Kamis, 10 April 2008

Di Tepinya Sungai Babilon - Keputusasaan Kita

Di Tepinya Sungai Babilon – Keputusasaan Kita

Dua puluh oktober 1994 tidak pernah saya lupakan. Saat itu saya baru sadar bahwa manusia toh harus mati juga. Papa saya yang baru lima hari di rumah sakit setelah divonis gagal ginjal dan persis di hari kelima stock oksigen di R.S. menipis. Dokter meminta pihak keluarga mengusahakannya sendiri. Dan jadilah hari itu, hari minggu, saya menemani paman mencari tangki oksigen dari bengkel mobil yang satu ke bengkel mobil lainnya. Hari minggu cukup menyulitkan kami, soalnya bengkel-bengkel pada tutup semua. Saya berlari sambil nangis membayangkan bagaimana jadinya jika betul-betul tak satupun bengkel yang buka, papa saya pasti mati hari itu.
Syukurlah sebuah bengkel meski tutup mau merelakan oksigennya kami sewa. Hati saya lega. Memang nyawa papa saya tidak banyak tertolong oleh oksigen itu. Dia meninggal senin dini hari. Hati saya tercabik-cabik, mengiringi keluarga yang mengusung jenasah papa dari rumah sakit ke rumah duka, dini hari itu juga ketika semua yang lain masih terlelap tidur. Mama saya terisak panjang dan lama. Saya tahu dia yang merasa paling banyak kehilangan. Kepergian papa bukan hanya kehilangan tapi juga beban dan panggilan baru baginya: menjadi ayah sekaligus ibu untuk lima orang anak yang masih kecil-kecil.
Dan itu lebih dari lima belas tahun. Baru-baru ini seorang sahabat, dokter yang usianya masih sangat muda, 27 tahun, menderita kekurangan Kalium akut dan sekarang sedang dirawat di Bethesda - Yogyakarta. Orang sulit percaya kenapa penyakit itu begitu cepatnya sampai membuat hidup sang teman sudah hampir tak terolong lagi. Semua keluarga saat ini sedang berkumpul dan berdoa. Ibunya terus terisak dan memukul-mukul dada. Suaminya yang pendiam lebih diam lagi dan hanya membelai dan menenangkan dua anaknya yang masih kecil. Di hadapan penderitaan, khususnya mereka yang berada di tepian batas kehidupan dan kematian, kita tak bisa berbuat banyak. Penderitaan orang-orang yang kita cintai seringkali seperti mencabut seluruh keyakinan, harapan dan semangat kita. Bahkan tidak jarang semangat kita untuk terus menanggung hidup kita menjadi pudar. Tidak sedikit yang malah bunuh diri. Kematian seperti menghabiskan segala makna…
Saya jadi ingat pengalaman orang Israel waktu mereka dibuang di Babilonia. Hidup menderita di pembuangan juga seolah melumpuhkan total harapan dan kerinduan mereka. Ratapan mereka sangat indah ditulis dalam sebuah mazmur yang pada tahun 70-an populer setelah menjadi hits yang dinyanyikan oleh Boney M, By The River of Babylon
By the rivers of Babylon, there we sat down, yea, we wept, when we remembered Zion. We hanged our harps upon the willows in the midst thereof.
Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.
Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita, dst..

Israel menderita dan hampir berhenti berharap. Menggantungkan kecapi adalah pernyataan keputusasaan, ketidakberdayaan di hadapan penderitaan dan kegagalan. Ditinggal pacar setelah lima tahun berhubungan serius pasti mengaduk-aduk isi hati dan hidup seperti kota mati dengan seribu sepi; gagal masuk fakultas kedokteran UNS Solo pernah membuat seorang sahabat patah orang dan setahun tidak pingin lagi ke Gereja. “Tuhan seperti selalu menjauhkan keberuntungan dari hidup saya, “ begitu pengakuannya ketika saya mengunjungi dia pada Pesta Paskah baru lalu. Stroke yang melumpuhkan setengah tubuh seorang bapak yang setiap minggu saya kunjungi di Panti Usada Mulia enam tahun lalu, membuat dia tidak pernah bersemangat makan dan malah membuat daya tahan tubuhnya makin hari makin melemah. Tentang yang terakhir, saya selalu menemukan kasus kurang lebih serupa, di mana meski obat terbukti manjur tapi toh orangnya begitu lamban sembuh – justru karena ketidakmauan untuk sembuh. Mereka putus asa. Dan keputusasaan secara psikologis bagaikana daya yang mementalkan efek penyembuhan dari obat yang bersangkutan (tolong teman psikolog komentari ini).
Karangan bunga yang diletakkan para sanak keluarga di depan rumah saya saat kematian papa hingga di pusaranya masih tersimpan dalam album keluarga. Saya pernah bertanya diri, kenapa bunga selalu dipakai juga pada saat perkabungan. Apa yang mau disampaikan melalui tradisi luhur manusia yang universal ini? Kenapa setiap kali mengunjungi si sakit kita hampir selalu membawa bunga?
Paling tidak bunga mengungkapkan sikap lain dari manusia di hadapan penderitaan dan kematian orang-orang yang dikasihi. Bunga menandakan pengharapan, tanda yang seolah-olah menyatakan bahwa “kamu tidak akan mati. Kami ingin kamu tetap hidup”; tanda yang juga mengungkapkan penyambutan dan dukungan tanpa batas: kami ingin engkau sembuh dan segar mewangi seperti bunga ini. Bunga bagaikan berbicara langsung tentang keabadian, yang juga seperti mau bilang…Apa pun yang kamu alami, entah hidup entah matimu, tidak ada yang dapat memisahkan kamu dari cinta kami padamu. Dan saya rasa keyakinan terakhir hanya mungkin karena iman kita pada kasih Allah yang tak terbatas; iman kita pada kasih Allah yang menderita bersama kita, yang ikut gagal bersama kita. Dan kembali, di hadapan penderitaan dan kematian orang-orang yang dikasihi, kita percaya tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Tuhan. Keyakinan inilah yang mesti menjadi dorongan utama bagi rencan kita misalnya hari ini meneguhkan teman kita yang gagal dan putus asa; pulang kantor singgah di toko bunga sebelum menjenguk sahabat kita yang terbaring di rumah sakit; bersatu hati berdoa mohon kekuatan dan kesembuhan bagi mereka yang menderita. Jika anda hari ini memandang bunga di taman, doakanlah bagitu banyak orang sakit yang tidak begitu yakin bahwa mereka dicintai, yang tidak begitu percaya bahwa mereka bisa sembuh….Saling mendoakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari