"Bukankah Ia ini anak Yusuf?"
(1Kor 2:1-5; Luk 4:16-30)
"Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: "Bukankah Ia ini anak Yusuf?" Maka berkatalah Ia kepada mereka: "Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!" Dan kata-Nya lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya."(Luk 4:16-24), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Barangsiapa tidak mampu mengasihi, menghormati dan menghargai mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama, maka sikap terhadap yang lain dan jauh pasti akan menindas atau melecehkan. Sebaliknya barangsiapa mampu mengasihi, menghormati dan menghargai mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama, maka terhadap yang lain/jauh pasti akan melayani, membahagiakan dan menyelamatkan. Orang-orang yang telah kenal Yesus pada masa kecilNya tidak percaya bahwa Yesus adalah Penyelamat Dunia yang mereka dambakan kedatanganNya, bahkan ketika Ia tampil di bait Allah untuk menyatakan Jati DiriNya, mereka berkata "Bukankah Ia ini anak Yusuf", dan kemudian mengusirNya. Kami mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah dengan rendah hati kita akui dan hayati apa yang baik, luhur, mulia, indah dalam diri saudara-saudari kita yang setiap hari hidup atau bekerja bersama dengan kita, entah di dalam keluarga, masyarakat atau tempat kerja/belajar. Ingat dan hayati bahwa masing-masing dari kita dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya pada saat ini karena jasa, kebaikan dan kasih mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama dengan kini. Maka hendaknya dengan mereka yang setiap hari hidup atau bekerja bersama, kita senantiasa bersikap 'berterima kasih dan bersyukur', sehingga dalam hidup atau bekerja bersama kita saling berterima kasih dan bersyukur, saling melayani, membahagiakan dan menyelamatkan. Pengalaman berterima kasih dan bersyukur dalam keluarga akan menjadi modal dan kekuatan yang handal untuk senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada siapapun dan dimanapun.
· "Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah." (1Kor 2:4-5), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua umat beriman. Kutipan ini kiranya mengingatkan dan mengajak kita semua untuk melihat, mengakui dan menghayati 'kekuatan Allah' dalam diri kita masing-masing atau saudara-saudari kita. Ingat dan hayati bahwa masing-masing dari kita diciptakan sebagai gambar atau citra Allah, Allah hidup dan berkarya dalam diri kita dengan menganugerahi perkembangan dan pertumbuhan serta aneka macam keutamaan atau nilai kehidupan. Masing-masing dari kita setiap hari/saat berubah, dan marilah kita hayati bahwa perubahan ini merupakan karya Allah, terutama perubahan ke arah lebih baik, mulia, luhur dan terhormat. Sebagai orang beriman kita diharapkan tidak menggantungkan diri pada hikmat manusia, melainkan pada kekuatan Roh, dengan kata lain hendaknya kita jangan bersikap mental materialistis, melainkan spiritual. Tidak berarti kita harus berdoa khusuk terus menerus, melainkan 'menghayati Tuhan dalam segala sesuatu atau segala sesuatu dalam Tuhan'. Hidup spiritual atau kerohanian sejati terjadi dengan mendunia, berpartisipasi dalam seluk beluk atau hal-ikhwal duniawi dalam atau dengan semangat iman. Maka baiklah kami mengajak anda sekalian untuk menghayati tugas bekerja atau belajar bagaikan sedang beribadat, dengan kata lain sikap mental dalam belajar maupun bekerja seperti sikap mental dalam beribadat.
"Aku melihat batas-batas kesempurnaan, tetapi perintah-Mu luas sekali. Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku. Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan. Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu. Terhadap segala jalan kejahatan aku menahan kakiku, supaya aku berpegang pada firman-Mu. Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu, sebab Engkaulah yang mengajar aku" (Mzm 119:96-102)
Jakarta, 30 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar