Cemburu…Mamma Mia!
Seorang teman baru-baru ini bertanya perihal fenomena cemburu, realitas yang paling sering kita jumpai dalam pola-pola hubungan yang karenanya wajar tetapi sekaligus memperlihatkan problematiknya.
Cemburu berangkat dari kebutuhan psikologis setiap kita untuk diperhatikan dan diperhitungkan lebih dari yang lain. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, kita kesal, marah. Air muka kita tidak welcome lagi sama yang lain, atau mulai buat distance sama doi kita yang misalnya kemaren kok kelihatan akrab banget sama teman lamanya…Idih…!
Cemburu mungkin sebanding dengan iri…Hanya saja, seperti sudah disepakati bahwa cemburu selalu dalam konteks hubungan cinta spesial antar manusia, sementara iri hati lebih pada hubungan yang biasa atau tidak istimewa, dipicu karena ada kualitas-kualitas tertentu yang kita idealkan tetapi tidak berhasil kita miliki sementara orang lain memiliki…Misale, kita iri sama tetangga yang meski baru tamat kuliah toh tiba-tiba kaya, usahanya maju; atau kita iri melihat istri teman jauh lebih hospitable ketika ngelayani tamu daripada istri sendiri yang pemalu dan kuper. Atau kita iri sama yunior kita yang baru datang toh tiba-tiba langsung ‘mengambil hati’ si Bos
Cemburu tidak lain adalah efek samping dari penghayatan cinta yang belum sempurna. Cinta dihayati sedemikian posesif nya. Biasanya yang kayak gini dilakoni para teenager. Hal yang sama ketika hubungan cinta kita dengan pasangan begitu romantisnya…Cinta romantis selalu cenderung ‘memiliki’, kalau boleh jangan sampai lepas…Ini mah wajar saja, dan semua orang yang normal mengalami ini. Akan tetapi, untuk mencapai hubungan cinta yang penuh, orang harus melampauinya. Seperti yang pernah aku singgung dalam blog ku, hidup berkeluarga mustahil dibangun hanya karena cinta romantis; gak cukup dan gak akan langgeng jika berkomitmen bikin rumah tangga segera sesudah satu atau dua kali ketemuan seperti yang sering dilakoni orang-orang Hollywood yang cukup sering jadian setelah ketemuan di red karpet.
Di balik rasa cemburu, hubungan kita di bawah sadar masih dalam kategori aku dan benda (dalam bahasa seorang bijak bestari bernama Martin Buber). Kita belum sungguh-sungguh tertarik pada seluruh pribadi orang, tapi masih berhenti pada kualitas-kualitas luar yang dimiliki pasangan kita. Maka kita tidak rela kalau wajah tampan sang pacar dikecup lembut si itu – yang belakangan baru ketahuan adalah adiknya, celaka! -; atau kita miris melihat dia dekat-dekatan sama yang lain, semobil lagi…mamma mia!
Cemburu adalah pernyataan tentang rapuhnya cinta kita tapi pada saat yang sama memperlihatkan kebutuhan akan transendensi. Kita mesti melampaui, mentransend hubungan aku-benda menjadi hubungan aku-engkau. Di sinilah kita mencintai pasangan berdasarkan seluruh kekayaan pribadinya termasuk semua kekurangannya. Di dalamnya ada kepercayaan/trust dan ada kebebasan. Seorang suami yang sungguh mencintai istrinya mustahil selalu membuntuti dia ketika yang bersangkutan ke kantor; mencari tahu jangan-jangan dia punya TTM atau sejenisnya…Melainkan karena tahu dan percaya bahwa sang istri sedemikian mencintainya maka ia tidak mengambil tindakan itu. Dia lebih memilih memelihara hubungan baik dengan istrinya daripada main polisi-polisian.
Iri hati, yang dekat dengan cemburu, sering muncul persis ketika kita mulai membanding-bandingkan. Ketika kita mulai membandingkan, kita sebenarnya tidak merayakan keistimewan pribadi kita, menemukan cahaya dan permata yang ada dalam diri kita sendiri. Mungkin juga kita acap kali tergoda dengan keyakinan bahwa menjadi orang hebat selalu ditentukan dengan jumlah kualitas-kualitas yang kita miliki. Sekiranya kualitas-kualitas itu tidak kita punya, kita down, tidak bersemangat atau cenderung melarikan diri dalam imitasi dan identifikasi diri pada orang dan hal yang tidak tepat. Dan kita tidak pernah lagi menjadi diri sendiri. Padahal menjadi hebat dan besar adalah mulai dengan gembira dan bahagia menekuni cara hidup berdasarkan potensi-potensi yang kita punya dan mensyukuri semuanya itu. Jika ada yang kurang toh itu tetap mengundang kita untuk membuka diri bagi kerjasama dan partnership. Semoga anda setiap hari tetap merayakan keistimewaan hidup yang anda punya.
Ronald,s.x.
http://renungan-inspirasi.blogspot.com/
Seorang teman baru-baru ini bertanya perihal fenomena cemburu, realitas yang paling sering kita jumpai dalam pola-pola hubungan yang karenanya wajar tetapi sekaligus memperlihatkan problematiknya.
Cemburu berangkat dari kebutuhan psikologis setiap kita untuk diperhatikan dan diperhitungkan lebih dari yang lain. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, kita kesal, marah. Air muka kita tidak welcome lagi sama yang lain, atau mulai buat distance sama doi kita yang misalnya kemaren kok kelihatan akrab banget sama teman lamanya…Idih…!
Cemburu mungkin sebanding dengan iri…Hanya saja, seperti sudah disepakati bahwa cemburu selalu dalam konteks hubungan cinta spesial antar manusia, sementara iri hati lebih pada hubungan yang biasa atau tidak istimewa, dipicu karena ada kualitas-kualitas tertentu yang kita idealkan tetapi tidak berhasil kita miliki sementara orang lain memiliki…Misale, kita iri sama tetangga yang meski baru tamat kuliah toh tiba-tiba kaya, usahanya maju; atau kita iri melihat istri teman jauh lebih hospitable ketika ngelayani tamu daripada istri sendiri yang pemalu dan kuper. Atau kita iri sama yunior kita yang baru datang toh tiba-tiba langsung ‘mengambil hati’ si Bos
Cemburu tidak lain adalah efek samping dari penghayatan cinta yang belum sempurna. Cinta dihayati sedemikian posesif nya. Biasanya yang kayak gini dilakoni para teenager. Hal yang sama ketika hubungan cinta kita dengan pasangan begitu romantisnya…Cinta romantis selalu cenderung ‘memiliki’, kalau boleh jangan sampai lepas…Ini mah wajar saja, dan semua orang yang normal mengalami ini. Akan tetapi, untuk mencapai hubungan cinta yang penuh, orang harus melampauinya. Seperti yang pernah aku singgung dalam blog ku, hidup berkeluarga mustahil dibangun hanya karena cinta romantis; gak cukup dan gak akan langgeng jika berkomitmen bikin rumah tangga segera sesudah satu atau dua kali ketemuan seperti yang sering dilakoni orang-orang Hollywood yang cukup sering jadian setelah ketemuan di red karpet.
Di balik rasa cemburu, hubungan kita di bawah sadar masih dalam kategori aku dan benda (dalam bahasa seorang bijak bestari bernama Martin Buber). Kita belum sungguh-sungguh tertarik pada seluruh pribadi orang, tapi masih berhenti pada kualitas-kualitas luar yang dimiliki pasangan kita. Maka kita tidak rela kalau wajah tampan sang pacar dikecup lembut si itu – yang belakangan baru ketahuan adalah adiknya, celaka! -; atau kita miris melihat dia dekat-dekatan sama yang lain, semobil lagi…mamma mia!
Cemburu adalah pernyataan tentang rapuhnya cinta kita tapi pada saat yang sama memperlihatkan kebutuhan akan transendensi. Kita mesti melampaui, mentransend hubungan aku-benda menjadi hubungan aku-engkau. Di sinilah kita mencintai pasangan berdasarkan seluruh kekayaan pribadinya termasuk semua kekurangannya. Di dalamnya ada kepercayaan/trust dan ada kebebasan. Seorang suami yang sungguh mencintai istrinya mustahil selalu membuntuti dia ketika yang bersangkutan ke kantor; mencari tahu jangan-jangan dia punya TTM atau sejenisnya…Melainkan karena tahu dan percaya bahwa sang istri sedemikian mencintainya maka ia tidak mengambil tindakan itu. Dia lebih memilih memelihara hubungan baik dengan istrinya daripada main polisi-polisian.
Iri hati, yang dekat dengan cemburu, sering muncul persis ketika kita mulai membanding-bandingkan. Ketika kita mulai membandingkan, kita sebenarnya tidak merayakan keistimewan pribadi kita, menemukan cahaya dan permata yang ada dalam diri kita sendiri. Mungkin juga kita acap kali tergoda dengan keyakinan bahwa menjadi orang hebat selalu ditentukan dengan jumlah kualitas-kualitas yang kita miliki. Sekiranya kualitas-kualitas itu tidak kita punya, kita down, tidak bersemangat atau cenderung melarikan diri dalam imitasi dan identifikasi diri pada orang dan hal yang tidak tepat. Dan kita tidak pernah lagi menjadi diri sendiri. Padahal menjadi hebat dan besar adalah mulai dengan gembira dan bahagia menekuni cara hidup berdasarkan potensi-potensi yang kita punya dan mensyukuri semuanya itu. Jika ada yang kurang toh itu tetap mengundang kita untuk membuka diri bagi kerjasama dan partnership. Semoga anda setiap hari tetap merayakan keistimewaan hidup yang anda punya.
Ronald,s.x.
http://renungan-inspirasi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar