Seliter Air Aqua dan Berharganya Pemberian
Dengan berbekal satu botol Aqua ukuran seliter, saya dan seorang kawan memulai perjalanan ‘tidak biasa’ dari Cakung – Jakarta Timur hingga Bintaro –Jakarta Selatan. Tidak biasa karena kami berjalan kaki menyusuri jalanan besar di bawah terik matahari dan hawa tak nyaman dari kendaraan-kendaraan ramai.
Ceritanya kami pingin melihat Jakarta ‘dari dekat’, tidak seperti dari jauh ketika pesawat dari kampung halaman hendak landing; tidak seperti dari kaca jendela mobil kami yang menyaksikan Jakarta yang selalu makin indah di malam hari. Dan kami juga pingin saling kenal ‘lebih dekat’. Temanku orang Jakarta, anak kesayangan papa dan mamanya. Dan aku orang kampuang nun jauh di mato…
Haus tak terhankan, tapi keadaan tidak mengizinkan kami membeli. Sengaja tak bawa duit. Dan pada saat itu saya rasakan betapa penting sekaligus susahnya meminta. Untung tak sedikit yang berbelaskasih; mengisi botol-botol air kami sampai penuh. Entah…,apa karena tampang kami tidak seperti pengemis benaran, saya tidak ingat lagi. Pokoknya, berkat air pemberian orang-orang baik itu, kami berdua bisa menikmati tidur siang di bunderan HI –sebelum renovasi-sebelum melanjutkan perjalanan panjang kami hingga tiba di rumah pkl.23.00 hari yang sama. Itu tahun 2001. Air saat itu begitu berarti.
Orang Israel selama empat puluh tahun menempuh perjalanan panjang di padang gurun setelah mereka keluar dari penindasan Mesir. Mudah sekali membayangkan betapa menderitakannya perjalanan itu. Mereka melewati padang gurun, menghadapi ancaman badai pasir, gigitan kalajengking dan ular-ular berbisa. Kesulitan yang paling serius adalah makin berkurangnya persediaan makanan; berarti makin berkurang pula peluang untuk hidup dan bertahan. Dan pantas mereka mengeluh pada Tuhan “Kenapa Engkau membiarkan kami binasa di tempat ini? Bukankah lebih baik bagi kami tetap tinggal di Mesir daripada harus mati di sini?”
Tuhan mendengarkan mereka dengan memberikan manna sebagai pengganti roti; sebuah peristiwa yang diyakini sebagai kejaiban dari Tuhan sendiri. Manna kemudian disebut sebagai roti dari surga. Yesus menggugat keyakinan orang Israel tentang roti dari surga itu persis setelah peristiwa perbanyakan roti untuk lima ribu orang (Yoh.6:1-15) yang membuat Yesus makin populer dan lantas dicari-cari orang banyak (Yoh.6:1-24).
Roti dari surga bukanlah manna melainkan Tubuh-Nya sendiri. Manna yang kemudian dijadikan roti oleh nenek moyang mereka hanya melepaskan lapar jasmani mereka; kebutuhan dasar akan makanan (basic needs). Dan ini tak bedanya dengan yang lain. (bdk. 6:32). Roti yang sejati adalah roti yang jauh melebihi pemuasaan kebutuhan jasmani melainkan roti yang membuat hidup jauh lebih berarti, penuh dan bermakna. Dan itulah tubuh-Nya sendiri “Akulah roti hidup, barnagsiapa datang kepada-Ku; ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.”
Kita pasti butuh makan dan itu mutlak untuk keberlangsungan hidup kita. Akan tetapi, makanan dan terpenuhinya semua kebutuhan dasar lainnya tak pernah cukup membuat hidup kita berarti. Maka kita butuh makanan yang membuat kita berarti. Dan Yesus dalam kisah injil hari ini menawarkan dirinya: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal; Barangsiapa tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, tidak mempunyai hidup dalam dirimu” (ay.53-54).
Kita bisa langsung merinding mendengar kata-kata ini sebagaimana yang dialami orang Yahudi pada waktu itu: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan” (ay.52b); akan menjadi barbarkah kita?...Tentu saja Yesus tidak memaksudkan demikian. Yesus menantang pendengar-Nya, juga anda dan saya untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan-Nya. Dasar apakah yang mengkohkan hubungan kita dengan-Nya? Kebutuhan kita ataukah ketertarikan kita akan pribadi-Nya?
Mengikuti Dia berarti pertama-tama bersekutu, bersatu dengan-Nya. “Barangsiapa makan daging-Ku, minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia”. Dengan ini Yesus tentu memaksudkan ekaristi sebagai pusat dan kunci hubungan kita dengan-Nya. Kata-kata ini mengantisipasi perjamuan malam terakhir yang baru akan diadakan menjelang kematian-Nya. Akan tetapi, ekaristi itu pun sudah dimulai ketika orang dan para murid-Nya sendiri mendengar dan melakukan sabda-Nya.
Maka makan daging dan minum darah Tuhan adalah pertama-tama undangan untuk membiarkan sabda Tuhan bekerja, mengubah keyakinan-keyakinan kita yang lama untuk terus mengubah hidup kita sendiri. Sabda itu menjadi makanan sesungguhnya jika diterima dengan iman. Sulit membayangkan bagaimana butir-butir manna di padang gurun bisa menguatkan perjalanan orang Israel yang nan lama jika nenek moyang bangsa ini tidak melihat peristiwa ini dengan iman; percaya bahwa Allah mengasihi mereka dan tak ada yang dapat memisahkan mereka dari kasih-Nya. Sabda itu adalah kasih Allah sendiri yang kemudian menjadi darah dan daging, menjadi manusia dalam pribadi Yesus.
Oleh karena itu makan dan minum darah Tuhan adalah undangan untuk mengikuti dengan sempurna cara hidup Yesus; cara hidup yang dengan ringkas dirangkum dalam pembasuhan kaki dan yang dibuktikan nyata-nyata di atas kayu salib. Makan dan minum daging dan darah adalah undangan untuk siap menjadi seperti itu: menjadi orang yang siap memberi waktu, perhatian, pengertian, cinta dan seluruh dirinya bagi mereka yang membutuhkan. Mungkin itu istri anda yang cepat marah tapi sebenarnya ingin dimengerti; anak anda yang terlalu sering anda tinggalkan karena pekerjaan; tetangga-tetangga anda yang selalu sibuk sendiri tapi sebenarnya butuh dukungan dan dorongan anda; bahkan mungkin itu paroki anda yang meski selalu setiap minggu liturginya membosankan tetapi justru sedang memanggil anda untuk berpartisipasi memeriahkannya.
Hari raya tubuh dan darah Kristus mesti kita syukuri bersama dengan memperbaharui komitmen babtis kita untuk menjadi tubuh Kristus yang dibagi-bagikan dan darah-Nya yang dituangkan untuk semakin banyak orang yang butuh cinta dan pengertian. Keaslian dan kekhasan iman Kristiani –yang tidak dimiliki kepercayaan manapun- adalah semangat hidup ekaristis seperti ini. Saya berdoa bagi semua teman-teman dan adik-adik yang merayakan Komuni Pertama hari ini. Saya peluk anda semua dalam doa dan cinta. Hari ini kita tahu bahwa tidak ada yang lebih berharga selain memberi, dan rasanya perjalanan hidup dan cinta kita di dunia terasa hambar jika tanpa ekaristi, bagai seliter air di tahun 2001 itu.
Dengan berbekal satu botol Aqua ukuran seliter, saya dan seorang kawan memulai perjalanan ‘tidak biasa’ dari Cakung – Jakarta Timur hingga Bintaro –Jakarta Selatan. Tidak biasa karena kami berjalan kaki menyusuri jalanan besar di bawah terik matahari dan hawa tak nyaman dari kendaraan-kendaraan ramai.
Ceritanya kami pingin melihat Jakarta ‘dari dekat’, tidak seperti dari jauh ketika pesawat dari kampung halaman hendak landing; tidak seperti dari kaca jendela mobil kami yang menyaksikan Jakarta yang selalu makin indah di malam hari. Dan kami juga pingin saling kenal ‘lebih dekat’. Temanku orang Jakarta, anak kesayangan papa dan mamanya. Dan aku orang kampuang nun jauh di mato…
Haus tak terhankan, tapi keadaan tidak mengizinkan kami membeli. Sengaja tak bawa duit. Dan pada saat itu saya rasakan betapa penting sekaligus susahnya meminta. Untung tak sedikit yang berbelaskasih; mengisi botol-botol air kami sampai penuh. Entah…,apa karena tampang kami tidak seperti pengemis benaran, saya tidak ingat lagi. Pokoknya, berkat air pemberian orang-orang baik itu, kami berdua bisa menikmati tidur siang di bunderan HI –sebelum renovasi-sebelum melanjutkan perjalanan panjang kami hingga tiba di rumah pkl.23.00 hari yang sama. Itu tahun 2001. Air saat itu begitu berarti.
Orang Israel selama empat puluh tahun menempuh perjalanan panjang di padang gurun setelah mereka keluar dari penindasan Mesir. Mudah sekali membayangkan betapa menderitakannya perjalanan itu. Mereka melewati padang gurun, menghadapi ancaman badai pasir, gigitan kalajengking dan ular-ular berbisa. Kesulitan yang paling serius adalah makin berkurangnya persediaan makanan; berarti makin berkurang pula peluang untuk hidup dan bertahan. Dan pantas mereka mengeluh pada Tuhan “Kenapa Engkau membiarkan kami binasa di tempat ini? Bukankah lebih baik bagi kami tetap tinggal di Mesir daripada harus mati di sini?”
Tuhan mendengarkan mereka dengan memberikan manna sebagai pengganti roti; sebuah peristiwa yang diyakini sebagai kejaiban dari Tuhan sendiri. Manna kemudian disebut sebagai roti dari surga. Yesus menggugat keyakinan orang Israel tentang roti dari surga itu persis setelah peristiwa perbanyakan roti untuk lima ribu orang (Yoh.6:1-15) yang membuat Yesus makin populer dan lantas dicari-cari orang banyak (Yoh.6:1-24).
Roti dari surga bukanlah manna melainkan Tubuh-Nya sendiri. Manna yang kemudian dijadikan roti oleh nenek moyang mereka hanya melepaskan lapar jasmani mereka; kebutuhan dasar akan makanan (basic needs). Dan ini tak bedanya dengan yang lain. (bdk. 6:32). Roti yang sejati adalah roti yang jauh melebihi pemuasaan kebutuhan jasmani melainkan roti yang membuat hidup jauh lebih berarti, penuh dan bermakna. Dan itulah tubuh-Nya sendiri “Akulah roti hidup, barnagsiapa datang kepada-Ku; ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.”
Kita pasti butuh makan dan itu mutlak untuk keberlangsungan hidup kita. Akan tetapi, makanan dan terpenuhinya semua kebutuhan dasar lainnya tak pernah cukup membuat hidup kita berarti. Maka kita butuh makanan yang membuat kita berarti. Dan Yesus dalam kisah injil hari ini menawarkan dirinya: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal; Barangsiapa tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, tidak mempunyai hidup dalam dirimu” (ay.53-54).
Kita bisa langsung merinding mendengar kata-kata ini sebagaimana yang dialami orang Yahudi pada waktu itu: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan” (ay.52b); akan menjadi barbarkah kita?...Tentu saja Yesus tidak memaksudkan demikian. Yesus menantang pendengar-Nya, juga anda dan saya untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan-Nya. Dasar apakah yang mengkohkan hubungan kita dengan-Nya? Kebutuhan kita ataukah ketertarikan kita akan pribadi-Nya?
Mengikuti Dia berarti pertama-tama bersekutu, bersatu dengan-Nya. “Barangsiapa makan daging-Ku, minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia”. Dengan ini Yesus tentu memaksudkan ekaristi sebagai pusat dan kunci hubungan kita dengan-Nya. Kata-kata ini mengantisipasi perjamuan malam terakhir yang baru akan diadakan menjelang kematian-Nya. Akan tetapi, ekaristi itu pun sudah dimulai ketika orang dan para murid-Nya sendiri mendengar dan melakukan sabda-Nya.
Maka makan daging dan minum darah Tuhan adalah pertama-tama undangan untuk membiarkan sabda Tuhan bekerja, mengubah keyakinan-keyakinan kita yang lama untuk terus mengubah hidup kita sendiri. Sabda itu menjadi makanan sesungguhnya jika diterima dengan iman. Sulit membayangkan bagaimana butir-butir manna di padang gurun bisa menguatkan perjalanan orang Israel yang nan lama jika nenek moyang bangsa ini tidak melihat peristiwa ini dengan iman; percaya bahwa Allah mengasihi mereka dan tak ada yang dapat memisahkan mereka dari kasih-Nya. Sabda itu adalah kasih Allah sendiri yang kemudian menjadi darah dan daging, menjadi manusia dalam pribadi Yesus.
Oleh karena itu makan dan minum darah Tuhan adalah undangan untuk mengikuti dengan sempurna cara hidup Yesus; cara hidup yang dengan ringkas dirangkum dalam pembasuhan kaki dan yang dibuktikan nyata-nyata di atas kayu salib. Makan dan minum daging dan darah adalah undangan untuk siap menjadi seperti itu: menjadi orang yang siap memberi waktu, perhatian, pengertian, cinta dan seluruh dirinya bagi mereka yang membutuhkan. Mungkin itu istri anda yang cepat marah tapi sebenarnya ingin dimengerti; anak anda yang terlalu sering anda tinggalkan karena pekerjaan; tetangga-tetangga anda yang selalu sibuk sendiri tapi sebenarnya butuh dukungan dan dorongan anda; bahkan mungkin itu paroki anda yang meski selalu setiap minggu liturginya membosankan tetapi justru sedang memanggil anda untuk berpartisipasi memeriahkannya.
Hari raya tubuh dan darah Kristus mesti kita syukuri bersama dengan memperbaharui komitmen babtis kita untuk menjadi tubuh Kristus yang dibagi-bagikan dan darah-Nya yang dituangkan untuk semakin banyak orang yang butuh cinta dan pengertian. Keaslian dan kekhasan iman Kristiani –yang tidak dimiliki kepercayaan manapun- adalah semangat hidup ekaristis seperti ini. Saya berdoa bagi semua teman-teman dan adik-adik yang merayakan Komuni Pertama hari ini. Saya peluk anda semua dalam doa dan cinta. Hari ini kita tahu bahwa tidak ada yang lebih berharga selain memberi, dan rasanya perjalanan hidup dan cinta kita di dunia terasa hambar jika tanpa ekaristi, bagai seliter air di tahun 2001 itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar