kritik. Kapanpun, dimanapun kita akan berhadapan dengan kritik. Ada kalanya memang kita memerlukan kritikan yang konstruktif atau membangun, agar kita bisa menata sesuatu lebih baik lagi. Mungkin pedas, namun jika untuk kebaikan kita sendiri, itu haruslah kita terima dengan lapang hati. Kedatangan Tuhan Yesus ke dunia diisi dengan banyak peringatan. Banyak hal-hal yang dibukakan Yesus, yang sebelumnya tidak diketahui orang. Berulang kali Yesus mengakhiri pesannya dengan "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!" Kita diberikan sepasang telinga oleh Tuhan (Amsal 20:12). Dia berikan telinga bukanlah tanpa maksud. Gunakanlah keduanya dengan baik untuk mendengar, sehingga kita bisa mengerti dan memperbaiki diri. Dalam Amsal juga kita membaca demikian: "Orang yang mengarahkan telinga kepada teguran yang membawa kepada kehidupan akan tinggal di tengah-tengah orang bijak." (Amsal 15:31). Kita harus melembutkan hati, dengan lapang dada, untuk menerima kritik atau teguran konstruktif untuk bertumbuh lebih lagi.

Sebaliknya, bagaimana jika kritikan itu tidak bersifat membangun, dan bertujuan untuk menjatuhkan? Bagaimana jika ucapan-ucapan pesimis dan negatif yang kita hadapi? Jangan menjadi patah semangat karenanya. Jika kita sudah berusaha dengan sebaik mungkin, apalagi jika kita melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh sesuai kehendak Tuhan, jangan biarkan ucapan-ucapan negatif itu menghancurkan kita. Ingatlah bagaimana beratnya Musa menghadapi orang-orang Israel yang keras kepala dan jagoan bersungut-sungut untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Sepertinya hampir setiap hari ia diteror oleh komentar-komentar pedas dari bangsa yang tegar tengkuk ini. Bayangkan, adalah perintah Tuhan untuk membawa mereka ke tanah terjanji, keluar dari perbudakan di Mesir, namun inilah yang mereka katakan pada Musa. "dan mereka berkata kepada Musa: "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini." (Keluaran 14:11-12). Bukan hanya ini komentar sinis bangsa Israel. Perjalanan mereka penuh dengan keluh kesah, protes dan komentar-komentar yang bisa setiap saat melemahkan Musa. Nuh pun demikian. Membangun sebuah kapal di atas bukit, sementara belum pernah ada hujan yang turun, apalagi banjir? Saya yakin Nuh setiap hari berhadapan dengan banyak pencemooh yang mengolok-olok dia dan keluarganya. Seandainya Nuh tidak menyaring komentar-komentar orang, tidak menjaga telinganya dengan filter yang memadai, bahteranya tidak akan pernah selesai ia bangun.

"Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan, tetapi mulut orang bebal mencurahkan kebodohan." (Amsal 15:2). Orang yang bijak akan memberikan kritik konstruktif, sebaliknya orang bebal hanya akan mengumbar kebodohannya dengan komentar-komentarnya. Itu biasa terjadi di dunia, yang harus pandai-pandai kita saring. Jika komentar-komentar negatif yang kita terima, buanglah itu. Namun jika teguran positif, terimalah itu dengan lapang hati. Telinga diberikan Tuhan untuk tujuan mendengar, Pergunakanlah anugrah Tuhan akan sepasang telinga untuk bisa bertumbuh menjadi orang-orang bijaksana yang maju dari hari ke hari. Selain untuk mendengar, miliki pula telnga yang selektif dalam mendengar. Pandai-pandailah menyaring komentar dan kritik yang masuk. Simpan yang positif, buang yang negatif. Teguran yang membangun sangatlah berharga. Salomo menggambarkannya demikian: "Teguran orang yang bijak adalah seperti cincin emas dan hiasan kencana untuk telinga yang mendengar." (25:12). Menolak teguran bisa membuat kita lupa diri, tapi komentar destruktif yang tidak membangun bisa melemahkan semangat kita bahkan menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu, miliki telinga yang selektif, dan pekalah terhadap kehendak Tuhan. Pergunakan dan manfaatkan anugrah sepasang telinga dari Tuhan dengan baik.

Ada kritik konstruktif dan ada yang destruktif, saringlah semuanya dengan baik

Selasa, 23 Juni 2009

Malu Mengakui Yesus

Ayat bacaan: Matius 10:32-33
======================
"Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga."

malu mengakui YesusMenganut kepercayaan yang berbeda dengan kaum mayoritas terkadang menyulitkan bagi sebagian orang. Ada perasaan disisihkan, sulit untuk diterima ditengah-tengah teman sekerja bahkan ada yang mendapatkan kesulitan untuk naik jabatan atau promosi karena perbedaan keyakinan. Seorang teman mengeluhkan kondisi ini pada suatu ketika. Di kantornya yang dipenuhi mayoritas penganut keyakinan yang berbeda membuatnya sulit menapaki jenjang karir. Contoh lain yang mungkin paling sering adalah ketika tengah mendekati seseorang yang berbeda keyakinan. Ada yang menutupi jati dirinya, malu mengakui bahwa mereka adalah pengikut Kristus, bahkan tidak jarang pula ada yang memilih untuk putus hubungan dengan Kristus demi mendapatkan pasangan hidupnya. Ada situasi-situasi yang mungkin timbul dimana kita harus menentukan sikap atau harus memilih. Sayangnya ada banyak yang lebih memilih kepentingan dunia ketimbang perkara surgawi. Ada orang yang malu menjadi orang Kristen karena takut dianggap tidak gaul. Tapi coba pikirkan ini. Bayangkan jika seandainya Yesus malu membela kita, bagaimana sekiranya Yesus memilih untuk tidak menanggung malu dan penderitaan akibat penyiksaan sampai mati di kayu salib demi menyelamatkan kita. Apa jadinya kita hari ini?

Ketika Yesus menggenapi rencana Tuhan mengenai penyelamatan manusia, lihatlah bahwa Yesus harus melewati malu yang demikian besar dan penderitaan mengerikan hanya untuk menebus segala dosa kita. Apa yang kita hadapi hari ini yang mungkin bisa mendatangkan penyangkalan atau rasa malu untuk mengakui Dia tidaklah sebanding dengan apa yang dialami Tuhan Yesus ketika menyelamatkan kita. Alangkah keterlaluan jika kita malu mengakui Tuhan yang begitu luar biasa besar kasihNya hanya untuk ditukarkan pada kepentingan-kepentingan dunia yang sesaat saja sifatnya. Yesus pun telah mengingatkan jauh-jauh hari agar kita jangan takut kepada manusia. "Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui." (Matius 10:26). Tuhan sanggup memelihara kita secara luar biasa. Jika burung pipit pun dipelihara Tuhan, apalagi kita yang lebih berharga dari burung pipit. (ay 31). Kemudian Yesus mengingatkan sejak awal pentingnya untuk mengakui jatidiri kita secara tegas. Ada konsekuensi yang harus kita terima apabila kita menutupinya, malu mengakui Tuhan kita di hadapan manusia. Kata Yesus: "Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 10:32-33). Orang percaya haruslah berani mengakui Tuhan di depan manusia. Tidak perlu malu, apalagi takut, dengan alasan apapun.

Dalam Amsal kita baca demikian: "Takut kepada orang mendatangkan jerat" (Amsal 29:25). Ya, kita bisa terjerat pada kegelapan ketika kita malu mengakui diri sebagai anak terang. Petrus pernah mengalami hal ini. Dalam keadaan dicekam ketakutan ketika Yesus ditangkap, ia menyangkal Yesus hingga tiga kali sebelum ayam berkokok. (Matius 26:69-75). Untunglah ia segera menyadari kesalahannya dan bertobat. Bagaimana jika kita tidak sempat untuk bertobat? Yesus tidak akan mau mengakui kita di hadapan Bapa di surga. Akibatnya binasalah kita. Dalam ayat lain kita membaca demikian: "Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah." (Lukas 12:8-9). Tanpa pesan seperti ini pun sebenarnya kita tidak pantas malu mengakui Tuhan di hadapan orang lain. Tuhan yang sudah begitu baik menyelamatkan kita, sudah begitu setia pada hidup kita, begitu besar kasihNya melindungi dan mencukupi kita, layak mendapatkan segala yang terbaik dari diri kita sebagai ungkapan rasa syukur. Jika mengakuiNya saja kita tidak sanggup bagaimana kita bisa menunjukkan rasa syukur kita?

Jika harus malu, merasa malu-lah ketika melakukan dosa. Tidak pada tempatnya kita merasa malu mengakui Kristus, seharusnya kita malah merasa gembira dan bersukacita karena telah menemukan sang Gembala yang akan menuntun kita menuju kehidupan kekal di sisi Bapa Surgawi. Dalam kondisi apapun, banggalah menjadi pengikut Kristus, Tuhan yang begitu luar biasa mengasihi kita dan menginginkan kita semua beroleh keselamatan dan tidak satupun binasa. Keselamatan itu bisa bergantung pada situasi apakah kita mengaku dengan mulut atau menyangkal. "Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan." (Roma 10:9). Mengapa demikian? "Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (ay 10). Hati yang bersukacita penuh syukur tidak akan pernah malu mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Hati yang seperti itu pula yang akan dengan bangga mengakui dengan mulut, dan karenanya beroleh selamat. Sedini mungkin kita harus mau belajar membuka mulut mengakui Kristus dan hidup sesuai firman Tuhan, menjadi terang dan garam di dunia, karena jika kita tidak, semakin lama kita akan semakin sulit melakukannya dan akibatnya mendatangkan jerat. Karenanya buanglah perasaan malu dan takut itu jauh-jauh karena apapun yang ada di dunia ini tidaklah lebih penting dari rasa syukur atas besar kasih Tuhan selama ini pada kita berikut janjiNya akan kebahagiaan kekal, kelak setelah kita selesai menempuh masa kehidupan di dunia ini.

Tuhan begitu baik pada kita, banggalah selalu menjadi anak-anakNya

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari