Kamis, 03 Januari 2008

Kupu-Kupu Jangan Pergi..........!


KUPU-KUPU JANGAN PERGI…!

Sekarang hampir setiap hari saya menemukan kupu-kupu yang bermain-main di depan rumah saya, Pandega Asih I/8 – Yogyakarta; sesuatu yang tidak selalu bahkan jarang saya alami ketika masih tinggal dalam kepungan rumah-rumah dan gedung-gedung tinggi Jakarta Pusat, serta suara-suara kendaraan yang sudah meraung-raung sejak pukul 03.00 pagi.
Taman yang asri serta bunga-bunga cantik yang selalu kami rawat dengan baik mungkin sekali jadi daya tarik bagi kupu-kupu itu. Warna tubuh mereka cantik dan kompleks. Giorgio Armani atau Christian Dior perlu banyak waktu untuk menyaingi keanggunan mereka.
Andai kisah nabi Nuh itu 100 % historis dan andai dia tidak berhasil menyelamatkan tujuh pasang untuk setiap spesies-spesies binatang, tentu kupu-kupu ini tidak lagi saya dan anda kenali. Dan ketika hujan dan angin hari-hari ini sedang mengancam kota-kota kita, saya sungguh memikirkan Nuh, dan juga kupu-kupu tadi…
Terlalu gampang melihat kisah air bah yang diceritakan dalam kitab kejadian itu sebagai sebuah laporan sejarah, sebab itu tidak akan banyak menolong kita. Saya lebih memilih untuk melihatnya sebagai refleksi orang beriman (penulis kitab Kejadian) atas pengalaman kehancuran.. Dan kehancuran itulah yang sungguh saya percayai benar-benar terjadi, meski detail-detailnya tidak harus seperti yang diceritakan. Lagi pula sebagai kisah, air bah itu penuh dengan simbol dan metafor.
Sulit sekali menerima – jika kita mempercayai seluruh detail-detail dalam kisah itu – bagaimana Nuh harus menangkap masing-masing tujuh pasang untuk setiap spesies binatang hanya dalam tujuh hari? Tambahan lagi, dia harus menyediakan ruangan ‘khusus’ untuk setiap spesies itu? Saya tersenyum ngeri dan geli memikirkan betapa repotnya Nuh menangkap binatang berbisa dan buas atau binatang-binatang kecil seperti belalang, cicak dan juga kupu-kupu dengan begitu banyak variasinya… Kalau itu benar, saya yakin, Nuh adalah orang yang pertama dan paling banyak mengumpat dan memaki-maki (Tuhan). Karena sulit, saya memilih untuk tidak membaca kisah air bah seperti sebuah berita pagi hari sebagaimana yang dibuat KOMPAS atau Kedaulatan Rakyat.
Rasanya lebih pas memikirkan bahwa Nuh pada saat itu adalah satu-satunya atau salah satu dari sebagian kecil orang yang masih setia pada Tuhan, yang berkebajikan; sebuah minoritas yang percaya dan memilih bersikap mengandalkan Tuhan ketika orang-orang sebangsa dan sezamannya mengandalkan diri mereka, tidak membutuhkan Tuhan lalu akhirnya merusak sesama dan bahkan alam. Kejadian air bah yang melanda orang-orang Nuh rasanya tidak jauh beda dengan banjir bandang yang mengepung kota-kota kita hari-hari ini.
Pengagungan reason dan freedom lengkap dengan semua pencapaiannya adalah andalan baru manusia modern, anda dan saya. Sebutlah ekonomi dan saudara kandungnya teknologi yang tengah menjadi pegangan kuat hidup kita, negara-negara kita. Hidup bersama kita bangun dengan kriteria-kriteria untung-rugi. Pantas Indonesia sulit berubah jika para politisi dan birokrat kita bersaing seperti pedagang daging sapi.
Di tempat lain anugerah kebebasan tengah nyasar dan salah kaprah menjadi berhala baru. Atas nama kebebasan kita sedang membangun kuil pemujaan baru, apa yang tidak salah disebut oleh Benedictus XVI the kingdom of man. Untuk rugi berbanding lurus dengan kebebasan. Semakin berpunya dan semakin kaya semakin bisa apa saja dan bebas untuk buat apa pun, termasuk merusak alam. Jutaan ton sampah setiap hari muncul dari mall-mall di mana kita menghabiskan uang-uang kita…Kita ambil isinya lalu buang di jalanan. Saya kerap geram melihat, cukup sering dari beberapa mobil Innova, Mercy dan Mercedes, banyak tissue, kemasan Conello, Aqua,dll yang dibuang.. Dan anda tidak perlu heran lagi bahwa cukup banyak orang yang menggantungkan hidup pada semua sampah yang dibuang dari mobil-mobil mewah itu: para pemulung, orang-orang yang selalu kalah dalam pertarungan untung rugi, apalagi kebebasan. Mereka adalah Lazarus-Lazarus baru..

Saudara/i… ini tentu bukan satire atau sebuah lamentasi, tapi hanya renungan sederhana seorang muda yang tengah memandangi kupu-kupu cantik yang tidak mau beranjak ketika ia mendekati mereka. Saya berterima kasih pada Tuhan karena mereka seperti menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat dan bermain-main setelah sekian lama terbang mencari-cari pengungsian…
Saya makin percaya bahwa tidak semua binatang ditangkap dan diselamatkan Nuh. Bahkan lebih banyak lagi yang datang sendiri justru karena mereka menemukan bahwa tempat tinggal Nuh adalah satu-satunya tempat yang paling aman untuk mengungsi setelah tempat-tempat tinggal mereka dirusak manusia. Bahtera yang besar itu bagi saya adalah metafor untuk melukiskan tempat tinggal Nuh yang nyaman. Dan Nuh, sekali lagi, adalah kalau bukan satu-satunya, paling tidak minoritas orang, yang meski hidup juga dengan barter barang, untuk rugi; yang meski punya kebebasan, tapi lebih mengandalkan Tuhan. Karena Tuhan yang diandalkan maka ia menempatkan Tuhan di atas semua pencapaian-pencapaiannya. Karena Tuhan yang lebih dicintai, maka ia hidup terutama dengan kategori yang lain sama sekali yakni mencintai karena dicintai, melayani karena sudah sedemikian besar kasih Allah yang ia terima. Pilihan Nuh adalah pilihan paling pamali untuk orang-orang sezamannya. Tidak salah jika Tuhan memilih dia untuk menyelamatkan alam ciptaan.
Sikap Allah yang menyelamatkan rasanya kontras dengan kisah Air Bah yang seperti memberi kesan bahwa Allah menghendaki kehancuran manusia. Sejatinya, Allah memilih untuk tetap mencitai manusia, bahkan dalam kehancuran yang diciptakan oleh manusia sendiri. Inilah Allah yang diwartakan oleh kisah air bah itu. Dan kisah Nuh, jika kita baca sekarang, adalah kisah kita. Nuh juga representasi setiap orang yang berkehendak baik. Tuhan memilih anda untuk menyelamatkan lingkungan dari pola pikir dan pola laku reason-freedom yang sudah lama mengepung kita habis-habisan. Hiduplah dengan cara pikir dan cara tindak lain: mencintai dan terus memberi, melayani sebagaimana yang diserukan Injil hari ini.

Saya bersyukur pada Tuhan atas kupu-kupu cantik yang gambarnya saya abadikan ini. Dia tidak hanya menghiasi taman-taman kesayangan manusia, tapi juga satpam paling berharga bagi bumi kita. Kupu-kupu punya kepekaan dan sensitivitas yang sangat tinggi terhadap perubahan iklim dan cuaca. Angin puting beliung yang melanda Jepang bisa dirasakan oleh seokor kupu-kupu di Peru sehingga ia terbang dan bermigrasi ke tempat lain (dalam sains, ini disebut butterfly effects). Hanya saja saking sibuknya kita, seruan kupu-kupu tidak lagi kita dengar.
“Tuhan jangan biarkan kupu-kupu ini pergi dariku. Biarlah dia tinggal di taman semua orang yang berkehendak baik. Terbangkan dia ke hati banyak orang supaya memiliki kepekaan seluas kepekaannya”.
Salam,
Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari