Oleh: Olivia Ow
(artikel asli dalam bahasa Inggris: Should We Start Thinking About The End? )
Kalo kamu seorang pecinta film drama, kamu tentunya sependapat bahwa bagian akhir drama itu lebih penting, atau setidaknya sama penting dengan bagian lainnya dalam keseluruhan cerita. Banyak orang bisa mengikuti sebuah drama selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Wajar saja kalo para penonton mengharapkan film drama itu akan menampilkan akhir cerita yang berkesan; tidak malah bikin orang berseru kecewa, “Yah, kok gitu doang?”
Kita tahu bahwa film drama hanya cerita rekaan dan bukan kisah nyata. Menariknya, kita selalu berharap untuk melihat para aktor dan aktris itu mengakhiri cerita mereka dengan baik. Bagaimana dengan kisah kita sendiri? Apakah akhir yang baik juga penting bagi kita?
Bagi kebanyakan orang, akhir yang baik mungkin identik dengan usia lanjut atau ajal yang menjelang. Jujur saja, aku sendiri tidak pernah memikirkannya. Usiaku masih muda. Aku tidak pernah berpikir bahwa besok aku akan mati (tentu dengan izin Tuhan). Akhir yang baik mungkin baru akan kupikirkan 40 tahun lagi. Saat ini, fokusku adalah bagaimana menjalani hidup sebaik mungkin. Tetapi, akhir yang baik sebenarnya tidak hanya penting untuk dipikirkan oleh orang-orang lanjut usia. Pilihan-pilihan yang kita buat sekarang akan menentukan bagaimana kita mengakhiri tahun-tahun kita di bumi.
Dalam 2 Timotius 4:7, kita membaca tentang Rasul Paulus yang mengakhiri hidupnya dengan baik. Tetapi, kemudian kita juga membaca tentang Demas yang tidak mengakhiri hidupnya dengan baik sebab ia “mencintai dunia ini” (ayat 10), sekalipun ia tadinya adalah teman sekerja Rasul Paulus (Filemon 1:24). Sebuah kenyataan hidup yang patut kita pikirkan secara serius, apalagi jika perjalanan hidup kita masih panjang. Siapa yang bisa memastikan hidupnya akan dapat berakhir dengan baik? Tidak ada jaminan apa pun di luar anugerah Tuhan.
Jadi, bagaimana kita dapat mengakhiri hidup dengan baik? Jawaban-jawaban berikut mungkin terdengar klise. Tetapi, inilah hal-hal mendasar yang patut kita pikirkan:
1. Miliki waktu teduh bersama Tuhan setiap hari
Waktu teduh bersama Tuhan setiap hari itu penting. Waktu teduh menjaga kita supaya tidak menyimpang ke arah yang keliru. Ketika kita membenamkan diri dalam Firman-Nya dan cinta kita kepada-Nya bertumbuh, kita tidak akan tergoda untuk mencintai dunia ini seperti Demas.
2. Serahkan hidup kepada Tuhan setiap hari
Paulus memberi kita nasihat dalam Roma 12:1-2, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Hidup kita, tubuh kita, semuanya diciptakan dan telah ditebus Tuhan. Sebab itu, kita harus senantiasa menyerahkan hidup kita kepada-Nya.
3. Percaya akan kedaulatan dan kasih Tuhan
Ada banyak penderitaan dan hal-hal tidak enak yang bisa kita alami dalam perjalanan hidup ini. Kadang itu disebabkan oleh kondisi alam, kadang oleh niat jahat manusia. Dan, seringkali tampaknya kejahatan menang atas kebaikan. Tapi, bertahanlah. Tuhan berdaulat, Dia memegang kendali atas semua kuasa jahat, dan kita dapat percaya kepada-Nya. Jadi, meskipun dunia ini sudah rusak, janganlah menyerah, tetaplah berjuang untuk mewujudkan akhir yang baik.
Sama seperti kita rela memberi waktu untuk melihat para aktor dan aktris mengakhiri drama mereka dengan baik, mari ambil waktu untuk memikirkan bagaimana kita juga dapat mengakhiri perjalanan hidup kita dengan baik. Kita tidak bisa baru mulai memikirkannya di pengujung hidup kita. Mari persiapkan mulai dari sekarang!
Artikel ini termasuk dalam kategori 01 - Januari 2015: Awal yang Baru, Artikel, Pena Kamu, Tema 2015
from WarungSaTeKaMu.org
via IFTTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar