Jumat, 29 Februari 2008

Cinta Mati...


CINTA MATI

Dengan sabar setiap Jumat sore, sebuah kursi roda meringsek pelan-pelan melewati jalan yang masih kasar lalu mengikuti konblok yang tersusun rapi di halaman rumah kami. Laki-laki setengah baya itu dituntun seorang wanita berkacamata. Suami-istri ini adalah tetangga yang sering menghadiri ekaristi di tempat kami. Bahkan sore tadi meski gerimis turun, seperti biasa mereka tetap datang berdua …Bapak dan ibu sriyono, begitu mereka sering kusapa.
Setiap kali melihat dan menyambut kedatangan mereka, hati saya selalu terhibur sekaligus bersyukur atas panggilan hidup berkeluarga. Saya jadi ingat papa yang lebih dari 12 tahun lalu terbujur tak berdaya di rumah sakit dan ditemani mama dengan sabar selama seminggu. Tiga hari sebelum ia meninggal, papa tiba-tiba tidak bicara lagi dan mamalah yang paling mengerti apa yang diminta papa saat itu meski tak satu suara pun yang keluar.
Cintalah yang membuat tangan-tangan bu Sriyono tetap kuat memegang kursi roda sang suami. Dan saya yakin cinta pula yang sanggup membuat mama mengerti semua kebutuhan papa di saat dia tidak sanggup lagi mengungkapkannya.
Mama dan tentu saja bu Sriyono mengerti betul apa yang mereka janjikan ketika berhadap-hadapan dengan suami mereka di depan altar yakni berjanji untuk mencintai sehidup semati.
Gereja rasanya sangat tepat mewariskan anjuran Yesus agar hidup perkawinan dibangun tidak hanya atas dasar cinta manusiawi melainkan cinta ilahi. Bahkan hal yang mencirikan perkawinan Katolik terutama adalah perkawinan yang mengungkapkan hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya, hubungan kasih Allah dengan umat-Nya. Sifat monogam dan tak terceraikan adalah konsekuensinya. Andai perkawinan dan hidup berkeluarga hanya bersandar pada cinta manusiawi, tentu hidup berkeluarga tidak akan bertahan. Kaum hippies atau sesantoni di tahun 60-an yang mengagungkan selebrasi kebebasan percaya bahwa nilai-nilai seperti cinta dan kebaikan itu berasal dari diri manusia sendiri. Pada saat yang sama nilai-nilai itu tidak lagi mutlak karena manusia sendirilah yang bisa menyangkalnya. Affair dalam perkawinan sampai pada keputusan berselingkuh lahir dari kepercayaan ini. Bahkan perkawinan itu sendiri tidak penting; married gak married yang penting kumpul dulu…
Hosea kiranya satu dari antara nabi-nabi Israel yang sedemikian pilu jalan hidupnya. Ia menikahi seorang perempuan sundal, pelacur kawakan. Gomer binti Deblaim namanya. Hosea sedemikian mengasihi istrinya sampai kadang-kadang hampir ‘tidak rasional’. Bayangkan dia masih tetap sang istri mesti ia berulang kali tetap mencari kawan selingkuh…Perkawinan Hosea dipakai untuk menggambarkan hubungan kasih Allah dengan umat-Nya Israel. Allah mencintai umat-Nya itu meski berulang kali Israel berkhianat. Hubungan kasih ini lah yang antara lain menjadi salah satu model bagi hubungan perkawinan Kristen.
Kenapa kita butuh model, kenapa kita butuh pegangan seperti ini? Lagi-lagi kita sebagai istri dan suami tidak pernah bertumbuh jika bermodalkan cinta yang semata manusiawi. Hidup berkeluarga yang otentik akhirnya didasari oleh cinta yang berasal dari luar diri kita, dari luar diri baik suami dan istri yakni Allah sendiri. Benar bahwa lesung pipit lengkap dengan senyuman ramah pasangan anda yang mungkin mula-mula membuat anda jatuh hati lalu mulai mencari-cari perhatian sampai akhirnya sepakat dan jadian. Tetapi bukan melulu romantisme itu yang membuat anda akhirnya tetap at home dengan pasangan anda meski akhirnya setelah 20 tahun berumah tangga anda mendapati sang istri tidak cantik lagi seperti dulu, atau sang suami lumpuh total karena kecelakaan sebagaimana dialami bu Sriyono.
Cinta Allah lah yang sama-sama menjadi daya tarik baik bagi suami maupun istri untuk saling memberi diri tanpa syarat. Panggilan hidup berkeluarga bergerak dari cinta manusiawi (daya tarik masing-masing) ke pada cinta ilahi di mana pribadi Allah sendirilah yang memikat dan mengikat kita. Kebenaran bahwa kita dikasihi Allah tanpa syaratlah yang membuat pengampunan dan penerimaan itu tidak mustahil. Rasanya ungkapan berikut ini pun tepat: Romantic love tends to be blind to the faults.Spiritual love is aware of the limitations. Cinta manusiawi yang cenderung romantis cenderung buta atau masa bodoh dengan kesalahan pasangan. Sikap ini bukanlah ciri penerimaan dan penyambutan yang dewasa. Sementara cinta ilahi membuat kita dengan jujur menerima keterbatasan kita tanpa menghakimi, justru karena kita mengalami bagaimana diampuni Allah secara tanpa syarat. Inilah arti sakramental hubungan perkawinan. Suami dan istri saling menjadi tanda kehadiran Allah, termasuk bagi anak-anak mereka.
Saya tahu mama orang pertama yang hatinya hancur ketika ditinggal mati papa persis pula ketika kami anak-anaknya masih terlalu kecil untuk ditinggalkan. Tapi dia juga orang pertama yang selalu percaya papa tidak mati. Dan dia tetap mencintainya sampai sekarang dalam diri kami. Saya yakin itulah yang diminta papa terakhir kali meski kami tidak pernah mendengarnya…mencintai dia dalam diri kami. Itulah cinta yang tak pernah mati, cinta Allah sendiri yang terus tumbuh sepanjang waktu.
Saya berdoa bagi anda yang terpanggil untuk hidup berkeluarga termasuk mereka yang tengah mempersiapkan diri untuk itu supaya sungguh-sungguh menjadikan kasih Allah sebagai cakrawala yang tak habis-habisnya anda pandangi sehingga juga benar-benar menjadi tanda kehadirannya bagi dunia.

Salam,

Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari