Minggu, 29 Maret 2009

Kondom dan Kesetiaan


Kondom dan Kesetiaan

Eropa baru-baru ini ribut-ribut soal pernyataan Paus tentang preservatif atau di Indonesia lebih kita kenal sebagai kondom, salah satu sarana yang sangat dianjurkan untuk mencegah pandemi AIDS. Kondom, menurut paus, malah bisa beresiko meningkatkan AIDS jika tidak diimbangi oleh humanisasi seksualitas. Eropa, terutama masyarakat Perancis seperti kebakaran jenggot. Pope is wrong, let’s buy condom.. demikian seruan sebuah organisasi yang bereaksi keras atas pernyataan paus.
Lepas dari fakta bahwa pernyataan paus ini selebihnya disetting up oleh media, toh isi pesan itu tetap penting. Humanisasi seksualitas, pembaharuan sikap, mental dan perilaku seksual adalah hal paling penting, dan bukan kondom. Kondom adalah sarana dan bukan prinsip hidup. Paus tidak mengatakan kondom itu tak perlu apalagi buruk (sebagaimana yang dilebih-lebihkan media) tetapi menggarisbawahi apa yang paling perlu, apa yang terpenting.
Kesetiaan dalam perkawinan adalah contoh sikap konkret yang dianjurkan untuk tetap dipelihara, mengingat AIDS tidaklah seperti sakit flu atau pilek yang cukup dengan minum parasetamol kita pulih. Kesetiaan adalah pilihan dan setiap pilihan sudah dengan sendirinya membuat garis batas, garis demarkasi dengan apa yang tidak dipilih. Garis demarkasi adalah batas kedaulatan, batas yang memisahkan kita dengan musuh (Yoh.12.20-23)
Di minggu ke lima prapaskah kita diajak untuk makin mendekati misteri penderitaan Yesus. « Sekaranglah hatiku gelisah. Apa yang dapat saya katakan ? Haruskah saya mengatakan, Bapa bebaskanlah aku dari saat ini ? », demikian firasat Yesus akan penderitaan dan kematiannya. Dan lebih lanjut dia meyakinkan para murid, « sekaranglah saatnya dunia dihakimi ». Jangan salah menyangka penghakiman yang dimaksudkan Yesus adalah sebuah genderang perang surgawi yang dipimpin Gabriel melawan penguasa-penguasa dunia. Bukan itu maksud Yesus. Saat penghakiman lebih berarti saat untuk memilih, saat yang paling menentukan untuk atau bersama Yesus atau melawan Yesus. Dengan mengatakan itu Yesus membuat sebuah garis demarkasi, dan Dia meminta para murid dan kita semua untuk memilih. Dia sudah mendahalui mereka dengan melanjutkan kata-katanya « Tapi tidak, saya tidak meminta Bapa membebaskan saya dari saat ini (pilihan), melainkan saya justru datang pada saat ini (ay.27b).
Yesus mau menegaskan bahwa mengikuti Dia tidak bisa setengah-setengah, tidak mungkin berdiri di garis atau di tengah-tengah. Kita harus memilih sepenuhnya bersama Dia atau sebaliknya. Menjadi Kristiani pun demikian, tidak ada kompromi dan tidak bisa relatif. Kesaksian kita sebagai orang Kristiani di tengah dunia harus jelas dan terang, tidak kompromi apalagi sampai menjadi relativis. Pernyataan paus tentang preservatif/kondom tadi adalah contoh sikap yang jelas dan tidak kompromi terhadap kebenaran. Humanisasi seksualitas adalah salah satu contoh pilihan kita orang Kristiani dan kita (bukan kebetulan melalui ‘polemik’ kondom) diajak untuk menyelamatkan seksualitas, menyelamatkan perkawinan dan tentu saja masyarakat seluruhnya. Merenungkan sengsara Yesus setiap hari jumat pada masa prapaskah membantu kita untuk menemukan arti luhur tubuh kita dan tubuh sesama kita. Makna tubuh ditemukan dalam relasi cinta, dalam hubungan dengan sesama. Sengsara Yesus menggarisbahwai nilai konsekrasi tubuh. Tubuh itu bernilai karena terarah untuk dipersembahkan bagi yang lain. Kesetiaan dalam perkawinan tak lain adalah ungkapan paling konkret dari pengurbanan tubuh bagi pasangan kita. Persetubuhan dalam perkawinan bermakna karena merupakan ungkapan persembahan dan pengurbanan diri bagi pasangan, bukan hanya ekspresi karnal. Di luar perkawinan dan komitmen cinta, persetubuhan adalah pertukaran karnal dan bahkan pelacuran dan kadang merupakan ekspansi atau penguasaan atas yang lain.
Selain menggarisbawahi humanisasi seksualitas, paus juga bicara tentang persahabatan yang sejati yang terungkap dalam solidaritas bersama penderita AIDS. Kita tidak bisa berhenti dengan mendistribusi kondom secara gratis untuk memberatas penyakit ini. Kita dipanggil untuk merawat, mendampingi dan memberi waktu bersama mereka yang menderita. Dana yang dihabiskan untuk proyek kondom misalnya, menurut saya, bisa kita pakai justru untuk lebih baik merawat para korban AIDS. Jalan salib yang kita renungkan setiap jumat mengundang kita untuk melihat lagi solidaritas kita dengan para korban, dengan mereka yang menderita. Mari bersama Yesus, berjuang bersama menyelamatkan dan memuliakan manusia. Mari kita menghidupi kesetiaan dari rumah tangga kita, dari hubungan dekat kita dengan yang lain meskipun hal itu nampak seperti setitik air yang tak ada artinya di tengah lautan luas. Jangan kuatir, belajarlah dari Dia yang dengan setia memikul salibnya sampai kalvari. Kemenangan paskah menunggu kita. Saya tentu saja mendoakan anda semua.

Salam,
ronald,sx
Yaoundé, Kamerun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari