Anna Maria dan Kenapa Bisa Segila Ini?
Wajah cantik Anna Maria, istri aktor kondang Roy Marten, masih saya ingat ketika berkunjung ke Gereja Ortodoks di daerah Jakarta Timur. Samahalnya dengan penganut Ortodoks lainnya, Anna Maria membuka kerudung yang menutup di kepala, lalu mencium salah satu ikon di Gereja itu lalu duduk.
Anna Maria yang sama, saya lihat di televisi dua atau tiga bulan lalu saat menjenguk suaminya yang untuk kedua kalinya tertangkap berpesta shabu. Saya kagum padanya yang tetap tegar meski letih dan kecewa tidak bisa disembunyikan di wajahnya. Dari Jakarta ia ke Surabaya untuk menguatkan Roy. Padalah, sebagaimana yang diberitakan oleh surat kabar, bukan sekali ini saja Roy Marten berurusan dengan polisi.
Peristiwa yang dialami Anna Maria hadir dalam benak saya ketika merenungkan dialog mengetarkan antara Petrus dengan Yesus yang bangkit (Yoh.21:14-19). Dialog ini didahului oleh perjumpaan Petrus, Tomas, Natanael, anak-anak Zebedeus (Yakobus dan Yohanes) dan dua orang murid lain dengan Yesus di pantai danau Tiberias (Yoh.21:1-14). Nama-nama yang disebutkan di atas, jika anda ingat dengan baik, adalah orang-orang yang bisa dibilang punya ‘rapor merah’ dalam perjalanan kemuridan. Yakobus dan Yohanes adalah dua murid yang minta pada Yesus supaya mendapat posisi politik apabila Yesus menjadi raja (Mrk.10:35-45). Natanael adalah yang pernah meragukan kuasa Yesus – apa benar ada sesuatu yang baik datang dari Nazaret (Yoh.1:48). Dan Petrus sendiri lebih lagi. Dialah yang berusaha menghalang-halangi perjalanan Yesus – dengan mencegah Dia pergi menghadapi ancaman orang-orang Yahudi (bdk. Mrk.8:31-33). Ia juga yang menyangkal Yesus bahkan sampai tiga kali.
Kematian Yesus dan simpang siur seputar kebangkitan-Nya rasanya seperti membuat mereka serba salah, mungkin juga kecewa dan putus asa. Ini nampak dengan jelas dari kenyataan bahwa mereka –setelah kembali menjalan ikan – tidak menangkap apa-apa semalam-malaman (ay.3b). Baru ketika Yesus menampakkan diri di tengah mereka, menyuruh mereka untuk kembali menangkap ikan, dan bersama menikmati hasil tangkapan itu, mereka seperti kembali menemukan harapan, selain bahwa akhirnya mereka mengalami sendiri Yesus yang bangkit itu.
Dan pada saat sarapan, pertanyaan mengejutkan disampaikan Yesus pada Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Yesus mau tahu apakah dia – yang pasti paling merasa bersalah dengan rapor merahnya tadi- justru jauh lebih mengasihi Yesus dibandingkan mereka yang lain, yang kesalahannya lebih kecil atau malah yang sudah merasa suci dan tak berdosa. Petrus tidak pikir panjang dan langsung dengan enteng menjawab bahwa ia tentu mengasihi Tuhan. Kepolosan Petrus sungguh saya kagumi. Dan rasanya ada yang wajar di situ. Petrus kiranya berpikir bahwa Yesus iseng-iseng saja bertanya. Apalagi baru saja selesai makan. Tidak ada sesuatu yang serius di situ. Makanya, Petrus menjawab yang sama, ketika Yesus untuk kedua kalinya bertanya. Akan tetapi, ketika untuk ketiga kalinya Yesus bertanya, Petrus baru tahu bahwa Tuhan tidak main-main; sema seriusnya ketika ia tiga kali pernah menyangkal Yesus. Pantaslah kemudian Petrus sedih (ay.17).
Yesus tiga kali bertanya untuk memastikan kesungguhan Petrus untuk tetap mengikuti Dia dan mengasihi-Nya. Yesus menuntut dari Petrus sesuatu yang lebih daripada sekedar membuka baju dan terjun dari perahu ke danau ketika pertama kali melihat Yesus yang bangkit berdiri di pinggir pantai (ay.7). Juga tidak cukup dengan hanya percaya bahwa benar-benar Tuhan bangkit. Iman kebangkitan selalu sebanding dengan pembuktiannya dalam cinta yang konkret. Yesus mau memastikan apakah Petrus tetap mengasihi-Nya, melaksanakan semua cita dan karya-Nya pun ketika Ia tidak lagi bisa selalu bersama-sama murid-murid-Nya seperti dulu.
Pertanyaan yang sama juga ditujukan pada anda dan saya, apa memang kita tetap memilih mencintai Dia persis ketiga kita terbukti gagal mencintai Dia. Mestinya hari ini saya tidak kebut-kebutan di jalan, tetapi nyatanya saya tetap ngebut. Mestinya saya yang pertama tersenyum ketika karyawan yang saya damprat kemaren berpapasan di koridor, tetapi kenapa bibir tetap terkatup dan mata saya berpaling darinya? Rasa-rasanya pertanyaan itu pantas menggetarkan kita semua: apakah sebagai orang Katolik kita masih tetap mau mencintai meski hampir jelas kelihatan tidak ada lagi alasan untuk mencintai. Bukankah kondisi istri yang rapuh, hanya duduk di kursi roda adalah alasan yang jauh lebih kuat untuk pergi mencari perempuan lain? Atau sang suami yang terbujur kaku dalam keadaan koma sudah lebih dari setahun – yang lebih banyak menghabiskan uang dan waktu –sudah cukup menjadi alasan untuk menghentikan seluruh perawatannya, dan membiarkan dia mati perlahan? Bukankah kecanduan narkotika dan dua kali dipenjara sudah cukup menjadi alasan bagi Anna Maria menceraikan Roy Marten? Lalu kenapa perempuan ini masih saja tetap memeluk dan mencium sang suami yang sudah tidak lagi disukai khalayak ini?
Kebesaran hati kita untuk mencintai Allah terletak dalam pilihan untuk selalu tetap mencintai Dia setiap kali kita satu kali gagal total mencintai Dia. Inilah iman sebagaimana dimiliki Petrus “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau (ay.17b). Dan pembuktian cinta itu terjadi ketika kita juga mau selalu memilih untuk tetap terus mencintai sesama kita setiap kali kita menemukan satu alasan baru untuk tidak mencintainya.
Saya sampai sekarang masih tetap kagum pada mama saya. Dia mengajarkan saya untuk selalu mencari-cari alasan untuk tetap mencintai orang lain. Padahal, saya tahu dan kenal beberapa orang yang pernah buat cerita dan gosip macam-macam tentang ibu saya. Padahal saya tahu juga kadang-kadang keluarga dan kebudayaan saya tidak adil terhadap perempuan. Sebagai seorang anak perempuan, dia tidak punya hak atas warisan dari orangtua. Warisan hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Perempuan hanya bisa mendapatkan warisan jika diberi atau berkat belas kasih saudara laki-lakinya. Akan tetapi, mama terus saja selalu mencari-cari alasan untuk mencintai meski akhirnya dia memang tidak pernah mendapatkan sejengkal pun tanah warisan orangtuanya gara-gara ketamakan keluarganya sendiri. Tuhan, saya ingin bertanya masih berapa banyak lagikah alasan untuk mencintai sampai-sampai ibuku bisa se’gila’ ini? Kuatkan iman saya.
Wajah cantik Anna Maria, istri aktor kondang Roy Marten, masih saya ingat ketika berkunjung ke Gereja Ortodoks di daerah Jakarta Timur. Samahalnya dengan penganut Ortodoks lainnya, Anna Maria membuka kerudung yang menutup di kepala, lalu mencium salah satu ikon di Gereja itu lalu duduk.
Anna Maria yang sama, saya lihat di televisi dua atau tiga bulan lalu saat menjenguk suaminya yang untuk kedua kalinya tertangkap berpesta shabu. Saya kagum padanya yang tetap tegar meski letih dan kecewa tidak bisa disembunyikan di wajahnya. Dari Jakarta ia ke Surabaya untuk menguatkan Roy. Padalah, sebagaimana yang diberitakan oleh surat kabar, bukan sekali ini saja Roy Marten berurusan dengan polisi.
Peristiwa yang dialami Anna Maria hadir dalam benak saya ketika merenungkan dialog mengetarkan antara Petrus dengan Yesus yang bangkit (Yoh.21:14-19). Dialog ini didahului oleh perjumpaan Petrus, Tomas, Natanael, anak-anak Zebedeus (Yakobus dan Yohanes) dan dua orang murid lain dengan Yesus di pantai danau Tiberias (Yoh.21:1-14). Nama-nama yang disebutkan di atas, jika anda ingat dengan baik, adalah orang-orang yang bisa dibilang punya ‘rapor merah’ dalam perjalanan kemuridan. Yakobus dan Yohanes adalah dua murid yang minta pada Yesus supaya mendapat posisi politik apabila Yesus menjadi raja (Mrk.10:35-45). Natanael adalah yang pernah meragukan kuasa Yesus – apa benar ada sesuatu yang baik datang dari Nazaret (Yoh.1:48). Dan Petrus sendiri lebih lagi. Dialah yang berusaha menghalang-halangi perjalanan Yesus – dengan mencegah Dia pergi menghadapi ancaman orang-orang Yahudi (bdk. Mrk.8:31-33). Ia juga yang menyangkal Yesus bahkan sampai tiga kali.
Kematian Yesus dan simpang siur seputar kebangkitan-Nya rasanya seperti membuat mereka serba salah, mungkin juga kecewa dan putus asa. Ini nampak dengan jelas dari kenyataan bahwa mereka –setelah kembali menjalan ikan – tidak menangkap apa-apa semalam-malaman (ay.3b). Baru ketika Yesus menampakkan diri di tengah mereka, menyuruh mereka untuk kembali menangkap ikan, dan bersama menikmati hasil tangkapan itu, mereka seperti kembali menemukan harapan, selain bahwa akhirnya mereka mengalami sendiri Yesus yang bangkit itu.
Dan pada saat sarapan, pertanyaan mengejutkan disampaikan Yesus pada Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Yesus mau tahu apakah dia – yang pasti paling merasa bersalah dengan rapor merahnya tadi- justru jauh lebih mengasihi Yesus dibandingkan mereka yang lain, yang kesalahannya lebih kecil atau malah yang sudah merasa suci dan tak berdosa. Petrus tidak pikir panjang dan langsung dengan enteng menjawab bahwa ia tentu mengasihi Tuhan. Kepolosan Petrus sungguh saya kagumi. Dan rasanya ada yang wajar di situ. Petrus kiranya berpikir bahwa Yesus iseng-iseng saja bertanya. Apalagi baru saja selesai makan. Tidak ada sesuatu yang serius di situ. Makanya, Petrus menjawab yang sama, ketika Yesus untuk kedua kalinya bertanya. Akan tetapi, ketika untuk ketiga kalinya Yesus bertanya, Petrus baru tahu bahwa Tuhan tidak main-main; sema seriusnya ketika ia tiga kali pernah menyangkal Yesus. Pantaslah kemudian Petrus sedih (ay.17).
Yesus tiga kali bertanya untuk memastikan kesungguhan Petrus untuk tetap mengikuti Dia dan mengasihi-Nya. Yesus menuntut dari Petrus sesuatu yang lebih daripada sekedar membuka baju dan terjun dari perahu ke danau ketika pertama kali melihat Yesus yang bangkit berdiri di pinggir pantai (ay.7). Juga tidak cukup dengan hanya percaya bahwa benar-benar Tuhan bangkit. Iman kebangkitan selalu sebanding dengan pembuktiannya dalam cinta yang konkret. Yesus mau memastikan apakah Petrus tetap mengasihi-Nya, melaksanakan semua cita dan karya-Nya pun ketika Ia tidak lagi bisa selalu bersama-sama murid-murid-Nya seperti dulu.
Pertanyaan yang sama juga ditujukan pada anda dan saya, apa memang kita tetap memilih mencintai Dia persis ketiga kita terbukti gagal mencintai Dia. Mestinya hari ini saya tidak kebut-kebutan di jalan, tetapi nyatanya saya tetap ngebut. Mestinya saya yang pertama tersenyum ketika karyawan yang saya damprat kemaren berpapasan di koridor, tetapi kenapa bibir tetap terkatup dan mata saya berpaling darinya? Rasa-rasanya pertanyaan itu pantas menggetarkan kita semua: apakah sebagai orang Katolik kita masih tetap mau mencintai meski hampir jelas kelihatan tidak ada lagi alasan untuk mencintai. Bukankah kondisi istri yang rapuh, hanya duduk di kursi roda adalah alasan yang jauh lebih kuat untuk pergi mencari perempuan lain? Atau sang suami yang terbujur kaku dalam keadaan koma sudah lebih dari setahun – yang lebih banyak menghabiskan uang dan waktu –sudah cukup menjadi alasan untuk menghentikan seluruh perawatannya, dan membiarkan dia mati perlahan? Bukankah kecanduan narkotika dan dua kali dipenjara sudah cukup menjadi alasan bagi Anna Maria menceraikan Roy Marten? Lalu kenapa perempuan ini masih saja tetap memeluk dan mencium sang suami yang sudah tidak lagi disukai khalayak ini?
Kebesaran hati kita untuk mencintai Allah terletak dalam pilihan untuk selalu tetap mencintai Dia setiap kali kita satu kali gagal total mencintai Dia. Inilah iman sebagaimana dimiliki Petrus “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau (ay.17b). Dan pembuktian cinta itu terjadi ketika kita juga mau selalu memilih untuk tetap terus mencintai sesama kita setiap kali kita menemukan satu alasan baru untuk tidak mencintainya.
Saya sampai sekarang masih tetap kagum pada mama saya. Dia mengajarkan saya untuk selalu mencari-cari alasan untuk tetap mencintai orang lain. Padahal, saya tahu dan kenal beberapa orang yang pernah buat cerita dan gosip macam-macam tentang ibu saya. Padahal saya tahu juga kadang-kadang keluarga dan kebudayaan saya tidak adil terhadap perempuan. Sebagai seorang anak perempuan, dia tidak punya hak atas warisan dari orangtua. Warisan hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Perempuan hanya bisa mendapatkan warisan jika diberi atau berkat belas kasih saudara laki-lakinya. Akan tetapi, mama terus saja selalu mencari-cari alasan untuk mencintai meski akhirnya dia memang tidak pernah mendapatkan sejengkal pun tanah warisan orangtuanya gara-gara ketamakan keluarganya sendiri. Tuhan, saya ingin bertanya masih berapa banyak lagikah alasan untuk mencintai sampai-sampai ibuku bisa se’gila’ ini? Kuatkan iman saya.
Ronald,s.x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar