NAMAKU GRACE – soal reinkarnasi
Baru-baru ini, vontharia, salah satu rekan kita di multiply ini mengajukan pertanyaan yang cukup serius perihal reinkarnasi. Apakah itu sungguh-sungguh terjadi, percayakah kita akan hal itu? Seperti apakah rupa kita nanti setelah kehidupan pertama? Apakah jadi anjing? Agnes Monica? Madonna, atau barangkali jadi Hitler, ular?, dst..nya.
Pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan soal hal-hal akhir/the last things, tentang after life/keadaan hidup setelah mati, dan mungkin juga soal nasib/destiny kita.
Pandangan reinkarnasi umumnya dianut oleh saudara/i kita yang berkeyakinan Budhis, termasuk mereka-mereka yang mengaku penganut new age religion. Pandangan reinkarnasi tidak lepas dari konsep tentang waktu dan sejarah. Mereka yang percaya pada reinkarnasi melihat waktu bersifat siklis dan sejarah sebagai pengulangan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Maka konsep tentang masa depan/future dan kebaruan/newness tidak terlalu mendapat penekanan. Tulisan ini tidak bermaksud menyangkal pandangan mereka, melainkan berusaha mempertanggungjawabkan bagaimana pandangan iman kita sebagai orang Kristiani, termasuk penghayatan kita tentang waktu dan sejarah.
Pandangan kita tentang waktu dan sejarah sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan orang Yahudi yang melihat waktu berjalan linear, maju dan terarah ke masa depan. Waktu dan sejarah berawal dari satu titik dan berakhir mencapai kepenuhannya pada titik yang lain. Titik berangkat bagi mereka adalah penciptaan dan keterpilihan mereka sebagai umat Allah lalu berakhir pada apa yang mereka sebut sebagai Yerusalem Baru di mana Allah datang menebus dan memulihkan penderitaan Israel.
Sementara kita menambah penekanan lain di dalamnya. Kesempurnaan ciptaan dirusak oleh dosa dan kejahatan kita manusia. Kematian dan maut menjadi hukuman atas manusia karena pilihannya untuk menolak Allah (digambarkan dalam dosa Adam-Hawa). Oleh kejahatan dan dosa itulah manusia menderita dan pada saat yang sama mendambakan penebusan. Bagi kita, dambaan akan penebusan dan pemulihan ciptaan terpenuhi dalam diri Yesus Almasih. Dalam Dialah, Allah turun sendiri ke dalam sejarah manusia untuk ikut menanggung penderitaan kita dan menebusnya lewat kematian Sang Putra di salib. Dengan kebangkitan-Nya kita memperoleh jaminan dan pengharapan baru yakni anugerah kebangkitan dan hidup kekal. Hidup kekal itu adalah hidup dan realitas yang sama sekali baru, persekutuan bersama Allah. Di dalam hidup baru itu, seluruh ciptaan dan sejarah dipulihkan. Pendek kata, penghayatan kita atas sejarah bisa dilukiskan dalam paradigma berikut: penciptaanà dosaà penebusan à pemulihan ciptaan.
Perlu digarisbawahi apa yang saya katakan, hidup kekal adalah realitas yang sama sekali baru dan lain dari hidup yang kita alami. Untuk memahami itu, mari kita kembali kepada soal kematian yang dikatakan sebagai konsekuensi dosa dan kejahatan manusia (bdk. Roma 5:12-14). Kematian menjadi fakta alamiah yang harus semua kita alami. Dalam kematian seolah-olah seluruh masa depan berakhir dan hidup tak punya makna lagi. Kemungkinan sesudahnya tidak ada lagi.
Akan tetapi dalam Kristus dan dalam iman pada-Nya, kematian bukanlah fakta akhir yang menghabiskan segala kemungkinan dan makna; melainkan sebuah lompatan pada hidup baru berkat kebangkitan Yesus sendiri.
Kematian memang perlu sebagai tanda akhir dari perjalanan manusia. Dengan adanya akhir, kita bisa melihat hidup kita lengkap. Dan seperti yang pernah saya kemukakan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, kematian membuat hidup kita seolah-olah ada deadline nya, yang selanjutnya menuntut kita untuk menghayati hidup sekarang ini dengan bertanggung jawab.
Yesus sendiri menjadi model bagi kita untuk menghadapi kematian. Dia menghadapi kematiannya dengan tenang dan dalam kebebasan. Lebih lagi, meski bisa saja Dia lari (peristiwa Getzemani) atau turun dari salib (saat digoda prajurit), tapi Dia memilih taat dan dalam sakitnya maut Dia memilih mencintai dan mempercayakan diri pada Allah Bapa-Nya.
Dengan kematiannya pula, kematian dan maut itu sendiri dikalahkan dan dilampaui, justru karena pilihannya untuk terus mencintai (bdk. 1 Kor 15:25-26). Dia mengajarkan kita bagaimana merampungkan hidup kita sampai pada deadline nya, yakni dengan cinta dan penyerahan diri.
Dengan kematiannya, Yesus bisa mewujudkan apa yang Dia janjikan pada kita – Roh Kudus (“ Aku akan memberikan kalian, penolong yang lain, bdk. Yohanes 14:15-31). “Ke dalam tanganMu kuserahkan Roh ku”(Lukas 23:46) adalah pernyataan terakhir Yesus di salib yang sekaligus pernyataan penganugerahan hidup kekal bagi kita semua. Maka di sini saya mau katakana bahwa hidup kita dan seluruh masa depannya adalah total anugerah cinta Allah sendiri. Karena itu, layaklah jika kita menamakan diri kita masing-masing anugerah, grace, gratias, gradus, dst..
Kita mengimani masa depan kita sebagai persekutuan kekal dengan Allah dan kita mengalami anugerah kebangkitan badan (Rm. 2:7; g:23). Dengan babtis, kita mati dan bangkit bersama Kristus (Rm.6:4).
Pemulihan kehidupan ditandai dengan penghakiman. Allah mengadili kita dengan adil seturut perbuatan kita. Gambaran tentang penghakiman terakhir bukanlah gambaran yang menakutkan tentang teror dan eksekusi tapi justru gambaran tentang harapan. Dengan indah Paus Benediktus XVI dalam ensiklik spe salvi menegaskan bahwa gambaran tentang harapan (an image of hope) adalah gambaran yang mengundang tanggung jawab, gambaran tentang ketakutan yang – dalam bahasa St. Hilarius – mendapat tempatnya dalam cinta. Allah itu maha adil dan dialah yang menciptakan keadilan. Dalam keadilan itu ada rahmat. Hubungan keadilan dan rahmat/grace mesti dipahami dengan tepat. Rahmat tidak menggantikan keadilan; tidak membenarkan yang salah atau membuat yang benar jadi salah (bdk. Spe salvi, p.20-21). Allah mencintai tidak dengan mata buta, tapi dengan keadilan.
Dengan kematian, pilihan hidup kita menjadi pasti atau definitif termasuk segala konsekuensinya. Mereka yang sampai akhir berkomitmen memilih kejahatan akan menjauh dari pemulihan dan rahmat Allah; kerusakan dan kehancuran yang mereka timbulkan bagi diri mereka sendiri tidak dipulihkan. Inilah yang paling pas kita sebut sebagai neraka.
Dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin, Yesus mengingatkan kita akan gambaran tentang jiwa yang dirusak oleh kesombongan dan ketamakan. Paus Benediktus mengatakan bahwa perumpamaan ini tidak mengacu pada nasib akhir manusia setelah penghakiman terakhir, tapi lebih merepresentasikan gambaran tentang penyucian (bdk. Spe salvi, p.21). Tentang api penyucian akan saya ulas dalam tulisan selanjutnya (Bara Api Cinta).
Akhirnya, pertanyaan tentang apakah kita mesti percaya pada reinkarnasi, dengan sendirinya terjawab. Bagi iman kita orang Katolik, tidak ada keyakinan macam itu. Kita percaya pada rahmat dan sekaligus bertanggung jawab setiap saat atas pilihan hidup kita. Kita tidak menjadi makhluk lain, jadi ini atau itu. Tidak. Kita tetap menjadi diri kita dalam arti yang paling penuh dan sempurna justru karena kasih Allah. Saya akan tetap menjadi Ronald dan anda tetap menjadi diri anda sepenuh-penuhnya karena Dia.
Berulang kali saya menegaskan bahwa Allah sungguh mencintai kita sampai ia membiarkan kita bebas untuk menolak atau mencintai Dia. Dan kita bertanggung jawab atas setiap pilihan itu. Mari merayakan terus kebenaran ini, bahwa nama kita adalah anugerah dan kita mau mewartakannya dengan terus berbagi kasih kepada sesama yang lain. Terima kasih pada Yvonie/vontharia atas pertanyaan-pertanyaannya yang inspiratif. God grants you the best!
Salam,
Ronald,s.x.
Baru-baru ini, vontharia, salah satu rekan kita di multiply ini mengajukan pertanyaan yang cukup serius perihal reinkarnasi. Apakah itu sungguh-sungguh terjadi, percayakah kita akan hal itu? Seperti apakah rupa kita nanti setelah kehidupan pertama? Apakah jadi anjing? Agnes Monica? Madonna, atau barangkali jadi Hitler, ular?, dst..nya.
Pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan soal hal-hal akhir/the last things, tentang after life/keadaan hidup setelah mati, dan mungkin juga soal nasib/destiny kita.
Pandangan reinkarnasi umumnya dianut oleh saudara/i kita yang berkeyakinan Budhis, termasuk mereka-mereka yang mengaku penganut new age religion. Pandangan reinkarnasi tidak lepas dari konsep tentang waktu dan sejarah. Mereka yang percaya pada reinkarnasi melihat waktu bersifat siklis dan sejarah sebagai pengulangan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Maka konsep tentang masa depan/future dan kebaruan/newness tidak terlalu mendapat penekanan. Tulisan ini tidak bermaksud menyangkal pandangan mereka, melainkan berusaha mempertanggungjawabkan bagaimana pandangan iman kita sebagai orang Kristiani, termasuk penghayatan kita tentang waktu dan sejarah.
Pandangan kita tentang waktu dan sejarah sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan orang Yahudi yang melihat waktu berjalan linear, maju dan terarah ke masa depan. Waktu dan sejarah berawal dari satu titik dan berakhir mencapai kepenuhannya pada titik yang lain. Titik berangkat bagi mereka adalah penciptaan dan keterpilihan mereka sebagai umat Allah lalu berakhir pada apa yang mereka sebut sebagai Yerusalem Baru di mana Allah datang menebus dan memulihkan penderitaan Israel.
Sementara kita menambah penekanan lain di dalamnya. Kesempurnaan ciptaan dirusak oleh dosa dan kejahatan kita manusia. Kematian dan maut menjadi hukuman atas manusia karena pilihannya untuk menolak Allah (digambarkan dalam dosa Adam-Hawa). Oleh kejahatan dan dosa itulah manusia menderita dan pada saat yang sama mendambakan penebusan. Bagi kita, dambaan akan penebusan dan pemulihan ciptaan terpenuhi dalam diri Yesus Almasih. Dalam Dialah, Allah turun sendiri ke dalam sejarah manusia untuk ikut menanggung penderitaan kita dan menebusnya lewat kematian Sang Putra di salib. Dengan kebangkitan-Nya kita memperoleh jaminan dan pengharapan baru yakni anugerah kebangkitan dan hidup kekal. Hidup kekal itu adalah hidup dan realitas yang sama sekali baru, persekutuan bersama Allah. Di dalam hidup baru itu, seluruh ciptaan dan sejarah dipulihkan. Pendek kata, penghayatan kita atas sejarah bisa dilukiskan dalam paradigma berikut: penciptaanà dosaà penebusan à pemulihan ciptaan.
Perlu digarisbawahi apa yang saya katakan, hidup kekal adalah realitas yang sama sekali baru dan lain dari hidup yang kita alami. Untuk memahami itu, mari kita kembali kepada soal kematian yang dikatakan sebagai konsekuensi dosa dan kejahatan manusia (bdk. Roma 5:12-14). Kematian menjadi fakta alamiah yang harus semua kita alami. Dalam kematian seolah-olah seluruh masa depan berakhir dan hidup tak punya makna lagi. Kemungkinan sesudahnya tidak ada lagi.
Akan tetapi dalam Kristus dan dalam iman pada-Nya, kematian bukanlah fakta akhir yang menghabiskan segala kemungkinan dan makna; melainkan sebuah lompatan pada hidup baru berkat kebangkitan Yesus sendiri.
Kematian memang perlu sebagai tanda akhir dari perjalanan manusia. Dengan adanya akhir, kita bisa melihat hidup kita lengkap. Dan seperti yang pernah saya kemukakan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, kematian membuat hidup kita seolah-olah ada deadline nya, yang selanjutnya menuntut kita untuk menghayati hidup sekarang ini dengan bertanggung jawab.
Yesus sendiri menjadi model bagi kita untuk menghadapi kematian. Dia menghadapi kematiannya dengan tenang dan dalam kebebasan. Lebih lagi, meski bisa saja Dia lari (peristiwa Getzemani) atau turun dari salib (saat digoda prajurit), tapi Dia memilih taat dan dalam sakitnya maut Dia memilih mencintai dan mempercayakan diri pada Allah Bapa-Nya.
Dengan kematiannya pula, kematian dan maut itu sendiri dikalahkan dan dilampaui, justru karena pilihannya untuk terus mencintai (bdk. 1 Kor 15:25-26). Dia mengajarkan kita bagaimana merampungkan hidup kita sampai pada deadline nya, yakni dengan cinta dan penyerahan diri.
Dengan kematiannya, Yesus bisa mewujudkan apa yang Dia janjikan pada kita – Roh Kudus (“ Aku akan memberikan kalian, penolong yang lain, bdk. Yohanes 14:15-31). “Ke dalam tanganMu kuserahkan Roh ku”(Lukas 23:46) adalah pernyataan terakhir Yesus di salib yang sekaligus pernyataan penganugerahan hidup kekal bagi kita semua. Maka di sini saya mau katakana bahwa hidup kita dan seluruh masa depannya adalah total anugerah cinta Allah sendiri. Karena itu, layaklah jika kita menamakan diri kita masing-masing anugerah, grace, gratias, gradus, dst..
Kita mengimani masa depan kita sebagai persekutuan kekal dengan Allah dan kita mengalami anugerah kebangkitan badan (Rm. 2:7; g:23). Dengan babtis, kita mati dan bangkit bersama Kristus (Rm.6:4).
Pemulihan kehidupan ditandai dengan penghakiman. Allah mengadili kita dengan adil seturut perbuatan kita. Gambaran tentang penghakiman terakhir bukanlah gambaran yang menakutkan tentang teror dan eksekusi tapi justru gambaran tentang harapan. Dengan indah Paus Benediktus XVI dalam ensiklik spe salvi menegaskan bahwa gambaran tentang harapan (an image of hope) adalah gambaran yang mengundang tanggung jawab, gambaran tentang ketakutan yang – dalam bahasa St. Hilarius – mendapat tempatnya dalam cinta. Allah itu maha adil dan dialah yang menciptakan keadilan. Dalam keadilan itu ada rahmat. Hubungan keadilan dan rahmat/grace mesti dipahami dengan tepat. Rahmat tidak menggantikan keadilan; tidak membenarkan yang salah atau membuat yang benar jadi salah (bdk. Spe salvi, p.20-21). Allah mencintai tidak dengan mata buta, tapi dengan keadilan.
Dengan kematian, pilihan hidup kita menjadi pasti atau definitif termasuk segala konsekuensinya. Mereka yang sampai akhir berkomitmen memilih kejahatan akan menjauh dari pemulihan dan rahmat Allah; kerusakan dan kehancuran yang mereka timbulkan bagi diri mereka sendiri tidak dipulihkan. Inilah yang paling pas kita sebut sebagai neraka.
Dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin, Yesus mengingatkan kita akan gambaran tentang jiwa yang dirusak oleh kesombongan dan ketamakan. Paus Benediktus mengatakan bahwa perumpamaan ini tidak mengacu pada nasib akhir manusia setelah penghakiman terakhir, tapi lebih merepresentasikan gambaran tentang penyucian (bdk. Spe salvi, p.21). Tentang api penyucian akan saya ulas dalam tulisan selanjutnya (Bara Api Cinta).
Akhirnya, pertanyaan tentang apakah kita mesti percaya pada reinkarnasi, dengan sendirinya terjawab. Bagi iman kita orang Katolik, tidak ada keyakinan macam itu. Kita percaya pada rahmat dan sekaligus bertanggung jawab setiap saat atas pilihan hidup kita. Kita tidak menjadi makhluk lain, jadi ini atau itu. Tidak. Kita tetap menjadi diri kita dalam arti yang paling penuh dan sempurna justru karena kasih Allah. Saya akan tetap menjadi Ronald dan anda tetap menjadi diri anda sepenuh-penuhnya karena Dia.
Berulang kali saya menegaskan bahwa Allah sungguh mencintai kita sampai ia membiarkan kita bebas untuk menolak atau mencintai Dia. Dan kita bertanggung jawab atas setiap pilihan itu. Mari merayakan terus kebenaran ini, bahwa nama kita adalah anugerah dan kita mau mewartakannya dengan terus berbagi kasih kepada sesama yang lain. Terima kasih pada Yvonie/vontharia atas pertanyaan-pertanyaannya yang inspiratif. God grants you the best!
Salam,
Ronald,s.x.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar