Oleh: Rio Susanto
Dalam menjalani hidup, setiap orang pasti memiliki yang namanya kebutuhan dan keinginan. Jujur saja sebagai orang muda, aku sendiri seringkali sulit mengontrol keinginan. Banyak hal yang begitu menggoda untuk dimiliki. Pernahkah kamu juga mengalaminya?
Contoh kasus nih. Orangtuamu mempercayakan sejumlah uang saku untuk memenuhi kebutuhan hidupmu tiap bulan. Pada awal bulan kamu melihat gadget yang sudah lama kamu inginkan. Gadget itu mahal tetapi disertai diskon dan terbatas jumlahnya. Kamu jadi tambah ingin membelinya sekarang juga, meski kamu tahu kalau kamu membelinya, uang sakumu akan tersisa sedikit dan pasti tidak cukup sampai akhir bulan. Apakah kamu akan nekat membelinya? Bukan tak mungkin dalam situasi semacam itu kita jadi galau dan akhirnya berkata, “Kapan lagi mendapat gadget idaman dengan harga yang murah, edisinya terbatas lagi. Soal uang bulanan kurang, ya dipikirin nanti-nanti aja.” Kita tidak bisa mengontrol keinginan kita. Sebaliknya, keinginan itulah yang mengontrol kita.
Rasul Yakobus mengingatkan kita, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.(Yakobus 1:14-15)”. Kita perlu menguji keinginan kita, karena bisa jadi keinginan itu membawa kita kepada perbuatan-perbuatan yang berdosa.
Lalu apakah salah bila kita menginginkan sesuatu? Haruskah kita berusaha meniadakan keinginan? Tentu saja tidak. Tuhan sendiri yang menciptakan kita untuk dapat menginginkan Dia dan segala yang baik dari-Nya. Namun, agar tidak dikendalikan oleh berbagai macam keinginan, serta dapat mengelola uang yang dipercayakan kepada kita dengan baik, setidaknya ada dua hal yang aku pelajari dari Alkitab:
1. Kita perlu menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Tuhan.
Termasuk uang kita. Jika kita diberi uang dari orang tua setiap bulan, bukankah Tuhan juga yang telah memberkati usaha mereka sehingga dapat mencukupi kebutuhan kita? Jika kita sudah bekerja dan mendapat uang atas kerja keras kita pun, bukankah Tuhan juga yang mengaruniakan kita kesehatan dan hikmat untuk bisa bekerja?
Raja Daud pun tidak berbangga diri atas semua aset kerajaan-Nya. Ia menulis, “…kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.” (1 Tawarikh 12:29).
Ketika menyadari bahwa apa yang kita punya adalah miliki Tuhan, termasuk uang kita, kita tidak akan sembarangan menggunakannya. Kita harus mengelola apa yang Tuhan percayakan sebaik mungkin untuk memuliakan-Nya.
2. Kita perlu belajar mencukupkan diri
Mencukupkan diri adalah rahasia Rasul Paulus untuk tetap bersukacita ketika ia didera banyak kesulitan bahkan harus menghabiskan hari-harinya dalam penjara. Ia menulis dalam Filipi 4:11-13:
“Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan … Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”
Kata “mencukupkan diri” dalam bahasa aslinya berarti memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan. Paulus tidak sedang membanggakan diri, juga tidak sedang menghibur diri. Ia dapat merasa cukup dalam segala keadaan di dalam Tuhan yang memberi kekuatan kepadanya. Mencukupkan diri bukanlah hal yang mudah. Paulus sendiripun perlu sebuah proses “belajar” dalam hal ini.
Seperti Paulus, kita juga bisa belajar mencukupkan diri. Mulailah dengan meminta hikmat Tuhan dalam membedakan manakah kebutuhan yang harus dipenuhi, dan mana keinginan yang harus belajar kita kendalikan. Buatlah perencanaan dalam penggunaan uang kita, mana kebutuhan yang harus diprioritaskan, mana keinginan yang sebaiknya ditunda. Sebelum membeli sesuatu, pertimbangkanlah seberapa besar manfaatnya. Jangan sampai kita membeli sesuatu hanya karena ingin pamer, ingin dianggap gaul dan mengikuti tren yang ada. Penilaian manusia hanya sementara. Namun penilaian Sang Pemilik harta kita, itulah yang jauh lebih berarti. Kelak kita harus mempertanggungjawabkan cara kita menggunakan harta milik kita di hadapan-Nya. Mari kita gunakan dengan bijak!
Artikel ini termasuk dalam kategori Artikel, Pena Kamu
from WarungSateKaMu.org
via IFTTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar