Rabu, 26 Maret 2008

Bunga Citra Lestari

Bunga Citra Lestari –tentang Salib

Sepanjang jalan Gejayan yang sekarang berganti nama Afandi, anda akan dibuat pusing oleh ratusan papan iklan, banner produk dan papan nama toko serta gerai-gerai yang seolah-olah berlomba-lomba ‘memperlihatkan diri’, mencuri hati dan menggoda the passers by untuk singgah dan membeli.
Dalam hitungan menit di layer kaca, iklan serupa mengikuti pandangan kita dengan pernyataan dan saran sugestif; sedapat mungkin memanjakan mata kita. Di samping produk-produk yang ditawarkan ada gambar idola-idola kita dengan senyum wajah berseri, meyakinkan anda bahwa memang barang-barang seperti itu pantas dimiliki. Belum lagi dalam setiap exhibition show atau launching prodak, ditempatkan beberapa SPG (sales promotion girl) yang cakep-cakep menambah daya tarik barang-barang itu. This is the spirit of market place. No one can argue!
Setiap hari mata kita dihadapkan dengan begitu banyak pencitraan. Bahkan kemajuan teknologi khususnya revolusi fotografi dan sinematografi telah menjadikan realitas di tempat lain sedemikian dekat nya dengan kita. Banner, billboard raksasa, iklan dan film di layar kaca mencitrakan, menghadirkan secara ringkas realitas yang sesungguhnya – yakni barang yang ada di toko, mobil yang ada di tempat display, dst.. Dalam layar 14 inchi kita bisa melihat dokumentasi tentang Dubay tanpa harus pergi ke sana. Inilah hal positif yang patut disyukuri dari salah satu penemuan manusia.
Daya tarik pencitraan itulah yang bisa membuat kita berhenti, mengurangi laju mobil kita persis ketika memandang Ngobrol Iritnya IM3 dengan tokoh Nidji atau Indomie dengan Luna Maya yang rupawan; bisa juga tetap ngetem di sofa melihat Del Piero minum Extra Joss lalu bisa superkuat di lapangan hijau…Daya tarik itu sering menjadi magnet walaupun ralitas sesungguhnya tidak seluruhnya begitu. Pencitraan hampir selalu menggendong hiperbolisme.
Tapi tidak pada Salib, tak ada yang berlebih-lebihan pada salib. Bahkan hampir tak ada daya tariknya bagi orang-orang sezaman Yesus lebih dari 2000 tahun lalu. Salib sebanding dengan vonis mati bagi para residivis pada masa kekaisaran Romawi. Maka salib adalah kutukan dan aib. Tak ada orang yang ingin berhenti dan memandangnya, kecuali mereka-mereka yang dulu betul-betul menginginkan kematian Yesus. Jauh-jauh hari nabi Yesaya sudah menubuatkan betapa tidak menariknya salib:
“Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada. Ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan” (Yesaya 53:2-3)
Beberapa teman-teman Muslim saya sungguh menghormati Isa Almasih, tapi juga tidak bisa menerima atau percaya bagaimana mungkin seorang nabi bisa mati sesia-sia Dia. Jika kita ingin jujur, sepertinya apresiasi kita terhadap salib juga kurang. Bukti yang paling jelas antara lain bagaimana semarak Natal jauh lebih luar biasa ketimbang paskah. Jalan salib baru ramai ketika sudah mulai memasuki triharisuci dibandingkan hari jumat lainnya. Yah.., saya pikir ini lumrah karena sudah cukup terlanjur kita menanggung kesan bahwa salib selalu meninggalkan kisah sedih dan pilu, penderitaan dan kematian yang pasti semua kita tidak inginkan.
Lalu kenapa justru apa yang paling hina itu mengubah seluruh sejarah dunia lebih dari 2000 tahun lalu, mengapa manusia yang terpaku di palang penghinaan itu mengubah hati banyak orang sepanjang zaman hingga kini? Pertanyaan inilah yang saya renungkan ketika duduk memandang salib. Kalaupun saya ada saat itu, pasti saya tidak ingin memandangnya. Lebih dari dua kali saya menyaksikan kecelakaan di depan mata saya, dan saya selalu memalingkan muka ketika melihat betapa ngerinya luka yang dialami para korban. Apalagi jika saat itu saya tahu jika Yesus akan disalibkan. Pasti saya sudah ikut-ikutan dengan kesepuluh murid yang lari tunggang langgang meninggalkanNya.
Setiap jumat agung secara khusus kita memberi waktu menghormati salib. Kain ungu lambang kedukaan yang menutup corpus/tubuh Yesus dibuka untuk dihormati. Bagi saya ini adalah pernyataan bahwa salib bukan hanya melulu meninggalkan pesan duka dan pilu melainkan pesan keselamatan, pesan yang membawa pengharapan.
Saya selalu kagum pada Yohanes, Bunda Maria, Maria isteri Kleopas dan Maria Magdalena yang berdiri dekat dan memandang Yesus tersalib (bdk. Yohanes 19:25). Mereka adalah orang yang berpandangan dan bersikap sama sekali lain dari orang-orang saat itu; yang sanggup menemukan permata dan keindahan di balik apa yang dianggap orang sebagai aib dan kutuk.
Sekarang mari coba kita menempatkan diri sebagai Maria Magdalena. Saya membayangkan perasaannya. Dia tahu sungguh-sungguh siapa Yesus dan bagaimana merasakan cinta dan perhatian-Nya yang tulus. Darinya Yesus berhasil mengeluarkan tujuh roh jahat (Mrk.16:9). Dan tentu dia sungguh percaya bahwa mustahil orang yang sedemikian mengasihi tanpa syarat akan mati selamanya. Kiranya inilah sebabnya mengapa Yesus menampakkan diri pada perempuan pendosa ini. Iman akan kebangkitan mulai dari sini, kepercayaan seperti Maria Magdalena. Pengalaman melihat Tuhan yang bangkit melengkapi secara total iman Maria. Maka saya kira sangatlah penting menyadari bahwa kebangkitan bukanlah semata-mata peristiwa manusiawi, peristiwa biasa, melainkan peristiwa iman. Tidak cukup percaya pada kebangkitan hanya dengan fakta kubur kosong. Fakta kubur kosong dan pengalaman melihat Tuhan adalah pengalaman khas dan personal Maria, bukan pengalaman kita karena itu adalah rahmat baginya. Akan tetapi, pengalaman iman Maria bisa menjadi pengalaman iman kita. Inilah rahasia Paskah. Di satu pihak Sang Putera Allah menampakkan dirinya, dan di lain pihak, manusia – yang diwakili Maria Magdalena- menerimanya dengan iman.
Pada Yesus tersalib seperti semua realitas kemanusiaan kita dan pribadi Allah sendiri dicitrakan, dihadirkan secara ringkas dan lugas. Di satu pihak, pada sang tersalib, kita menemukan dua hal. Yang pertama adalah betapa rapuh dan tak pantasnya kita di hadapan Allah justru karena kejahatan dan pemberontakan kita (bdk. Yes.53:5). Kedua adalah ideal atau jalan kesempurnaan, jalan kemuridan yang mesti kita lalui. Pada sang tersalib kita melihat gambaran dan ideal tentang manusia sempurna yakni yang mengasihi tanpa syarat. Tidak salah jika jauh-jauh setelah menghukum Yesus, Pilatus menyerukan kata-kata ini: Ecce Homo, Lihatlah Manusia itu (Yoh.19:5). Pandangilah manusia sempurna itu, ikutlah Dia!
Di pihak lain, pada sang tersalib, kita melihat siapa Allah sesungguhnya. Allah yang diwahyukan Yesus Tersalib adalah Allah yang Mati karena sedemikian mengasihi kita. Tak salah jika setelah lambung Yesus ditikam, sang prajurit kepala dengan lugas menyatakan, “Sungguh Dia Anak Allah”. Kepada Allah macam inilah kita mesti percaya dan menyerahkan diri kita.
Akhirnya pada Sang Tersalib kita menemukan bunga citra lestari, sesuatu yang bisa dibayangkan dengan terlebih dahulu mengingat kidung indah jumat agung ini:
Salib suci nan mulia
Kayu paling utama
Tiada yang menandingi daun bunga buahnya

Sang Tersalib adalah pohon keselamatan. Pada-Nya Allah bukan hanya seolah-olah tapi sungguh-sungguh dekat dengan kita; pada salib kita bisa menikmati dan mengecap betapa baiknya Tuhan. Pada salib kita melihat bagaimana cara mencintai yang sesungguhnya, bagaimana cara hidup sesungguhnya. Gereja lahir justru dari salib, dari pemandangan atau kontemplasi Bunda Maria, Yohanes, Maria Magdalena dan murid lainnya. Buah cinta adalah kehidupan, bukan kematian karena Kristus menghembuskan seluruh hidup-Nya bagi kita. Dengan demikian salib bukanlah kutuk lagi, tapi berkah keselamatan yang lestari dan abadi bagi dunia seluruhnya. Iman paskah mesti mulai dari sini. Inilah yang mesti kita hayati setiap hari dan kita wartakan sebagaimana yang ditandaskan rasul Paulus: “Pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (1 Kor.1:18)

Salam,

Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari