Selasa, 20 Mei 2008

Tubuh Hollywood & Holy Ghost: tentang Tubuh dan Mode

Tubuh Hollywood & Holy Ghost: tentang Tubuh dan Mode
Lebih dari sepuluh tahun silam di kota kecil kesayangan saya, seorang gadis muda sempat menjadi pusat perhatian orang-orang ramai di pertokoan. Dia memakai baju putih dengan potongan yang sedikit pendek di atas pusar, tapi pas membalut tubuhnya yang bagus. Kalau tak salah ingat dia memakai celana panjang yang mengerucut sampai ke betis…Yah..,saya ingat sekarang…Waktu itu saya disuruh mama membeli daging kiloan di pasar dekat pertokoan tadi.
“Seperti Tania…”, demikian bisik-bisik para pedagang daging yang terekam di telinga saya. Masa itu Tania tak lain adalah nama seorang tokoh telenovela yang paling diminati di TVRI. Saya tak ingat lagi judulnya apa, tetapi hampir pasti Eric Estrada yang main dalam film Chips adalah lawan mainnya. Dan Tania dalam telenovela itu adalah gadis manis latinos yang sering berpakian putih ketat di atas pusar.
Tetapi gadis manis yang lewat di pertokoan itu bukanlah Tania. Wajahnya masih menunjukkan kalau dia orang setempat. Gaya dan penampilannya lebih banyak meyakinkan saya kalau dia milik kebudayaan ‘kota besar’. Mungkin seorang mahasiswi sebuah universitas di Jawa yang sedang libur kali…, demikian saya mereka-reka saat itu.
Tiga tahun setelah kejadian di pasar daging kota kesayangan itu, saya menyeberang laut dan juga melewati pulau dan tempat-tempat baru; mendekati tempat dan kebudayaan baru bernama kota besar. Orang-orang Mataram-Dompu yang saya jumpai di perjalanan tidak bisa melepaskan saya dari ingatan akan orang-orang sekampung yang bersahaja. Cara mereka berpakian tidak jauh berbeda dengan orang-orang di desa. Kemiskinan seperti tumbuh bersama di daerah Indonesia Timur. Sempat tiga hari tinggal di Bali, lalu jalan lagi hingga ke Gilimanuk. Masih tertulis di buku harian saya tentang Bus Intercontinental yang sempat berhenti membiarkan rombongan gadis-gadis Bali lewat membawa sesaji untuk Ngaben. Pakian mereka memajang dari dada sampai ke pergelangan kaki, membiarkan kulit mereka yang bersih dibakar matahari; mengembalikan saya pada ingatan akan perempuan-perempuan sederhana di kampung papa yang dengan pakian yang kurang lebih sama mandi sekalian menimba air di sumur air desa.
Setelah tiba di Ketapang dan menelusuri pantai utara menuju Jakarta, perempuan- seperti gadis yang dipanggil Tania tadi- bukan hanya satu. Dan di setelah tinggal di Jakarta, Tania seolah tinggal cerita lama di tempat penjualan daging. Sebab wanita dengan dandanan jauh lebih bervariasi dan kreatif selalu bisa ditemukan di mana saja; sebanding dengan factory outlet yang terus muncul bersama menggeliatnya metropolitan. Bahkan di sini pria pun tidak mau kalah bergaya dan ada adjective baru untuk bilangan lelaki macam ini metroseksual. Mereka juga ke butik, merias diri ke salon dan membentuk tubuh mereka di fitnes-fitnes center. Rasanya bukan hanya property yang tengah tumbuh di JKT, tapi juga tempat-tempat semacam itu beserta aspirasi-aspirasi dan hasrat akan gambaran tubuh yang sempurna.
Dan ketika dua tahun lalu berkesempatan cuti ke kampung halaman, kota kecil kesayangan saya sudah banyak berubah. Dan orang-orang ramai tidak pernah heran lagi melihat lebih banyak lagi ‘Tania-Tania’ baru yang lalu lalang di emperan toko. Tania sungguh tinggal cerita lama di masa lalu saya. Sekarang malah lebih banyak lagi icon baru. Ada Paris Hilton, Britney Spears, Linsay Lohan dan maaf..saya tidak punya bakat mengafal nama-nama beken yang selalu juga menjadi wallpaper handphone dan PC anak-anak muda sekarang ini. Dulu saya hanya tahu kalau mama sering pakai Citra Body Lotion murah meriah atau bedak Fifa no.4 kalau mau ke Gereja atau pertemuan Dharmawanita. Sekarang industri kosmetika juga bertumbuh kembang. Semuanya kembali berjalan lurus dengan cita dan gambaran tentang tubuh yang sempurna.
Jenis bahan pakian yang dipilih, kosmetika yang dipakai selalu berangkat bukan hanya dari kebutuhan untuk merawat tubuh tapi juga banyak dipicu oleh pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita, anda dan saya, bisa setiap hari dihadapkan dengan pencitraan tentang gambaran tubuh yang sempurna – yang cukup sering – kita terima begitu saja dari televisi serta media komunikasi massa lainnya. Lebih lagi, pasar meyakinkan kita bahwa kesempurnaan tubuh macam itulah yang mesti kita miliki…”Beli dan beli selalu mengakibatkan cantik dan sempurna” itulah yang seolah-olah mau dikatakan oleh barisan kosmetik multijenis, ribuah mode pakian di atas etalase outlet-uotlet kota-kota kita.
Cukup sering mode kita hubungkan dengan pernak-pernik seputar pakian. Akan tetapi, rasanya mode jauh lebih dari itu; meliputi juga kosmetik, perawatan tubuh dan semacamnya. Maka mode tak lain adalah mode of existence, cara berada orang-orang masa kini; cara siapa saja yang ingin mengambil tempat yang pas di dunia dan di hadapan yang lain. “All we need is to be recognized, affirmed and received. Rasa-rasanya ini lah yang mau dikatakan oleh orang-orang -yang karena impiannya akan kesempurnaan kadang-kadang tidak lagi melihat situasi dan tempat untuk berpakian yang pantas. Makai tengtop atau rok pendek sampai kelihatan upskirt bukan tempatnya di Gereja, samahalnya celana ceplak penuh guntingan. Itu memang bisa nyaman bagi anda yang menerima begitu saja gambaran tentang kesempurnaan tadi, namun tentu pasti tak ngeh bagi orang lain.
Kita bisa saja mengatakan bahwa sikap hati yang tulus adalah hal terpenting dalam ibadah. Akan tetapi, ingat…!, eksistensi kita selalu mengikutsertakan seluruh diri kita, jiwa dan badan serta cara berada kita tadi. Tuhan jangan terlalu cepat dijadikan kambing hitam atau tameng untuk menutup hasrat kita yang sebenarnya mau menggantikan Tuhan. Bukankah dengan pingin agar orang lain terus memandangi dan memperhatikan kita, kita sedang menjadikan diri kita pusat perhatian? Masalahnya bukan hanya soal pantas dan tidak pantas – yang sering kali cukup susah dibedakan – tapi juga permainan-permainan bawah sadar yang sudah terlanjur ditimbulkan oleh pencitraan pasar tentang gambaran tubuh yang sempurna. Kita dibuat yakin bahwa nilai diri seolah-olah ditentukan oleh segala macam kosmetik dan dandanan tertentu.
Memang setiap kita butuh dikenali, diteguhkan dan diterima. Akan tetapi, kita bisa selalu bisa mengungkapkan kebutuhan tadi dengan cara yang lebih pantas dan tepat. Juga patutlah kita memberi perhatian semestinya terhadap tubuh kita, tetapi janganlah kita berhenti menjadikan tubuh berhala baru sebagai tolak ukur yang menentukan nilai kehadiran kita di dunia.
Ada kisah kecil yang diceritakan seorang kawan di Amerika. Dia menghadiri pemakaman sejawatnya. Ketika jenasah diberkati, biasanya diucapkan rumusan “ In the name of the Father, and the Son and the Holy Ghost”. Pendeta mengucapkan rumusan itu pada saat peti diturunkan ke liang lahat. Ia mengucapkan yang sama: In the name of the Father, and the Son, and … “in the hole he goes…!”, tiba-tiba satu suara memotong. Semuanya tertegun. Ternyata seorang anak kecil yang mengucapkan itu. Yah…tubuh tidak akan pernah abadi, kecuali jika kita mau memaknainya secara berbeda. Nantikan tulisan berikut: ketelanjangan – masih seputar tubuh.
Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari