Jumat, 06 Maret 2009

Malaikat di Dalam Mikrolet

Jika ada kesempatan untuk berbuat baik lakukanlah segera, itu mungkin kesempatan terakhir anda.

Di suatu siang hari bolong, jam satu siang, matahari bersinar terik membakar gosong kulit setiap pengelana yang nekad berada di jalanan. Panas yang membakar datangnya tidak hanya dari atas, namun pantulannya di jalan yang beraspal dan tanah kering tandus juga menambah parah teriknya. Keadaan seperti ini seharusnya cukupmenyadarkan setiap orang akan dosa-dosanya dan tidak menuju ke neraka. Angkutan umum tidak terlalu ramai, barangkali sebagian besar sopir beristirahat atau menunggu di poll karena jam begitu tidaklah banyak penumpang lalu lalang. Saya naik angkutan umum yang biasa disebut mikrolet itu dan menjadi penumpang pertama dan satu-satunya. Seperti biasa saya mengambil tempat di sudut agar tidak di geser-geser penumpang lain mengingat perjalanan saya cukup panjang. Dalam posisi seperti ini biasanya saya tidak ingin diganggu karena adalah waktu dimana saya membiarkan pikiran ini mengembara, entah menghayal, bermimpi atau berimajinasi.

Selang beberapa waktu naiklah seorang yang sangat tua. Barangkali usianya belumlah mencapai tujuh puluh tahun namun keadaannya sangatlah memiluhkan. Badannya kurus dan renta, wajahnya dipenuhi benjolan-benjolan sebesar kacang polong, matanya merah dan bersinar lemah dan badannya mengeluarkan bau yang tidak sedap entah disebabkan oleh penyakitnya atau oleh pakaiannya yang lusuh. Ia mengambil tempat duduk di depan saya yang walau berusaha tidak perduli tapi sesekali mengamatinya.

Perjalanan belumlah panjang ketika sopir angkot itu bertanya kepada orang tua tadi, "Pak mau turun di mana?"

Dan dengan suara berat dipaksakan ia menjawab, "Rumah sakit!"

"Aduh pak, kenapa tidak bilang dari tadi, itu rumah sakitnya sudah lewat. Bapak turun di sini saja dan ambil angkot lain, " kata sopir itu tanpa belas kasihan sedikit pun. Orang tua itu terlalu lemah sehingga membutuhkan waktu yang tidak cepat untuk keluar dari angkot tersebut. Saya satu-satunya penumpang lain disitu tapi badan saya kaku menempel di jok mobil.

Hati saya berteriak keras, "Ayo, tolong orang tua itu."

Namun badan saya tetap tidak bergerak. Sekali lagi suara hati saya berteriak bahkan lebih keras lagi, "Pegang tangannya, goblok!"

Tidak juga saya lakukan.

Dan ketika kedua kakinya menginjak tanah sang sopir langsung menancap gas dan pergi meninggalkan orang tua itu yang sedang berjuang menjaga keseimbangan dan mengibas debu yang dihasilkan roda–roda angkot tersebut. Saya memandangnya dari kaca mobil, dengan penuh belas kasihan dan rasa bersalah. Entah apa yang menahan tubuh ini dan membuatnya tidak bekerja sama dengan akal sehat dan suara hati. Saya seharusnya dapat menolong orang tersebut, menegur sopir yang tidak manusiawi, membantunya turun, mengantarnya ke RS, menghubungi keluarganya, atau apa sajalah. Namun semua tidak saya lakukan. Kenyamanan telah mengalahkan keinginan untuk berbuat baik. Perasaan tidak ingin direpotkan telah mendiamkan teriakan suara hati nurani. Dan sekarang saya punya masalah, karena wajah orang tua itu terus membayang mengikuti kemana saya pergi : ke sekolah, waktu makan atau menjelang tidur.

"Apa yang terjadi jika seandainya orang itu adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menguji saya?" tanya saya dalam hati.

"Habislah reputasi saya sebagai anak Tuhan jika orang itu memang adalah malaikatnya, " terus menerus saya berkata pada diri sendiri sekan-akan ingin menghukumnya dengan perasaan bersalah.

Tiga hari kemudian, ayah saya berkata bahwa seorang tak dikenal telah meninggal di rumah sakit tempat ia bekerja yang adalah rumah sakit tujuan orang tua tersebut ketika saya bertemu dengannya. Dan ia tidak memiliki keluarga atau siapapun. Saya tidak punya kesempatan untuk melihat tampang mayat tersebut, namun dalam bayangan saya orang tua itulah yang terbaring di sana. Jika benar, saya telah kehilangan kesempatan untuk berbuat baik yang terakhir kali buatnya.

Pengalaman ini mengubah saya untuk tidak menunda untuk mengulurkan tangan bagi yang membutuhkan. Pertama mereka mungkin adalah malaikat yang menjelma, kedua itu mungkin kesempatan terakhir bagi kedua pihak. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok.

Banyak orang Kristen yang merasa terlalu nyaman berada di dalam gedung gereja yang ber-AC dan berkarpet tebal. Para pendeta juga lebih senang melayani di tempat yang menjanjikan uang daripada menjanjikan jiwa. Sementara itu di sekitar kita masih banyak malaikat-malaikat yang berkeliaran menyerupai pengemis, gelandangan, pengamen dan anak-anak kecil di lampu merah.

Terlalu banyak orang yang membutuhkan berada di sekitar kita yang tentu tidak masuk akal jika kita harus menolong semuanya. Namun, paling tidak ulurkan tangan kepada orang yang Tuhan kirim kepada Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari