Minggu, 23 November 2008

GOOGLE, Tuhan dan Kita


GOOGLE, Tuhan dan Kita

Saya baru-baru ini melihat dua reportasi dokumenter dari National Geographic. Yang pertama, tentang ritus nudis (telanjang) sebuah sekte New Age di Amerika dan di Jepang. Yang kedua tentang sebuah ritus masokist atau melukai diri sampai bedarah-darah sebagai bentuk inisiasi ke dalam kelompok suku dan agama tertentu di Selandia Baru. Melalui aksi-aksi demikian, para penganut sekte atau suku tersebut mau berjumpa dengan yang transenden, yang sering mereka sebut sebagai Tuhan. Salahkah mereka? Benarkah ini yang kita sebut pengalaman religius? Apa sesungguhnya pengalaman religius? Apa bedanya mereka dengan para teroris yang menjustifikasi tindakan mereka berdasarkan perintah agama?
Pasti google sangat akrab bagi anda. Ia merupakan mesin pencari, search engine yang terkemuka, paling canggih di antara mesin pencari lainnya, mesin virtal yang sanggup membongkar seluruh detail dokumen yang tersimpan di internet.
Mencari merupakan bagian penting dari eksistensi kita sebagai ciptaan yang terbatas. Karena itu kita mencari apa yang bisa memenuhi kebutuhan kita itu. Sangan, pangan, papan hingga fenomen ekonomi, politik dan religius bisa dijelaskan berdasarkan itu. Saya mau beri perhatian tentang fenomen terakhir yang kata orang cermin dari kebutuhan transendental-religius sendiri. Dengan transendensi dimaksud bahwa manusia tidak bahagia hanya karena dia sudah bisa makan tiga kali sehari,sudah jadi kaya, menguasai tiga atau empat perusahan tapi karena kenyataan bahwa ia tidak bisa hidup tanpa yang lain, yang transenden yang berada di luar dirinya. Karena kesadarannya ini, ia pun disebut transenden, melampau diri, ke luar dari dirinya.
Saya teringat Simone Weil, seorang filsuf perempuan Perancis yang hidup sebagai buruh di pabrik Renault tahun 30-an, dalam surat pribadinya kepada Father Perin menulis begini tentang Tuhan: Jika kita berkata Tuhan itu dapat kita temui di sini, di dunia ini, itu bukan Dia. Kita tak dapat menempuh hanya satu langkah untuk sampai padanya. Kita tidak perlu mencarinya, kita hanya butuh mengubah arah atau cara kita melihatnya. Dialah yang mencari kita...( “concerning our father, dalam Simone weil, Waiting on God, Fontana Books 1950).
Tuhan yang mencari kita...Lalu apakah salah mencarinya? Bukankah dengan mengatakan demikian, agama seperti tidak ada apa-apanya? Lalu apa gunanya kita menjalankan perintah-perintah agama? Bukankah sebagian kita yakin bahwa perintah dan ajaran-ajaran bersumber darinya? Lalu untuk apa Dia memberikannya untuk kita?
Kata-kata Simoné langsung meruntuhkan juga klaim para penganut sekte New Age yang merasa dengan tindakan ritual mereka Tuhan dapat dijumpai. New age seperti mengembalikan kita pada mentalitas religius kuno yang melihat Allah atau yang Transenden yang ada di bawah kontrol manusia. Dengan mempersembahkan korban hewan atau manusia atau dengan melakukan ritual telanjang atau melukai diri, dewa atau tuhan seperti dipancing untuk datang dan mengabulkan keinginan manusia. Mengikuti Weil, ini bukan Tuhan, melainkan Tuhan ciptaan kita.
Sebelum Weil, seorang idealis dan ateis Jerman, Feurbach mengeritik hal serupa. Dia bilang Tuhan dalam kepercayaan manusia sebenarnya adalah proyeksi kebutuhan manusia yang mau jadi kuat,berkuasa, kaya dan seterusnya. Walaupun Feurbach tidak seluruhnya benar, ia tepat menumbuk kita pada kecenderungan mengurung Allah dalam kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan manusiawi kita, apapun itu termasuk kebutuhan karnal-seksual seperti yang dipraktekkan sekte nudis; pada kecenderungan kita ‘membeli’ Tuhan dengan kesalehan-kesalehan kita. Sekali lagi Weil bilang, ini bukan Tuhan.
Kata-kata Simoné tentu saja bukan sindiran buat kita yang cenderung mencari Tuhan bahwa mencari Tuhan itu salah, tapi sebuah pertanyaan mendalam tentang alasan kenapa kita mencari-Nya dan juga sebuah undangan untuk melihat Tuhan apa adanya, bebas dari perangkap kepentingan kita. Allah bagaimanapun juga, seperti yang dibilang Weil, tak sanggup kita kuasai, berada di luar kendali kita. Lalu bagaimana perjumpaan dengan Tuhan itu mungkin terjadi?
Tuhan mencari kita....adalah salah satu pesan utama iman Kristiani. Allah sering digambarkan sebagai gembala yang mencari umatnya. Seorang pujangga Israel, Yehezkiel, dalam kidungnya bernyanyi manis: “ Tuhan sang gembala mencari sendiri dombanya yang hilang, membawa pulang yang tersesat, membalut yang luka, dan membaringkannya di tanah lapang”. Tuhan turun dari kemahakuasaannya; meski Dia jauh melampaui segala pemikiran kita tapi pada saat yang sama dia dekat dan datang sendiri menjumpai kita. Paling mudah merasakan kehadirannya yang mencari kita dalam kenyataan suara hati. Suara hati adalah hati nurani yang bersuara, yang selalu memanggil kita untuk berbuat baik dan jujur. Pun kalau kita tidak mentaatinya, suara itu tetap datang sebagai teguran di hati, menuntut kita bertanggung jawab. Mencari dan menyelamatkan manusia yang hilang dan berdosa itulah wajah Allah yang otentik. Secanggih-canggihnya google, ia tidak sanggup mencari apalagi menyelamatkan yang hilang, yang sakit,yang menderita dan yang berdosa.
SimonĂ© Weil akhirnya bilang, “terhadap Tuhan yang mencari kita ini, sikap yang pantas kita miliki adalah menunggu, waiting on..with longing and thirst cry...Menunggu dengan hati yang merindu seraya percaya bahwa dia tak mungkin tidak menghampiri kita itulah sikap iman yang mendasar, fenomen religius yang otentik. Dan hanya dalam konteks ini segala sembah bakti kita, doa dan pinta kita bermakna sebab semua sembah bakti itu kita buat karena kenyataan bahwa kita tidak pernah ditinggalkan...

Ronald FT.,
Pd hari Chirsto Regi
Cameroun - 08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari