Sekuat Embun Pagi Ini
Setiap pagi kita mesti bangun. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan pkl.05.00 orang mesti sudah berkemas-kemas berangkat kerja sebelum dihadang kemacetan. Dan kebanyakan kita melewati hampir setiap pagi dengan sepotong roti dan air segar di dalam mobil kita atau di dalam angkutan umum yang sudah penuh sesak. Sebab menyiapkan sarapan dengan tenang di rumah hampir mustahil. Segera sesudah itu kita akrab lagi dengan gedung-gedung tinggi, dihibur oleh billboard-bilboard raksasa yang lewat di depan kita kemudian tiba di kantor, naik lift dan akhirnya kembali berkutat dengan pekerjaan kita sampai payah dan letih.
Setiap hari kita hampir selalu begitu sampai kita mendapati diri tengah bertambah letih, bosan bahkan menjadi terus tua. Tak terasa dua puluh lima, tiga puluh, empat puluh tahun usia kita atau bahkan sebentar lagi anda harus pensiun dan sekarang masih terus menekuni pekerjaan yang sama, mungkin juga dengan gaji yang naiknya tidak pernah signifikan; kita masih berjumpa dengan rekan yang baru atau atasan yang baru; kita juga masih hidup sendiri, masih hidup dengan istri dan suami yang sama…Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya.
Boleh saja seiring dengan bertambahnya waktu, gaji kita bertambah, jabatan kita naik dan reputasi kita melonjak. Akan tetapi, menyedihkan jika kita tidak pernah bertambah bahagia di dalamnya. Kita masih seperti yang dulu: orang yang terlalu sibuk dengan diri kita sendiri. Dan kita mendapati diri sebagai orang yang paling banyak kehilangan di antara begitu banyak pencapaian-pencapaian yang kita miliki. Masalahnya bukan sesederhana misalnya bahwa kita kehilangan kesempatan untuk pacaran dan membangun rumah tangga karena sibuk bekerja; bukan sekadar kita kehilangan kesempatan paling tidak sekali seminggu ke Gereja, tidak sesepele kita kehilangan waktu untuk hobi-hobi kita seperti main billiard, melukis atau yang lainnya…Masalahnya lebih pada terancam hilangnya kebahagiaan.
Dunia kerja beserta segala kompeksitas tuntutannya, mulai dari efisiensi, efektivitas, akuntabilitas hingga profesionalisme adalah salah satu tempat di mana kita bisa mewujudkan diri kita. Bahkan sudah terbukti, dengan kerja manusia telah menciptakan dan terus mengembangkan kebudayaannya. Pendek kata, dengan kerja manusia makin menjadi manusiawi, makin hidup sepenuhnya sebagai manusia, menjadi bahagia (to be happy)
Apa yang disebut tadi tidak mutlak terjadi. Kita harus sadar bahwa dalam kerja mau tidak mau kita bertemu dengan logika lainnya yakni to have, memiliki dan terus memiliki. Dalam masyarakat maju efisiensi kerja berbanding lurus dengan upah, tetapi sering berbanding terbalik dengan mutu pribadi kita. Ada orang yang senang dengan banyaknya pekerjaan dan juga jabatan yang bagus, tambah senang lagi karena banyaknya pujian, tapi tetap saja merasa hidup seperti kosong. Pada dasar hatinya yang terdalam seolah-olah ia tidak menemukan apa-apa, bagai orang yang berhari-hari menggali tapi tidak menemukan harta karun yang dicari. Orang-orang seperti ini biasanya mulai jarang senyum, kalaupun senyum toh terasa getir karena sebenarnya berpura-pura bahagia. Petunjuk lain, orang seperti ini selalu mencari-cari cara dan jalan supaya orang memperhatikan dan mencintainya seolah-olah keberartian terlalu bergantung pada semua pujian dan tepuk tangan orang. Lebih lanjut orang seperti ini kemudian akan sering tampil sempurna, selalu tidak tenang dan tidak puas; tidur tidak pulas karena masih membawa impian kesempurnaan yang harus segera diwujudkan esok hari.
Saya masih ingat mang Ucup, petugas sampah di RT 12 Cempaka Putih yang sudah belasan tahun menekuni pekerjaannya. Ketika saya terjaga pagi-pagi buta, bunyi sapu sudah terdengar mengibas-ngibas jalanan kota yang masih sepi. Sekali dua hari saya berjumpa dengannya. Wajah dan badannya kotor, tapi senyum selalu dia perlihatkan. Rasanya mang Ucup jauh lebih bahagia dari ratu pop Marilyn Monroe yang mati bunuh diri di tahun 1962 atau mungkin jauh lebih bahagia dari almarhum Soeharto yang dalam segala kemegahannya tetap mati kesepian di salah satu kamar RSPP.
Pagi ini saya memerhatikan dari dekat sebutir embun pagi yang melekat di helai bunga taman rumah kami, lama sebelum akhirnya jatuh ke tanah dan menghilang. Embun tadi seperti merelakan semua yang dia miliki untuk jatuh ke tanah, bertemu dengan permukaan yang keras dan berdebu sebelum membasahinya.
Sang embun mengingatkan saya akan Yesus tersalib, yang memberi diri sehabis-habisnya. Yesus dan kematiannya di salib adalah embun surgawi yang jatuh memberi kesegaran dan kesuburan bagi dunia di mana selanjutnya kita manusia tumbuh. Embun yang sama sepertinya mengajarkan anda dan saya suatu kearifan untuk hidup bukan dengan logika memiliki tapi dengan mengabdi dan memberi. Kita ingat kata-kata Yesus ini “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? (Mat.16:26).
Kita boleh saja memiliki dan mencapai banyak hal berkat pekerjaan dan kerja keras kita, tapi jika kita tidak sungguh mengabdi dan mencintai sesama melalui pekerjaan itu kita sebenarnya lebih sebagai orang yang sukses daripada orang yang bahagia. Jika anda tidak pernah atau tidak lagi membuka kaca jendela mobil anda, lalu tersenyum dengan satpam serta rekan-rekan kantor itu pratanda anda orang yang tengah mencari kebahagiaan. Jika anda seorang atasan dan tidak pernah mau makan di warteg bersama bawahan atau karyawan anda, itu pratanda bahwa memang anda orang yang paling sibuk di dunia dan tengah berusaha memiliki seluruh dunia ini.
Semoga anda tiap hari dalam hidup, dalam pekerjaan tetap mengasihi meski sedikit dan sebentar tapi sekuat dan sepenuh hati seperti embun pagi hari yang kecil dan hampir tak berarti.
Saling mendoakan
Ronald,s.x.
Setiap pagi kita mesti bangun. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan pkl.05.00 orang mesti sudah berkemas-kemas berangkat kerja sebelum dihadang kemacetan. Dan kebanyakan kita melewati hampir setiap pagi dengan sepotong roti dan air segar di dalam mobil kita atau di dalam angkutan umum yang sudah penuh sesak. Sebab menyiapkan sarapan dengan tenang di rumah hampir mustahil. Segera sesudah itu kita akrab lagi dengan gedung-gedung tinggi, dihibur oleh billboard-bilboard raksasa yang lewat di depan kita kemudian tiba di kantor, naik lift dan akhirnya kembali berkutat dengan pekerjaan kita sampai payah dan letih.
Setiap hari kita hampir selalu begitu sampai kita mendapati diri tengah bertambah letih, bosan bahkan menjadi terus tua. Tak terasa dua puluh lima, tiga puluh, empat puluh tahun usia kita atau bahkan sebentar lagi anda harus pensiun dan sekarang masih terus menekuni pekerjaan yang sama, mungkin juga dengan gaji yang naiknya tidak pernah signifikan; kita masih berjumpa dengan rekan yang baru atau atasan yang baru; kita juga masih hidup sendiri, masih hidup dengan istri dan suami yang sama…Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya.
Boleh saja seiring dengan bertambahnya waktu, gaji kita bertambah, jabatan kita naik dan reputasi kita melonjak. Akan tetapi, menyedihkan jika kita tidak pernah bertambah bahagia di dalamnya. Kita masih seperti yang dulu: orang yang terlalu sibuk dengan diri kita sendiri. Dan kita mendapati diri sebagai orang yang paling banyak kehilangan di antara begitu banyak pencapaian-pencapaian yang kita miliki. Masalahnya bukan sesederhana misalnya bahwa kita kehilangan kesempatan untuk pacaran dan membangun rumah tangga karena sibuk bekerja; bukan sekadar kita kehilangan kesempatan paling tidak sekali seminggu ke Gereja, tidak sesepele kita kehilangan waktu untuk hobi-hobi kita seperti main billiard, melukis atau yang lainnya…Masalahnya lebih pada terancam hilangnya kebahagiaan.
Dunia kerja beserta segala kompeksitas tuntutannya, mulai dari efisiensi, efektivitas, akuntabilitas hingga profesionalisme adalah salah satu tempat di mana kita bisa mewujudkan diri kita. Bahkan sudah terbukti, dengan kerja manusia telah menciptakan dan terus mengembangkan kebudayaannya. Pendek kata, dengan kerja manusia makin menjadi manusiawi, makin hidup sepenuhnya sebagai manusia, menjadi bahagia (to be happy)
Apa yang disebut tadi tidak mutlak terjadi. Kita harus sadar bahwa dalam kerja mau tidak mau kita bertemu dengan logika lainnya yakni to have, memiliki dan terus memiliki. Dalam masyarakat maju efisiensi kerja berbanding lurus dengan upah, tetapi sering berbanding terbalik dengan mutu pribadi kita. Ada orang yang senang dengan banyaknya pekerjaan dan juga jabatan yang bagus, tambah senang lagi karena banyaknya pujian, tapi tetap saja merasa hidup seperti kosong. Pada dasar hatinya yang terdalam seolah-olah ia tidak menemukan apa-apa, bagai orang yang berhari-hari menggali tapi tidak menemukan harta karun yang dicari. Orang-orang seperti ini biasanya mulai jarang senyum, kalaupun senyum toh terasa getir karena sebenarnya berpura-pura bahagia. Petunjuk lain, orang seperti ini selalu mencari-cari cara dan jalan supaya orang memperhatikan dan mencintainya seolah-olah keberartian terlalu bergantung pada semua pujian dan tepuk tangan orang. Lebih lanjut orang seperti ini kemudian akan sering tampil sempurna, selalu tidak tenang dan tidak puas; tidur tidak pulas karena masih membawa impian kesempurnaan yang harus segera diwujudkan esok hari.
Saya masih ingat mang Ucup, petugas sampah di RT 12 Cempaka Putih yang sudah belasan tahun menekuni pekerjaannya. Ketika saya terjaga pagi-pagi buta, bunyi sapu sudah terdengar mengibas-ngibas jalanan kota yang masih sepi. Sekali dua hari saya berjumpa dengannya. Wajah dan badannya kotor, tapi senyum selalu dia perlihatkan. Rasanya mang Ucup jauh lebih bahagia dari ratu pop Marilyn Monroe yang mati bunuh diri di tahun 1962 atau mungkin jauh lebih bahagia dari almarhum Soeharto yang dalam segala kemegahannya tetap mati kesepian di salah satu kamar RSPP.
Pagi ini saya memerhatikan dari dekat sebutir embun pagi yang melekat di helai bunga taman rumah kami, lama sebelum akhirnya jatuh ke tanah dan menghilang. Embun tadi seperti merelakan semua yang dia miliki untuk jatuh ke tanah, bertemu dengan permukaan yang keras dan berdebu sebelum membasahinya.
Sang embun mengingatkan saya akan Yesus tersalib, yang memberi diri sehabis-habisnya. Yesus dan kematiannya di salib adalah embun surgawi yang jatuh memberi kesegaran dan kesuburan bagi dunia di mana selanjutnya kita manusia tumbuh. Embun yang sama sepertinya mengajarkan anda dan saya suatu kearifan untuk hidup bukan dengan logika memiliki tapi dengan mengabdi dan memberi. Kita ingat kata-kata Yesus ini “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? (Mat.16:26).
Kita boleh saja memiliki dan mencapai banyak hal berkat pekerjaan dan kerja keras kita, tapi jika kita tidak sungguh mengabdi dan mencintai sesama melalui pekerjaan itu kita sebenarnya lebih sebagai orang yang sukses daripada orang yang bahagia. Jika anda tidak pernah atau tidak lagi membuka kaca jendela mobil anda, lalu tersenyum dengan satpam serta rekan-rekan kantor itu pratanda anda orang yang tengah mencari kebahagiaan. Jika anda seorang atasan dan tidak pernah mau makan di warteg bersama bawahan atau karyawan anda, itu pratanda bahwa memang anda orang yang paling sibuk di dunia dan tengah berusaha memiliki seluruh dunia ini.
Semoga anda tiap hari dalam hidup, dalam pekerjaan tetap mengasihi meski sedikit dan sebentar tapi sekuat dan sepenuh hati seperti embun pagi hari yang kecil dan hampir tak berarti.
Saling mendoakan
Ronald,s.x.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar