Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar kata ALS*?
Mungkin kamu akan mengingat sebuah kampanye seru dan inspiratif yang membuat jutaan orang bergantian mandi es di sepanjang bulan Juli-Agustus 2014. Mungkin kamu akan mengingat suksesnya penggalangan dana untuk Asosiasi ALS yang merupakan donasi lebih dari 700.000 orang di berbagai belahan dunia. Mungkin kamu mengingat video seorang teman dekat yang mandi es dan menantangmu untuk melakukan hal yang sama. Mungkin kamu akan mendesah prihatin mengingat korban yang meninggal gara-gara mandi es. Atau, mungkin kamu tidak memikirkan apa-apa.
Aku sendiri punya kenangan khusus tentang ALS.
ALS mengingatkanku bahwa kita tidak memegang kendali atas hidup ini.
Kebayang gak, penyakit ini diawali hanya dengan kerusakan beberapa sel saraf kecil yang ukurannya masing-masing kurang dari satu milimeter. Namun, dampaknya, perlahan-lahan semua ototmu akan kehilangan fungsinya. Kamu gak bakal bisa melambaikan tangan atau menggoyang-goyangkan badan mengikuti irama musik. Kamu lebih tidak berdaya dari bayi. Setidaknya ketika mereka dimandikan atau diberi makan, mereka bisa bergerak-gerak, bahkan meronta jika ingin sesuatu yang lain. Tapi bila kamu penderita ALS, kamu hanya bisa pasrah, karena otot-ototmu sama sekali tidak berdaya. Kamu masih bisa berpikir jernih, tetapi otakmu tidak bisa menyuruh tanganmu meraih barang-barang di dekatmu, seringan apa pun itu; tidak bisa mendorong kakimu melangkah, sedekat apa pun jaraknya. Kamu hanya bisa melihat makanan kesukaanmu dihabiskan orang lain, dan barang-barangmu ditata dengan cara yang berbeda. Kamu tidak bisa protes jika orang yang menolongmu memakaikan pakaian yang tidak kamu sukai atau memperlakukanmu seperti anak kecil.
Aku tidak sekadar berimajinasi. Aku melihat langsung bagaimana ALS menggerogoti tubuh ayahku sendiri. Penyakit yang tidak banyak dikenal orang sebelumnya. Dokter yang memeriksa ayahku salah mendiagnosa kondisi ini sebagai serangan stroke. Dokter paling pintar di dunia pun belum bisa memberikan jawaban pasti tentang apa penyebab kerusakan saraf pada kasus ALS, dan apa yang dapat menghentikan prosesnya. Gelarmu, prestasimu, statusmu, hartamu, semua yang selama ini kamu banggakan, tidak ada yang dapat menolong. Maut seolah melipat tangannya di depan dada sembari sesekali tertawa melihat ketidakberdayaanmu. Dengan sabar ia membiarkanmu menikmati hari-hari yang tersisa, tahu betul bahwa kamu takkan mungkin lolos kali ini. Memang, dengan atau tanpa ALS, kita semua pasti akan mati. Dengan atau tanpa ALS, kita bisa menderita dan tak berdaya. Tetapi, proses yang dialami penderita ALS memperlihatkan dengan lebih jelas betapa kita bukanlah pemegang kendali hidup ini.
ALS juga mengajarku tentang apa artinya mengasihi.
Mengasihi itu jelas bukan sejenis hobi yang menyenangkan. Apalagi jika orang yang kamu kasihi itu tidak bisa membalas kasihmu, bahkan cenderung membuat hidupmu bertambah rumit. Mengasihi berarti kamu harus rela beristirahat lebih sedikit atau bersabar lebih banyak, atau membersihkan kotoran berulang kali tanpa menggerutu, atau menguras sebagian besar tabunganmu. Tetapi, kasih membuat hatimu begitu lapang dan senang bisa melakukan semua “pengorbanan” itu. Aku membayangkan mungkin ayah ibuku merasakan hal serupa ketika dulu aku masih balita. Mengasihi itu tak semudah mengumbar kata. Lucu juga mengingat betapa lima tahun merawat ayah membuat aku tak ubahnya seorang perawat terlatih. Penuh ide-ide kreatif demi membuat akhir minggu ayah lebih berwarna. Ya, tiap akhir minggu aku berangkat dari Jakarta menuju rumah ayah di Solo. Tak hanya ikut menyuapi dan memandikannya, aku juga suka memijatnya (entah ototnya yang sudah layu masih bisa merasakannya atau tidak) sambil menceritakan kegiatanku sepanjang minggu itu, membacakan Alkitab untuknya, berdoa bersamanya, atau mengajaknya menyanyikan lagu-lagu gereja. Tak ada jaminan ayah akan sembuh. Mengapa harus memberi waktu, tenaga, dan uang, demikian besar untuknya, sementara kami punya banyak kebutuhan lain? Namun toh, kasih membuat aku tetap berharap dan berusaha melakukan yang terbaik baginya. Aku ingin ayah tetap bisa menjalani hari-harinya dengan penuh semangat dan sukacita, tahu bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya. Kasih membuat aku tidak bisa cuek, dan sibuk dengan urusanku sendiri saja.
Aku pikir, tantangan mandi es juga merupakan salah satu wujud kreativitas yang muncul dari orang-orang yang sungguh-sungguh peduli dengan para penderita ALS. Mereka mau putar otak dan mencari cara kreatif untuk meringankan derita sesamanya. Mengumpulkan dana untuk mendukung penelitian ALS, dengan harapan suatu saat penyakit ini dapat diobati. Kasih membuat mereka tidak bisa cuek, menutup mata dengan kondisi sesama. Mungkin tidak semua. Mungkin banyak juga yang mandi es dan menyumbang dana hanya demi terlihat keren dan berani di depan teman-temannya. Kamu bisa saja berbuat baik tanpa kasih, tetapi ketika kamu memiliki kasih, kamu tidak mungkin tidak berbuat baik. ALS hanyalah salah satu di antara sekian banyak situasi yang bisa menguji kasih kita. Ahh, betapa berbedanya dunia ini jika saja para pengikut Kristus berlomba-lomba menyatakan kasih dalam tindakan kreatif…. =)
ALS terutama membawaku makin banyak merenungkan tentang Tuhan.
Sejak kecil ayah mengajariku untuk selalu bersyukur dan hidup bergantung pada Tuhan. “Jangan hanya mau terima yang baik-baik saja dari Tuhan, yang buruk pun harus diterima,” nasihatnya yang mengingatkanku pada kisah Ayub (lihat Ayub 2:10). Segala sesuatu di dunia ini, baik ataupun buruk di mata kita, semuanya terjadi atas izin Tuhan. Yang paling tahu dan memegang kendali atas segala sesuatu di dunia ini, adalah Dia yang menciptakannya. Kelak, jika bertemu dengan-Nya, aku ingin bertanya, mengapa Dia mengizinkan ALS merenggut ayah dari sisiku dan keluargaku. Namun, hingga hari itu tiba, satu hal yang aku imani adalah, Allah yang Mahabijak, “bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia … mereka … ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Roma 8:28-29). Betapa kecil hikmat dan kasih kita dibanding dengan hikmat dan kasih-Nya. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh.3:16).
Mungkin ALS memang diizinkan-Nya ada untuk menolong kita hidup makin bergantung kepada-Nya. Mungkin ALS memang diizinkan-Nya ada untuk menolong kita menguji kasih yang sering kita bahas dan nyanyikan di gereja. Mungkin ALS memang diizinkan-Nya ada untuk membangkitkan sebuah generasi yang sungguh mengenal Dia dan dengan kreatif menyatakan kasih-Nya kepada dunia.
Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar kata ALS*?
*ALS adalah singkatan dari Amyothropic Lateral Sclerosis. “A” berarti tidak, “Myo” berarti otot, Thropic berarti nutrisi; jadi Amyothrophic berarti tidak ada nutrisi bagi otot. “Lateral” menunjukkan sebuah lokasi pada tulang belakang, yang dihuni oleh sel-sel saraf yang mengatur gerakan otot. Sistem saraf yang rusak ini perlahan menjadi keras (mengalami “sclerosis”). Kerusakan ini membuat penderita ALS tidak bisa menggerakkan banyak bagian tubuhnya.
Artikel ini termasuk dalam kategori Kesaksian, Pena Kamu
from WarungSateKaMu.org
via IFTTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar