Rabu, 05 November 2008


BURUNG GAGAK DAN DUKACITA KITA
Setiap pagi di atas atap rumah saya, Kamerun, ada dua gagak hitam yang bermain dan kadang-kadang saling membersihkan sesuatu di bulu-bulu mereka. Beberapa kali ketika saya perhatikan, hanya ada satu gagak yang muncul duluan. Dia melompat ke sana ke mari, mungkin mencari-caru pasangannya lalu duduk terpekur di atas seng. « Siapa tahu dia sedih karena pasangannya gak datang-datang juga », begitu pikir saya, dari jendela kamar. Seperempat jam kemudian saya perhatikan lagi, dia masih di situ dan eh..tak berapa lama kemudian pasangan yang ditunggu muncul juga dan mereka kembali bermain seperti hari-hari lainnya. Yang satu seperti sudah percaya bahwa yang lain tak mungkin tak setia.
Dari jendela yang sama di mana saya memperhatikan burung gagak itu, saya mulai memahami kekayaan dan kedalaman arti kenapa suatu waktu Yesus berkata kepada orang yang berduka cita, Berbahagialah ; « Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur » (Mat.5 :1-5), demikian kata-Nya. Apakah itu artinya duka dan bahagia selalu ada sebagai kenyataan yang sama ? Bukankah duka dan bahagia sudah kita alami sebagai dua kenyataan berbeda yang saling berlawanan ? Duka seperti selalu merenggut bahagia dan dalam kebahagiaan kita percaya duka tak punya tempat.
Duka paling sering kita alami ketika kehilangan orang yang kita kasihi. Kawan lama saya sampai sekarang hancur hidupnya karena menjelang pertunanganan yang sudah lama disiapkan, pasangannya memutuskan semua komunikasi. Gila, mau apa jadinya hidup jika di puncak karier, kita gagal total atau orang yang menjadi tumpuan hidup kita mati; suami tercinta suatu malam dijemput polisi dan kemudian hidup dalam hukuman yang tak pernah dengan adil diputuskan. Lalu apakah pantas jika kita mengalami semuanya itu ? Masih kita bisa menyebut diri kita berbahagia ?
Duka dan cita tetap dua buah kenyatan yang berbeda. Duka itu perih, sakit dan tak mengenakkan. Sementara suka berisi riang, tawa, senyum dan hati yang serasa penuh. Meski berbeda, kita tidak harus memisahkannya. Mari kita perhatikan kearifan nenek moyang kita yang mewariskan pada kita kata ini dukacita dan sukacita. Duka dan suka adalah bagian dari cita,yakni aspirasi, atau kepenuhan. Cita bersumber bukan dari diri kita sendiri tapi dari sesuatu di luar kita, yang tak terbatas, yang ultim, dan kita orang beriman menyebutnya Tuhan. Duka tak bernilai jika kita melepaskannya dari sumber kehidupan. Dalam duka kita mesti tetap menaruh harapan pada-Nya; Dialah yang menjamin bahwa hidup kita dipulihkan.
Seperti burung gagak yang tetap menaruh percaya pada pasangannya, demikian kita mesti tetap menaruh percaya pada Dia, Segala yang Baik. Itulah makna dukacita dan itulah kenapa dalam setiap belasungkawa kita mengatakan, saya turut berduka cita...Dengan kalimat itu kita mengatakan ikut serta dalam kepedihan dan kehilangan tapi pada saat yang sama percaya bahwa kepedihan itu akan segera dipulihkan. Pun kegembiraan kita akan menjadi sementara dan dangkal kalau kita melepaskannya dari rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan. Itulah arti sukacita.Sebab dia yang ikut menyempurnakan kegembiraan kita. Maka berbahagialah mereka yang berdukacita dan percaya bahwa mereka akan dihibur.


Salam


Ronald,sx

Yaoundé-Cameroun









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari