Minggu, 09 November 2008

CINTA YANG MENGHANGUSKAN

CINTA YANG MENGHANGUSKAN
Sulit bagi saya melupakan sebuah tungku api sederhana di rumah yang pernah kami tempati dulu, di sebuah kota kecil dekat perbukitan rimbun dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Setiap pagi kami sekeluarga sering berkumpul di perapian itu untuk menghangatkan badan; sering juga bercerita sambil minum kopi bikinan sendiri.
Meski beberapa kali tidak saling bicara sehabis bertengkar dengan saudara atau orangtua, perapian itu sulit ditinggalkan. Perapian itu seperti selalu memanggil kami semua untuk berdiang di dekatnya. Dan memang dengan sendirinya hubungan kami kembali pulih di dekat perapian itu. Perapian dari serbuk-serbuk kayu gergajian itu bahkan sering jadi pilihan untuk berdoa. Perapian di rumah sederhana bagaimanapun juga membesarkan saya. Meski ada televisi dan radio, hiburan ini tidak pernah menggantikan kerinduan untuk tinggal berdiang di dekat perapian.
Kalau anda suka berkemah, pasti api unggun sulit pula ditinggalkan sebagai bagian penting dari seluruh rangkaian acara. Beberapa kali bersama beberapa kelompok mahasiswa, acara ini betul-betul tidak pernah dilewatkan. Kehangatan perapian membawa orang pada sebuah hubungan. Api mengorientasikan siapa pun pada sebuah penerimaan tanpa syarat. Terserah apakah anda pecundang, orang suci; pelacur atau orang benar, api tetap memberikan kehangatannya. Inilah kearifan yang menginspirasi sekelompok manusia membuat perapian; jauh lebih dari sekedar kebutuhan survival –misalnya memasak makanan untuk makan atau hanya mengusir kedinginan. Di hadapannya kita seperti tidak punya hak dan kuasa untuk menghakimi siapa yang paling benar dan siapa yang tidak. Di hadapannya kita semua sama, yakni orang yang sama-sama menerima kehangatannya. Dari kearifan api inilah saya memahami doa seorang pendosa jauh berabad-abad lampau di timur tengah:
Cinta akan rumahmu menghanguskan aku
Api dan perapian sederahan di rumah kecil saya mengingatkan saya pada Tuhan yang memberikan matahari pada orang baik dan benar, yang memberi kehangatan pada semua orang tanpa syarat. Inilah yang mestinya jadi alasan kenapa kita mesti menerima orang lain dalam segala bedanya. Ingatan dan kerinduan akan kehangatan cinta inilah yang juga mesti jadi alasan kenapa kita mesti kembali bangkit dari setiap kekalahan, kenapa kita mesti kembali setelah kita berkhianat seperti pendosa tadi. Kebenaran bahwa ia tetap diterima tanpa syarat itulah yang mengobarkan hatinya untuk kembali ke jalan hidup yang benar meski ia berada jauh dari api – lepas dari kehangatan itu . Kerinduan iman seperti ini bahkan terasa jauh lebih sekedar menghangatkan, yakni malah terasa seperti menghanguskan. Mudah-mudahan iman dan pengharapan sebesar ini mendorong kita semua kembali memulai satu minggu yang baru dengan itikad baik. Semoga doa pendosa tadi menjadi doa kita semua dalam peziarahan kita minggu ini. Doa ini pas sekali buat kita yang senantiasa hidup dalam faktisitas atau kegentingan antara ketaatan dan pemberontakan, antara kesetiaan dan pelariannya.


Ronald,
Yaoundé, 09 Novembre 08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari