Minggu, 11 Mei 2008

Sang Penghibur

Sang Penghibur
Hampir di mana saja di kebudayaan manusia, menjelang kematian, orang tua memanggil anak atau keluarga terdekat untuk berkumpul. Biasanya diberikan petuah-petuah serta petunjuk-petunjuk tentang pembagian warisan. Saat-saat perpisahan ini tidak selalu menjadi peristiwa menyedihkan dan mengguncang-guncang hati. Ada yang justru menunggu-nunggu karena ingin memastikan seberapa jatah bagian warisan yang akan diterima. Saya pernah kesal dengan salah satu ipar jauh saya yang suatu waktu pernah duduk nongkrong main kartu dan membiarkan mertuanya menunggu ajal. Emmanuel Levinas rasanya betul waktu dia bilang bahwa kematian sering membuat apa yang pernah kita miliki dunia tinggal sebagai ‘jarahan bagi orang lain’.
Sebelum kematian-Nya, Yesus mengadakan jamuan makan perpisahan dengan para murid. Akan tetapi, dia tidak meninggalkan warisan sebagaimana yang umumnya dibuat. Tak ada pembagian kekuasaan – sebagaimana pernah diharapkan anak-anak Zebedeus (Mrk.10:35-45). Ia dalam jamuan makan malam itu, meninggalkan sebuah cara hidup, rangkuman dari seluruh ajaran-Nya, yakni berlutut membasuh kaki dan melayani meja; sesuatu yang kiranya pada saat itu langsung menjungkirbalikkan harapan duniawi dari mayoritas murid. Dia meninggalkan sesuatu yang sama sekali lain: mengasihi sebagaimana Dia telah mengasihi.
Perasaan-perasaan sedih yang kian menggumpal di hati para murid dicairkan dengan janji-janji pengharapan: “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan aku pergi untuk kembali kepadamu dan membawa kamu ke tempat di mana Aku berada” (Yoh. 14:3). Kata-kata ini memang mengorientasikan para murid dan kita semua pada masa depan, saat mana kita mengalami puncak persekutuan dengan Kristus dalam kedatangan-Nya yang kedua (parousia). Akan tetapi, kata-kata yang sama juga menarik masa depan itu ke saat ini, menegaskan pada kita bahwa Ia tetap tinggal sekarang ini, di sini, di tengah sejarah…, jika kita punya hati untuk mencari dan melihat-Nya.
Dan untuk tetap melihat-Nya, Ia menjanjikan kita Penolong yang lain, yakni Roh Kudus yang menyertai kita selamanya. Roh itu membantu kita tetap bisa menemukan Dia meski dunia tidak mengenal-Nya; tidak juga memberi tempat bagi Dia. Dunia yang dimaksud tak lain dengan segala bentuk pengingkaran terhadap kebenaran, keadilan dan cinta kasih, yang mewujud dalam perang, pemiskinan, perusakan lingkungan, politik yang korup, ekonomi yang curang dan tak adil, eskapisme-eskapisme modern dalam budaya dan teknologi instant.
Berkat Roh Kudus, kita bisa dibantu untuk selalu bisa menemukan dan menjumpai Tuhan dalam segala sesuatu, meski dunia tidak melihatnya; meski jarak pandang kita mulai kabur oleh hiburan, advertasi dan banyak pandangan dunia lain yang masuk lewat televisi dan internet di bilik-bilik rumah kita; kita tergoda untuk merelatifkan antara apa yang baik dan yang paling baik; melihat uang atau harta sama pentingnya dengan kasih saying. Maka kita sudah merasa cukup mencintai keluarga dengan meninggalkan uang yang cukup di rekening istri buat belanja sebulan, atau membelikan satu Volkswagen baru untuk ultah anak tanpa merasa penting hadir pada saat yang membahagiakan itu. Kita juga sering merelatifkan penghargaan terhadap kesejahteraan karyawan kita demi keuntungan usaha kita sendiri. We must keep on surviving, berkejaran dengan waktu dan berkompromi dengan ekonomi.
Tuhan tidak meninggalkan kita sebagai yatim piatu. Dia menganugerahkan Roh Kudus, Sang Penghibur yang akan terus mengajarkan kepada kita kearifan hidup yang jauh lebih banyak dari yang pernah kita bayangkan. Roh itu pula yang meyakinkan kita bahwa sabda-sabda Yesus yang kita dengar dan kita tidak pernah kosong tanpa arti, malah sungguh hidup dan menggerakkan kaki dan tangan kita.
Lalu kita bertanya, sebenarnya Roh yang dimaksudkan Yesus itu apa sih? Apakah Roh itu adalah kenyataan lain di luar diri-Nya? Kematian Yesus di salib adalah pernyataan pemberian diri-Nya bagi Allah, demi kita. Roh tak lain adalah buah cinta Yesus pada kita. Di pihak lain Roh itu adalah buah cinta antara Yesus sang Putra dan Bapa. Cinta selalu menghasilkan buah. Yesus sendiri mengatakan: “ Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu” (Yoh.15:9). Maka kepergian Yesus (baca: kematian, kebangkitan hingga kenaikan-Nya ke surga) bukanlah perpisahan yang menderitakan, melainkan saat perjumpaan baru dengan Allah. Dengan mati Yesus memberikan hidup Allah sendiri – yang telah mengasihi-Nya – bagi kita. Bukankah Dia mengatakan bahwa biji harus mati agar menghasilkan buah?
Dengan bangkit dan naik ke surga, Dia membiarkan Allah, melalui Roh Kudus – buah kasihNya dengan Bapa – memperbaharui hidup kita dan menghantar kita pada pengharapan akan persekutuan yang kekal dengan-Nya. Dia sendiri juga menegaskan:
“ Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu (Yoh.16:8).
Pada janji akan Roh Kudus inilah harapan kita berdasar dan pada warisan cinta kasih cara hidup Kamis Putih, kita punya modal abadi untuk terus berjuang dalam hidup. Maka merayakan Pentakosta, tidak pernah dilepaskan dari seluruh sejarah keselamatan yang puncak-puncaknya kita rayakan mulai Pra-paskah hingga Paskah. Lilin paskah yang terus menyala selama 50 puluh hari adalah ingatan sekaligus undangan untuk terus memelihara iman paskah ini: bahwa tidak mungkin orang yang mengasihi tanpa batas mati selamanya, bahwa mengasihi itu selalu menghasilkan buah. Peristiwa paskah yang kita rayakan hingga memuncak pada Pentakosta bagaikan perjalanan memelihara pesemaian dalam hati kita untuk menerima dan membiarkan benih Roh Allah sungguh-sungguh tumbuh, menguncang-guncang dan menggerak-gerakkan hidup kita untuk mengubah dunia ini. Pentakosta adalah kesempatan untuk memperbaharui janji babtis – dengan mana kita mendapat anugerah Roh Allah, untuk selalu sekali lagi membiarkan Roh Kudus, yakni Kasih Allah sendiri mendesak, mendorong, menggerak-gerakkan tangan dan kaki kita untuk mengerjakan kebenaran, merancang keadilan, mengatapi hidup bersama dengan penerimaan dan pengampunan, mewarnai hidup harian dengan kesetiaan dan tanggung jawab, dan menandai dalam hidup kita pilihan untuk selalu menjadi bagian dari mereka yang miskin dan papa.

Selamat Hari Raya Pentakosta
Semoga Kasih Kristus Mendorong Anda
Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari