Ayat bacaan: Wahyu 22:21
========================
"Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu sekalian! Amin."
Ada sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah saya yang selalu terlihat aneh. Rumah itu selalu tertutup, semua jendelanya dari kayu dan tidak pernah sekalipun terbuka. Saya sangat sering melewati rumah itu sehingga mau tidak mau saya sering melihatnya. Seperti tidak ada kehidupan di dalam, tapi anehnya ada anjing di pekarangan rumahnya. Saya membayangkan bagaimana lembab dan pengapnya di dalam. Tanpa adanya ventilasi sedikitpun, lampu juga tidak pernah menyala kalau malam, bagaimana mungkin orang bisa hidup didalamnya? Sebaliknya saya termasuk orang yang menyukai rumah yang dipenuhi ventilasi. Perputaran udara yang sehat dan cahaya matahari bisa masuk menerangi rumah selalu menjadi hal yang penting bagi saya. Pintu rumah sering saya buka, begitu juga jendela. Udara segar masuk, cahaya matahari, itu membuat rumah jauh lebih nyaman untuk ditinggali ketimbang tertutup bagai benteng perang. Di tengah matahari bersinar pada siang hari, ada rumah yang terang benderang, ada pula rumah yang gelap. Apakah matahari pilih kasih dalam bersinar? Tidak. Matahari bersinar untuk menerangi apapun yang ada di muka bumi ini termasuk rumah kita. Apakah kita membiarkan cahaya itu untuk masuk atau tidak, itu tergantung dari keputusan kita. Kalau kita menutup rapat semuanya, maka tidak peduli seterang apapun matahari bersinar, cahayanya tidak akan pernah bisa masuk. Matahari siap menerangi seisi rumah kita, tetapi hanya rumah dengan jendela-lah yang bisa menerima sinarnya. Semakin banyak jendela di rumah kita, maka semakin banyak pula cahaya matahari yang masuk.
Ilustrasi di atas saya pakai sebagai analogi untuk menggambarkan bagaimana kasih karunia Allah bekerja atas diri kita. Kasih karunia dicurahkan Allah kepada semua manusia tanpa terkecuali bagaikan matahari yang bersinar menerangi segala pelosok bumi. Tetapi tidak semua orang menyadari bahwa kasih karunia yang begitu besar itu memang disediakan bagi semua orang, termasuk mereka. Akibatnya mereka tidak memiliki cukup "jendela" iman untuk menerima kasih karunia itu masuk ke dalam diri mereka.
Para rasul jelas mengerti akan hal itu. Itulah sebabnya para rasul pergi kemana-mana untuk mewartakan kabar gembira mengenai kasih karunia ini dengan tidak mempedulikan diri mereka. Lihatlah apa kata Paulus dalam perpisahan yang mengharukan dengan para penatua di Efesus. "Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah." (Kisah Para Rasul 20:24). Kasih karunia merupakan sebuah kabar penting dalam pemberitaan Injil, sehingga kita melihat Paulus menuliskan mengenai kasih karunia ini dalam semua surat-suratnya. Begitu penting, sampai-sampai ayat penutup dalam Alkitab pun menyebutkan tentang kasih karunia. "Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu sekalian! Amin." (Wayhu 22:21).
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kasih karunia? Kasih karunia adalah kasih yang seharusnya tidak layak kita terima, tetapi ternyata diberikan Tuhan kepada kita sebagai sebuah anugerah. Yohanes menggambarkannya seperti ini: "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10). Kita diberikan keselamatan lewat Yesus yang menebus kita semua dengan lunas bukan karena kita baik, hebat, kaya, pintar atau tenar, tetapi karena itu merupakan sebuah kasih karunia.
Gambaran dari kasih karunia Bapa kepada kita ini tergambar jelas dari perumpamaan tentang anak yang hilang yang tertulis dalam Lukas 15:11-32. Kita tahu apa yang dilakukan oleh si anak bungsu sudah sangat melampaui batas. Ia meminta harta warisan ketika ayahnya masih hidup, kemudian menghabiskannya dengan berfoya-foya. Setelah seluruhnya ludes, ia pun hidup melarat, begitu melarat bahkan sampai terpaksa makan sisa ampas makanan babi. Ia pun kemudian menyesal. "Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa." (ay 17-19). Ia sadar bahwa ia berdosa, dan karena dosa itu seharusnya ia tidak layak lagi atas apapun. Bahkan apabila bisa menjadi seorang upahan saja itu sudah sangat beruntung. Lalu ia pun memutuskan untuk kembali kepada bapanya. Ternyata bukannya diusir atau dihukum, sang ayah ternyata sudah menunggu dan berlari menyambut kembalinya si anak hilang. Alkitab menggambarkannya dengan begitu indah. "Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia." (ay 20). Saya membayangkan sang ayah terus berdiri di depan pintu menanti kepulangan anaknya. Berhari-hari ia terus memandang jauh ke depan menunggu sosok anaknya kembali muncul. Ia terus menunggu dan menunggu, hingga akhirnya pada suatu hari sosok anaknya muncul di kejauhan. Begitu sukacitanya sang ayah, ia tidak menanti hingga anaknya sampai, tapi segera berlari menyambut anaknya. Ia tidak memberi hukuman atau mengusir, tetapi ia segera merangkul dan mencium. Bahkan sang ayah pun menyiapkan jubah terbaik, cincin, sepatu dan sebuah pesta besar. Dosa si anak itu besar, tetapi ternyata kasih sang ayah jauh lebih besar. Inilah gambaran sebuah kasih karunia, kasih yang sebenarnya tidak layak kita terima tetapi diberikan oleh Tuhan karena Dia sungguh mengasihi kita.
Kasih karunia memberikan kita kuasa untuk melakukan banyak hal. Para rasul melakukan banyak hal yang ajaib dalam pelayanan mereka, dan semua itu mereka peroleh lewat kasih karunia yang melimpah-limpah. (Kisah Para Rasul 4:33). Di dalam kasih karunia ada kekuatan. (2 Timotius 2:1), dan tentu saja dalam kasih karunia kita diselamatkan oleh iman. (Efesus 2:8). Semua ini sudah diberikan Tuhan kepada semua orang termasuk anda dan saya.
Jika kita diibaratkan sebagai rumah, bagaimana bentuk rumah itu saat ini? Apakah kita masih merupakan bangunan bertembok tebal tanpa jendela? Kasih karunia yang dicurahkan Tuhan tidak akan bisa masuk ke dalam diri kita apabila kita tidak mempunyai cukup "jendela" iman untuk menampungnya. Ingatlah bahwa kasih karunia Tuhan itu bagaikan matahari yang bersinar untuk semuanya, tetapi hanya rumah dengan jendela yang cukup dan terbukalah yang bisa menerimanya.
Kasih Allah dicurahkan kepada kita bukan karena kita mengasihi Allah, tetapi karena Allah-lah yang telah mengasihi kita
Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar