Sabtu, 05 Januari 2008

Cinta di Saku Celana Kita

Cinta di saku celana kita…!
Catatan tentang materialisme

Dua tahun silam, seorang kawan dengan sedih mengakhiri hubungannya dengan sang pacar. Teman saya ini seorang scriptwriter di sebuah perusahan televisi swasta. Hubungan yang sudah dibangun cukup lama harus kandas gara-gara dia hanya datang “jalan kaki” menyambangi pacarnya yang setahun sebelumnya ternyata sudah menyusul dia ke Jakarta.
“Ketika melihat saya datang, dia langsung memeriksa kalau-kalau saya membawa motor atau mobil, sebab dia tahu saya punya pekerjaan bagus di sini. Air mukanya berubah karena saya datang tetap seperti pertama kali saya mengenalnya, tanpa apa-apa…, Dia tidak tahu bahwa sebagai scriptwriter saya cukup sering kerja lembur hingga pagi hari untuk kejar tayang. Meski malam itu adalah pertemuan terakhir kami, saya tetap berusaha mengontak dia. Tidak ada balasan, tidak ada jawaban. Hubungan kami seolah-olah tidak pernah ada.. Saya makin yakin pacar saya terlalu banyak menuntut. Tidak sampai hati saya menuduhnya materialis. ..Hubungan kami berakhir begitu saja, tanpa konsensus tapi masing-masing seperti merasa tidak saling cocok…
Pengakuan teman saya ini menyadarkan saya bahwa sebagian besar hubungan antar manusia, hubungan antar pribadi dewasa ini ditentukan oleh materi. Romantisme cinta Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya hampir tidak punya tempatnya lagi dalam perkawinan yang paling realitis zaman ini. “Not only love, but also sex and Money…
Memang tiga hal itu sangat signifikan dalam perkawinan. Sebab dengan perkawinan, terbentuklah keluarga/family. Dan keluarga meski dibangun di atas fondasi kasih suami-istri, tapi juga memerlukan penyangga yang namanya ekonomi, materi, uang…Bahkan ekonomi secara positif adalah bagian dari tanggung jawab. Dan tanggung jawab adalah salah satu pernyataan konkret dari Cinta, di samping komitmen untuk memberi diri tanpa pamrih kepada pasangan. Dan merupakan langkah terpuji jika orang mempersiapkan perkawinan mereka dengan baik, termasuk perhitungan ekonomi. Dengan pendapatan mereka kelak bisa menentukan bagaimana memiliki dan mendidik anak misalnya… Pendek kata cinta saja, juga tidak cukup.

Akan tetapi, tak bisa kita tutupi kenyataan bahwa dunia sekarang ini telah menggeser cinta dari posisinya yang paling penting ke tepian yang paling relatif (bisa perlu, dan bisa tidak). Dan materi adalah penggantinya. “Kita baru bisa tidur seranjang dan hidup serumah kalau ‘ account mu’ di Bank sama dengan ‘account yang kupunya’”, kira-kira begitulah parafrase dari logika materialisme yang tengah memasuki ideal-ideal hubungan yang telah lama kita yakini.
Berharga dan berartinya kita bergantung dari seberapa banyak materi yang kita punya. Pernyatan yang kurang lebih sama dengan ungkapan tadi yakni: “Kalau kamu bisa menjamin hidup saya…kamu bisa berhak atas tubuh saya!” Lalu cinta? Yah…dia akan berkembang alamiah…Maka sejajar dengan itu banyak bermunculan agen pengatur perkawinan antara orang indie dengan ekspatriat. Dulu saya pikir, yang terakhir tadi hanya ‘cerita’, sampai suatu hari saya dikejutkan oleh pertanyaan iseng seorang mahasiswi teman saya: “ Frat..punya teman orang bule gak..? Kenalin dong…!”

Dan makna perkawinan sedang terancam. Bukan cinta yang menjadi tujuan dan dasar hidup berkeluarga, tapi security. Rasa amanlah yang dicari. Uang memberi jauh lebih banyak kepastian rasa aman itu daripada cinta. Dan dengan uang, memang akses terhadap ‘tubuh yang lain’ mudah sekali didapatkan…lalu cinta, yah..ditaruh di saku celana untuk selanjutnya dilupakan atau baru diingat setelah celana sedang dicuci…Bahkan lebih radikal lagi, materialisme semacam ini diungkapkan dalam pilihan untuk tidak mau berkeluarga. “Kita boleh kawin dan saling mencintai, tapi tidak untuk baby!” Artinya, rasa aman dan kenikmatan jasmani-material cukuplah dinikmati antara kedua pasangan. Di sini cinta tidak lain adalah materialisme belaka, pemujaan atas materi.
Hari ini kita memperingati pesta Epifani, pesta penampakan Tuhan. Tiga majus dari timur datang dari negeri-negeri mereka yang jauh untuk menyembah Almasih yang lahir di Betlehem. Perjalanan mereka dituntun oleh sebuah bintang yang persis menghentikan mereka di sebuah gubuk sederhana, tempat Yesus dibaringkan di sebuah lampin ditemani kedua orangtunya, Yusuf dan Maria. Merayakan epifani mengajak kita memikirkan ini: “bagiamana mungkin Allah yang mahakuasa mau merendahkan dirinya dan menjadi manusia dalam diri Yesus?” Inilah cinta…Dan peristiwa epifani, hemat saya bukan berakhir di situ saja tapi sepanjang hidup Yesus hingga Dia disalibkan. Pada salib, kita melihat Allah yang sungguh mencintai dan mengasihi manusia tanpa syarat sampai mati sebagai orang hukuman, padahal Dia tidak berdosa.
Dan bagi kita, epifani adalah undangan untuk memperbaharui komitmen kita untuk mencintai sebagaimana Allah mencintai kita dalam hidup berkeluarga, dalam persahabatan serta bentuk hubungan kita lainnya. Dengan epifani kita diajak untuk menempatkan cinta dan pemberian diri sebagai pilihan dasar kita, bukan materi, meski itu tetap penting. Dan akhirnya, seperti para majus yang meletakkan mur, emas dan dupa di depan kaki Yesus sebagai persembahan, lalu pulang melalui ‘jalan lain’, marilah kita sekali lagi menjadikan Tuhan yang adalah kasih sebagai dasar hubungan-hubungan kita. Mencintai adalah “jalan lain”, jalan yang sekaligus sempit di tengah sesaknya pilihan untuk mengagungkan materi. Mari sekali dan untuk selamanya membuat cinta menjadi pemenang. Saya berdoa bagi anda, keluarga termasuk cita-cita anda untuk membangun hidup berkeluarga.

Salam,

Ronald,s.x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Kumpulan Khotbah Stephen Tong

Khotbah Kristen Pendeta Bigman Sirait

Ayat Alkitab Setiap Hari