Bukan Barang Biasa: tentang Kesepian Kita
Biasanya mata kita sulit terpejam meski selimut sudah membalut seluruh badan usai merayakan pesta kemenangan, melewati weekend atau liburan panjang yang mengasyikkan. Orang-orang yang dijumpai saat pesta seperti masih lalu lalang di depan mata. Kenangan kekraban dan kehangatan bersama orang-orang dekat & yang paling dicintai seperti tak rela membiarkan kita langsung terlelap.
Dan setelah semuanya itu, besok pagi kita kembali pada yang rutin, yang sudah terjadwal rapi di meja kantor kita. Kita kembali menghadapi atasan yang menyebalkan, rekan yang judes pedes; kembali bergulat dengan angka-angka jutaan supaya tidak tekor dan dituduh mark up. Juga duduk lagi memelototi komputer dan tumpukan buku untuk menyelesaikan paper atau skripsi..
Kembali ke pada yang biasa seringkali tidak diharapkan. Sambil kerja, mata selalu tidak tenang memperhatikan jam di tangan, pingin supaya cepat pulang…yang biasa terasa lebih sebagai beban ketimbang kesempatan. Yang biasa jauh lebih menakutkan ketimbang yang luar biasa…Misalnya setiap Senin kebanyakan kita tetap merindukan di- hallo/ Rasanya belum focused pada pekerjaan jika belum di-sms atau disapa selamat pagi oleh atasan; serasa ‘neraka’ ketika sadar ternyata masih banyak yang harus dikerjakan. Yang biasa akhirnya jauh lebih menakutkan daripada yang luarbiasa, yang penuh semarak dan pesta pada minggu dan tanggal-tanggal merah. Sebab di situ kita acapkali bertemu dengan kesepian. Lebih sepi lagi, ketika dalam rutinitas itu kita mendapati diri sebagai orang yang paling gagal. Pujian yang dinanti-nanti tidak kunjung datang dan cinta seperti tidak pernah berbalas. Dan hidup kita seperti kota mati…Meninggalkan kantor sebelum jam istirahat bisa saja sering kita lakukan justru ketika kita benar-benar mengalami kebosanan. Kita merasa seperti terdampar di sebuah tempat yang tidak pernah kita inginkan…Maka kita, dengan sering membolos misalnya, mau menjadikan Senen atau Rabu sebagai akhir pekan. Kita tidak tahan sepi dan menolak sendiri…
Gereja tidak salah, setelah semarak Natal yang masanya berakhir hingga pesta pembabtisan Tuhan (minggu barusan), menyediakan kita sebuah masa lain: masa biasa. Apa maksudnya masa biasa? Kita baru bisa menemukan jawabannya dengan mengikuti pesan Injil yang menjadi teman seperjalanan selama masa biasa ini yakni Injil Markus. Salah satu perikop yang penting adalah kisah panggilan murid-murid pertama (Markus 1:16-20), Simon dan Andreas serta Yakobus dan Yohanes. Mereka sedang bekerja seperti biasa, sebagai nelayan ketika dipanggil untuk mengikuti-Nya: “Mari ikuti Aku!”…
Panggilan yang sama diperuntukkan pada kita setiap hari dalam hal-hal yang biasa untuk menjadi seperti Dia yakni tak berhenti mencintai. Kita mesti yakin pada kebenaran bahwa kita dijamin dan dicintai tanpa syarat oleh-Nya. Karena alasan itulah dalam pekerjaan yang bisa selalu akan membosankan, kita dipanggil untuk terus mencipta, terus mencinta. Hidup kita sama sekali tidak pernah bergantung pada belasan SMS yang memastikan bahwa pacar kita tidak meninggalkan kita atau dering telefon teman bahwa akhir pekan mendatang akan ada pesta yang tak kalah hebatnya dengan minggu kemaren. Dalam masa biasa, kita pantas bersyukur atas panggilan Tuhan untuk mengubah dunia sekeliling kita dengan tetap bersemangat, penuh hasrat dan cinta menekuni pekerjaan kita. Sebab Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Masa biasa adalah masa indah jika dihayati dengan iman seperti ini.
Hijau adalah warna khas untuk liturgi hari biasa. Warna ini sepertinya tidak menarik. Akan tetapi, hijau, bagi saya pribadi mengingatkan kita akan masa kesuburan; ketika daun dan tanaman tumbuh menghijau. Di hari biasa yang mungkin akan bisa membosankan, marilah kita terus tumbuh subur, terus mencintai dan memberi. Maka yang biasa bukanlah barang biasa, tetapi ruarrrrrrrrrrrrrrr biasa.
Salam
Ronald,s.x.
Biasanya mata kita sulit terpejam meski selimut sudah membalut seluruh badan usai merayakan pesta kemenangan, melewati weekend atau liburan panjang yang mengasyikkan. Orang-orang yang dijumpai saat pesta seperti masih lalu lalang di depan mata. Kenangan kekraban dan kehangatan bersama orang-orang dekat & yang paling dicintai seperti tak rela membiarkan kita langsung terlelap.
Dan setelah semuanya itu, besok pagi kita kembali pada yang rutin, yang sudah terjadwal rapi di meja kantor kita. Kita kembali menghadapi atasan yang menyebalkan, rekan yang judes pedes; kembali bergulat dengan angka-angka jutaan supaya tidak tekor dan dituduh mark up. Juga duduk lagi memelototi komputer dan tumpukan buku untuk menyelesaikan paper atau skripsi..
Kembali ke pada yang biasa seringkali tidak diharapkan. Sambil kerja, mata selalu tidak tenang memperhatikan jam di tangan, pingin supaya cepat pulang…yang biasa terasa lebih sebagai beban ketimbang kesempatan. Yang biasa jauh lebih menakutkan ketimbang yang luar biasa…Misalnya setiap Senin kebanyakan kita tetap merindukan di- hallo/ Rasanya belum focused pada pekerjaan jika belum di-sms atau disapa selamat pagi oleh atasan; serasa ‘neraka’ ketika sadar ternyata masih banyak yang harus dikerjakan. Yang biasa akhirnya jauh lebih menakutkan daripada yang luarbiasa, yang penuh semarak dan pesta pada minggu dan tanggal-tanggal merah. Sebab di situ kita acapkali bertemu dengan kesepian. Lebih sepi lagi, ketika dalam rutinitas itu kita mendapati diri sebagai orang yang paling gagal. Pujian yang dinanti-nanti tidak kunjung datang dan cinta seperti tidak pernah berbalas. Dan hidup kita seperti kota mati…Meninggalkan kantor sebelum jam istirahat bisa saja sering kita lakukan justru ketika kita benar-benar mengalami kebosanan. Kita merasa seperti terdampar di sebuah tempat yang tidak pernah kita inginkan…Maka kita, dengan sering membolos misalnya, mau menjadikan Senen atau Rabu sebagai akhir pekan. Kita tidak tahan sepi dan menolak sendiri…
Gereja tidak salah, setelah semarak Natal yang masanya berakhir hingga pesta pembabtisan Tuhan (minggu barusan), menyediakan kita sebuah masa lain: masa biasa. Apa maksudnya masa biasa? Kita baru bisa menemukan jawabannya dengan mengikuti pesan Injil yang menjadi teman seperjalanan selama masa biasa ini yakni Injil Markus. Salah satu perikop yang penting adalah kisah panggilan murid-murid pertama (Markus 1:16-20), Simon dan Andreas serta Yakobus dan Yohanes. Mereka sedang bekerja seperti biasa, sebagai nelayan ketika dipanggil untuk mengikuti-Nya: “Mari ikuti Aku!”…
Panggilan yang sama diperuntukkan pada kita setiap hari dalam hal-hal yang biasa untuk menjadi seperti Dia yakni tak berhenti mencintai. Kita mesti yakin pada kebenaran bahwa kita dijamin dan dicintai tanpa syarat oleh-Nya. Karena alasan itulah dalam pekerjaan yang bisa selalu akan membosankan, kita dipanggil untuk terus mencipta, terus mencinta. Hidup kita sama sekali tidak pernah bergantung pada belasan SMS yang memastikan bahwa pacar kita tidak meninggalkan kita atau dering telefon teman bahwa akhir pekan mendatang akan ada pesta yang tak kalah hebatnya dengan minggu kemaren. Dalam masa biasa, kita pantas bersyukur atas panggilan Tuhan untuk mengubah dunia sekeliling kita dengan tetap bersemangat, penuh hasrat dan cinta menekuni pekerjaan kita. Sebab Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Masa biasa adalah masa indah jika dihayati dengan iman seperti ini.
Hijau adalah warna khas untuk liturgi hari biasa. Warna ini sepertinya tidak menarik. Akan tetapi, hijau, bagi saya pribadi mengingatkan kita akan masa kesuburan; ketika daun dan tanaman tumbuh menghijau. Di hari biasa yang mungkin akan bisa membosankan, marilah kita terus tumbuh subur, terus mencintai dan memberi. Maka yang biasa bukanlah barang biasa, tetapi ruarrrrrrrrrrrrrrr biasa.
Salam
Ronald,s.x.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar