Selasa, 18 November 2014

Selamat Tinggal

Info

Rabu, 19 November 2014


Selamat Tinggal



11:1 Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang nasib buruk mereka, dan ketika TUHAN mendengarnya bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di antara mereka dan merajalela di tepi tempat perkemahan.


11:2 Lalu berteriaklah bangsa itu kepada Musa, dan Musa berdoa kepada TUHAN; maka padamlah api itu.


11:3 Sebab itu orang menamai tempat itu Tabera, karena telah menyala api TUHAN di antara mereka.


11:4 Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: "Siapakah yang akan memberi kita makan daging?


11:5 Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih.


11:6 Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat."


11:7 Adapun manna itu seperti ketumbar dan kelihatannya seperti damar bedolah.


11:8 Bangsa itu berlari kian ke mari untuk memungutnya, lalu menggilingnya dengan batu kilangan atau menumbuknya dalam lumpang. Mereka memasaknya dalam periuk dan membuatnya menjadi roti bundar; rasanya seperti rasa panganan yang digoreng.


11:9 Dan apabila embun turun di tempat perkemahan pada waktu malam, maka turunlah juga manna di situ.


11:10 Ketika Musa mendengar bangsa itu, yaitu orang-orang dari setiap kaum, menangis di depan pintu kemahnya, bangkitlah murka TUHAN dengan sangat, dan hal itu dipandang jahat oleh Musa.



Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang nasib buruk mereka, dan ketika TUHAN mendengarnya bangkitlah murka-Nya. —Bilangan 11:1


Selamat Tinggal


Ketika Max Lucado berpartisipasi dalam suatu perlombaan separuh triatlon, ia mengalami pengaruh negatif dari keluh-kesah. Ia berkisah, “Setelah berenang sekitar 2 KM dan bersepeda sejauh 90 km, aku tak punya banyak tenaga lagi untuk berlari sejauh 21 km. Demikian juga halnya dengan orang yang berlari di sampingku. Orang itu berkata, ‘Ini sangat memuakkan. Mengikuti lomba ini adalah keputusan terbodoh yang pernah kulakukan.’ Aku berkata kepadanya, ‘Selamat tinggal.’” Max tahu, jika ia terlalu lama mendengarkan keluh-kesah itu, tidak lama kemudian ia akan menyetujui orang tersebut.


Oleh karena itu, ia mengucapkan selamat tinggal dan terus berlari.


Di antara umat Israel, terlalu banyak orang yang sudah terlalu lama mendengarkan keluh-kesah yang beredar dan mulai menyetujui orang-orang yang mengeluh tersebut. Sikap itu tidak berkenan kepada Allah, dan pantaslah Allah marah. Allah telah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, dan berkenan untuk tinggal di tengah-tengah mereka, tetapi mereka tetap saja mengeluh. Selain kehidupan yang berat di tengah padang gurun, mereka juga tidak puas dengan manna yang disediakan Allah. Dengan berkeluh-kesah, orang Israel lupa bahwa manna itu adalah pemberian untuk mereka dari tangan Allah yang penuh kasih (Bil. 11:6). Karena berkeluh-kesah itu akan meracuni hati dengan sikap tidak tahu berterima kasih dan dapat menular, Allah harus menghakiminya.


Inilah cara yang pasti untuk mengucapkan “selamat tinggal” pada sikap keluh-kesah dan tidak tahu berterima kasih: Setiap hari, marilah mengingat kembali kesetiaan dan kebaikan Allah bagi diri kita. —MLW


Ya Tuhan, Engkau telah memberi kami begitu banyak. Ampunilah

lemahnya ingatan kami dan buruknya perilaku kami. Tolong kami

untuk mengingat dan bersyukur atas semua yang Engkau berikan.

Tolong kami menceritakan kebaikan-Mu bagi kami kepada sesama.


Menyuarakan kesetiaan Allah akan membungkam ketidakpuasan.


facebook google_plus


Artikel ini termasuk dalam kategori Santapan Rohani, SaTe Kamu







from WarungSateKaMu.org

via IFTTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari