Selasa, 20 Mei 2008

Ketelanjangan dan Rasa Malu Kita


Ketelanjangan dan Rasa Malu Kita: masih tentang Tubuh

Waktu kecil tentu anda pernah dimandikan mama atau papa. Dan kita tidak pernah merasa malu, entah kenapa. Saya sendiri masih ingat lho…Dulu hanya mencak-mencak lebih karena airnya dingin dan daki di badan saya digosok-gosok dengan sikat pakian. Jauh sebelumnya yakni ketika bayi tentu tidak bisa saya ingat, tetapi paling kurang saya yakin pada saat itu tidak ada kebutuhan langsung akan pakian bagus, mahal, bikinan ini dan itu….Tidak. Yang terlihat dan dibaca oleh papa dan mama adalah saya butuh makan, kehangatan dan kenyamanan. Maka mereka menyediakan susu dan bubur, juga selimut.
Perkembangan mode pakian tidak pernah lepas dari sejarah manusia. Bahkan rasanya masuk akal -jika mengikuti alur pikir evolusi- bahwa pakian ditemukan setelah berkembangnya homo sapiens, manusia rasional. Saya lupa persis di mana pakian ditempatkan dalam sejarah, apakah pada zaman batu, logam, atau zaman tulisan. Yang jelas pakian diciptakan manusia lebih kemudian daripada kenyataan manusia yang sejak awal lahir telanjang tanpa pakian.
Pakian menjadi kebutuhan yang mendasar (basic needs) selain makanan dan ruang teduh/rumah karena pakian melindungi manusia dari terik matahari, iklim tertentu yang memberikan ketidaknyamanan fisik bagi manusia. Sifat iklim yang berbeda langsung juga ikut mempengaruhi jenis bahan, ukuran pakian. Orang yang tinggal di kutub utara, Greenland memiliki baju yang jauh lebih tebal dibandingkan orang-orang di daerah tropis.
Pakian juga lahir dari kesadaran manusia tentang siapa dirinya, identitasnya. Laki-laki dan perempuan memilih bahan dan membuat pola pakian yang lebih sesuai dengan keadaan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Pakian juga langsung menegaskan pengakuan akan nilai dirinya sebagai manusia. Tentang nilai diri di balik pakian, Yudaisme telah lama merenungkan kearifan ini. Kisah Adam dan Hawa yang diceritakan dalam kisah Kejadian sangatlah tepat untuk digali kekayaan maknanya.
Sebutan manusia pertama bagi Adam dan Hawa tidak pernah mengidentikannya dengan peristiwa evolusi manusia. Adam dan Hawa adalah renungan iman orang-orang Yahudi tentang arti diri manusia, tempat dan perannya dalam dunia serta dalam hubungannya dengan sesame dan Tuhan. Kata pertama, lebih menunjuk pada gambaran tentang fakta manusia sebagai makluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, sehingga kerap kali juga disebut sebagai citra Allah. Saya mengetengahkan di sini ulasan penting almarhum Yohanes Paulus II sehubungan dengan kisah ini.
“Kesecitraan dengan Allah tidak hanya dalam konteks kemampuan rasional manusia, karunia kehendak bebas, kemampuan untuk mengetahui dan memilih tetapi juga terletak pada kemampuan untuk memiliki diri sendiri dan memberikan dirinya bagi yang lain.” (Theology of Body, audiensi tgl. 14 Nov 1980, hal.46)
Sebelum Hawa tercipta, Adam dikatakan ‘sendiri’. Inilah kesendirian asali (original solitude). Kesendirian ini menunjukkan kesadaran manusia akan dirinya, arti tubuhnya, juga kesadaran akan fakta bahwa dia membutuhkan yang lain. Kesendirian Adam dijawab dengan kehadiran Hawa. Menurut saya seringkali kita terjebak memahami arti kata manusia pertama dalam artian kuantitatif, bahwa Adam lah yang pertama diciptakan sementara Hawa kemudian. (bdk.TOB, hal.36-38)
Setelah saya ikut mendalami ini juga, saya yakin bahwa kata pertama mesti dilihat dalam artian relasi. Bahwa manusia pertama adalah manusia yang berelasi, bersatu dalam hubungan saling membutuhkan. Pertama juga menunjukkan yang pertama-tama atau yang paling pokok dari manusia yakni: relasi cinta. Hal ini digarisbawahi dengan jelas pada Kejadian 2:23-24:

Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.

Relasi itu menurut Yohanes Paulus II ditandai dengan penyatuan badan dan jiwa; menyatu secara seksual-badaniah dan batin spiritual. Manusia seorang diri seperti Adam tidak cukup dan tidak tuntas menyadari dirinnya sebagai pribadi jika tanpa kehadiran yang lain, yakni Hawa. Baru dengan adanya Hawa, dia menyadari itu (bdk. TOB, hal.60-61). Kesecitraan Allah lebih terletak bukan pada kesamaan hidung, mata, mulut, rambut dengan Allah – dan ini juga susah dibuktikan – tapi lebih pada soal hubungan, relasi. Persis hari minggu ini kita merayakan pesta Tritunggal Mahakudus. Iman akan Allah Tritunggal adalah iman akan Allah yang berelasi.
Yang juga menarik dalam kisah ini adalah diperlihatkannya kenyataan manusia pertama sebagai manusia yang telanjang, tanpa pakaian. Meski tanpa pakaian mereka tidak merasa malu sedikit pun. Kejadian 2:2:25. Inilah yang disebut Yohanes Paulus sebagai original nakedness; ketelanjangan asali.
Tubuh yang telanjang ini juga menunjukkan Adam dan Hawa undangan untuk mencintai, untuk bersatu secara badaniah dan rohaniah. Undangan ini adalah panggilan untuk membentuk persekutuan pribadi. Jadi tubuh yang telanjang punya arti asali dan mendasar yakni panggilan untuk saling mencintai. Inilah arti konyugal atau nupsial dari tubuh. Tak adanya rasa malu sebenarnya menunjukkan kepenuhan dan kematangan mereka sebagai pribadi; memperlihatkan juga kemurnian hati dan cinta mereka yang tidak saling melihat diri sebagai objek untuk digunakan, melainkan sebagai anugerah . Mereka saling melihat diri mereka dengan ‘mata Tuhan’ yang melihat segala sesuatu baik adanya (Kej.1:31).bdk. TOB, hal.57-58.
Dalam renungan saya, jika kita melihat struktur tubuh manusia sudah terdapat semacam cetak biru/blue print relasi. Tegak berdiri, tangan membentang dari luar ke dalam untuk merangkul dan memeluk, mata di bagian atas untuk melihat dengan jangkauan /dimensi yang luas, dan seterusnya.
Akhirnya ketelanjangan sejatinya adalah makna terluhur dalam relasi manusia. Ketelanjangan susah dipahami di luar konteks relasi cinta manusia yang satu dengan manusia yang lain. Saya akhirnya baru mengerti kenapa waktu kecil tidak ada rasa malu saat dimandikan mama, yakni ada ada kepercayaan penuh bahwa saya tidak pernah dijadikan obyek tapi dicintai dan diterima tanpa syarat.

Asal Muasal Rasa Malu
Dengan kebebasannya, manusia bisa mencintai sekaligus menolak Allah pada saat yang sama. Inilah resiko yang sudah diperhitungkan Tuhan dengan baik. Tuhan sedemikian mencintai manusia hingga memberikannya kebebasan seperti itu. Jatuhnya Adam-Hawa dalam dosa tidak lepas dari kebebasan yang dimiliki keduaya. Mereka memilih untuk melanggar dan menolak Allah dengan makan buah terlarang. Mereka tidak menghendaki Allah campur tangan dalam hidupnya. Pilihan inilah yang akhirnya membuat dia serta merta bersembunyi ketika Tuhan datang.
“Aku takut dan bersembunyi karena aku telanjang”, demikian kata Adam ketika mendengar Tuhan mendatanginya. Karena pilihan inilah Adam tidak lagi melihat dirinya sebagai partner atau rekan Allah, tetapi lebih sebagai objek dari Allah. Ia mulai takut, khawatir kalau-kalau Tuhan akan menghukumnya. Ia mulai melihat dirinya sebagai objek yang siap dikuasai. Dan pada saat yang sama pula ia mulai melihat Hawa sebagai objek yang bisa digunakan. Yohanes Paulus dengan sangat mengagumkan menulis:
“Kata-kata dalam Kejadian 3:10 (Aku takut karena aku telanjang, dan aku bersembunyi) langsng menunjukkan perubahan radikal tentang arti ketelanjangan asali. Ketelanjangan yang pada mulanya berarti positif sebagai pengungkapkan penuh penerimaan akan tubuh dan seluruh pribadi manusia sekarang berubah menjadi negatif yakni menjadi nafsu” (TOB, 112-113) . Akibat nafsu itulah manusia menjadi malu (shame) dengan dirinya dan tubuhnya sendiri, dan mulai melihat tubuh yang lain sebagai objek pemuasan kebutuhan seksualnya. Nafsu birahi yang menyatu dengan rasa malu dan menjadi Impuls atau dorongan untuk menguasai yang lain sebagai obyek, bukan lagi sebagai partner dan pribadi yang diterima dan dicintai secara penuh. Di pihak lain, rasa malu juga mengandung hal positif yakni kebutuhan untuk self-protection , tidak dilihat dan digunakan orang lain sebagai objek.
Di negeri ini pornografi pernah mau diberantas dengan membuat RUU Anti Pornografi-Pornoaksi. Saya masih ingat pengalaman indah turun ke jalan mengitari Sudirman hingga berhenti di bunderan HI, bergabung dalam pawai Nusantara menolak RUU itu dua tahun yang lalu. Pornografi memang salah besar, ancaman terhadap hubungan tulus manusia karena meluaskan pandangan dan keyakinan tentang manusia sebagai objek daripada subjek relasi. Akan tetapi, pornografi bagaikan lalang di antara gandum, tidak pernah cukup dan tidak bijak diselesaikan dengan membuat sebuah RUU yang juga tidak dipami dengan jelas substansinya. Kami turun ke jalan bukan untuk mendukung pornografi, tetapi dengan keyakinan bahwa RUU itu hanya akan mengenyampingkan, mengendorkan kemampuan pribadi, keluarga, komunitas beragama untuk mendidik anak-anak dan umat mereka membangun hubungan yang tulus dan otentik dengan sesama manusia. Kita memerangi pornografi dari rumah kita sendiri, dari keluarga, dari komunitas iman, dari lingkaran persahabatan kita sendiri.
Indonesia akhir-akhir ini tercatat sebagai salah satu negara dengan pengakses situs pornografi terbesar di dunia. Semoga tulisan ini setidak-tidaknya memberi bahan pertimbangan bagi kita untuk memilih dan mengakses situs-situs mana saja yang berguna bagi hidup dan hubungan bersama yang makin tulus dan sejati. Di mana ada cinta, di situ tak ada rasa malu, tapi ada rasa hormat dan penerimaan tanpa syarat.

Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari