"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."
Film "Sogija", yang mengangkat kembali atau mengenangkan riwayat hidup panggilan dan tugas pengutusan Mgr.Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang dan Pahlawan Nasional sungguh mengesan bagi banyak orang, tidak hanya umat Katolik saja, tetapi juga mereka yang memiliki wawasan dan sikap mental kebangsaan. Sejak ditayangkan untuk pertama kalinya di beberapa kota besar tanggal 7 Juni 2012 lalu sampai saat ini film tersebut masih banyak diminati banyak orang, dan saya dengar sudah mulai diputar di paroki-paroki atau paguyuban yang berminat, sehingga karena banyak peminat maka harus antri menunggu giliran untuk menyaksikannya. Mgr Sogija ketika menjabat sebagai Uskup Agung memang dalam masa perjuangan maupun pertahanan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau mencanangkan motto "100% Katolik dan 100% warganegara". Beliau menggabungkan diri dengan para pejuang kemerdekaan maupun pemerintahan baru NKRI yang pada masa itu harus pindah dari Jakarta ke Yogyakarta dalam rangka menghadapi agresi Belanda. Maka kiranya film Soegija sungguh dapat membantu kita untuk berrefleksi pada Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia hari ini.
"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat 22:21)
Bendera 'merah putih' menjadi panji-panji NKRI. Merah berarti berani, sedangkan putih berarti suci; warna merah berada di atas dan warna putih berada di bawah kiranya dapat diartikan bahwa kita, warganegara NKRI, harus dengan gagah berani mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dalam dan dengan kesucian hidup. Merah putih kiranya juga merupakan kenangan para pendiri bangsa ini yang bercirikhas cerdas beriman. Panji-panji bendera merah-putih kiranya senada dengan sabda Yesus "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.", dihayati oleh Mgr Soegija dengan motto "100% Katolik dan 100% warganegara". Karena Mgr Soegija menjadi pahlawan nasional, maka kiranya baik juga kami mengajak rekan yang beragama lain untuk menghayati motto tersebut, yang berarti "100% Islam/Kristen/Hindu/Budha/Kepercayaan dan 100% warganegara".
Yang pertama-tama dan terutama kita usahakan dan perdalam serta perkembangkan pada masa kini hemat saya adalah kesucian, maka marilah kita bersama-sama berusaha untuk hidup suci. Suci berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, sehingga memiliki cara hidup dan cara bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan atau dijiwai oleh iman. Dengan hidup suci diharapkan kita 'dalam semangat iman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara', sehingga tidak pernah melakukan korupsi sedikitpun. Sungguh sayang dan memprihatinkan bahwa para penerus dan pengisi kemerdekaan saat ini pada umumnya melakukan korupsi, entah mereka yang berada di jajaran legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Maka Bapak Karni Ilyas dalam siaran TV One sering mengangkat kata-kata "Jika legislatif, eksekutif maupun yudikatif berkorupsi, maka apa yang dapat diharapkan dari negeri ini". Semoga para koruptor mengakui diri dan bertobat di Hari Raya Kemerdekaan ini, dan kami berharap mereka yang bertugas atau berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi untuk tetap berjiwa 'merah-putih' dalam memberantas korupsi.
Jika orang hidup suci kiranya giliran berikutnya untuk berusaha menjadi cerdas atau pandai dst.. akan lebih mudah. Pada masa ini apa yang disebut suci kiranya senada atau searti dengan kecerdasan spiritual atau SQ, dan "SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita" (Danah Zohar dan Ian Marshall: SQ, Penerbit Mizan – Bandung 2000, hal 4). Dengan dan dalam kecerdasan spiritual, marilah kita usahakan, perdalam dan perkembangkan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosional. Kami berharap hal ini dapat dilaksanakan baik di dalam keluarga maupun sekolah-sekolah dalam rangka mendidik dan mendampingi anak-anak maupun para peserta didik. Sekali lagi kami ingatkan dan ajak untuk memberlakukan aturan 'Dilarang menyontek baik dalam ulangan maupun ujian', dan ketika peserta didik kedapatan menyontek hendaknya diberi sangsi berat antara lain dikeluarkan dari sekolah atau tidak naik kelas. Untuk itu perlu ada perjanjian tertulis antara orangtua dan sekolah. Marilah kita hayati sabda Yesus di atas dengan hidup suci dan sosial demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
"Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!" (1Pet 2:16-17.)
'Hidup bebas merdeka sebagai hamba Allah' itulah panggilan dan tugas pengutusan kita semua sebagai warganegara NKRI. Sebagai manusia, ciptaan Allah, kita semua dianugerahi kebebasan penuh oleh Allah, dan hendaknya kita tidak menyalahgunakan kebebasan ini untuk hidup seenaknya alias melakukan kejahatan-kejahatan dalam bentuk apapun, termasuk juga 'melidungi atau menyelubungi kejahatan-kejahatan'. Pasangan dari kebebasan adalah cintakasih, kebebasan dan cintakasih bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan. Maka selanjutnya marilah kita renungkan dan tanggapan ajakan Petrus di bawah ini.
"Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu", begitulah ajakan dan peringatan Petrus kepada kita semua, segenap umat beriman atau beragama. Salah satu bentuk atau yang terutama dan pertama-tama dapat kita usahakan dan hayati dalam rangka menanggapi ajakan tersebut adalah menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak azasi manusia, harkat martabat manusia. Maka urutan dalam Pancasila, dasar Negara kita, setelah Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Perikemanusiaan yang adil dan beradab. Kita adalah bangsa yang beradab dan bukan biadab, demikian sering digembar-gemborkan oleh para pembicara dalam aneka kesempatan, namun kiranya apa yang disuarakan tersebut masih jauh untuk menjadi kenyataan, mengingat dan memperhatikan bahwa aneka kerusuhan, permusuhan, pembunuhan, saling membenci dan mencaci maki dst.. masih marak di sana-sini dalam kehidupan bersama kita.
"Pemerintah yang bijak mempertahankan ketertiban pada rakyatnya, dan pemerintahan orang arif adalah teratur. Seperti penguasa bangsa demikianpun para pegawainya, dan seperti pemerintah kota demikian pula semua penduduknya." (Sir 10:1-2). Kutipan ini kiranya baik untuk menjadi bahan refleksi atau mawas diri baik bagi pemerintah maupun rakyat, yaitu perihal ketertiban. Pertama-tama saya mengajak anda sekalian untuk memperhatikan apa yang terjadi di jalanan, yaitu dalam berlalu-lintas. Tertib dan mentaati aneka rambu-rambu lalu lintas di jalanan merupakan cermin hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hari-hari ini kiranya masih banyak orang dalam perjalanan untuk mudik, maka kami harapkan tertib di jalanan agar selamat sampai tujuan, bertemu dengan orangtua, sahabat dan kenalan guna merayakan Idul Fitri bersama-sama. Semoga para pejabat pemerintahan dapat menjadi teladan dalam pelaksanaan tata tertib dalam menjalankan fungsinya maupun aneka tugas dan pekerjaan. Kepada segenap anggota masyarakat atau rakyat, marilah bertanya kepada diri sendiri: apa yang kupersembahkan bagi ketertiban hidup bersama di tengah masyarakat.
"Mataku tertuju kepada orang-orang yang setiawan di negeri, supaya mereka diam bersama-sama dengan aku. Orang yang hidup dengan cara yang tak bercela, akan melayani aku. Orang yang melakukan tipu daya tidak akan diam di dalam rumahku, orang yang berbicara dusta tidak akan tegak di depan mataku." (Mzm 101:6-7)
Ign 17 Agustus 2012
"Marilah kita tegakkan dan perdalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan semangat bapa pendiri bangsa, cerdas beriman, serta dengan panji-panji merah-putih (berani dan suci)"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar