"Mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia"
(1Sam 1: 1-8; Mrk 1:14-20)
"Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, kata-Nya: "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Dan setelah Yesus meneruskan perjalanan-Nya sedikit lagi, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes, saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus segera memanggil mereka dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia." (Mrk 1:14-29), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Hari ini kita mulai memasuki Masa Biasa dalam Kalendarium Liturgi. Dalam Warta Gembira hari ini melalui kisah panggilan para rasul diajak untuk mengenangkan panggilan kita masing-masing. Begitu melihat dan bertemu dengan Yesus "mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia". Pengalaman para rasul ini kiranya dapat kita kenakan pada diri kita, antara lain: (1) bagi suami-isteri, dahulu begitu ketemu laki-laki atau perempuan yang menarik, mempesona dan memikat, maka langsung meninggalkan orangtua untuk membangun hidup berkeluarga, (2) bagi para anggota lembaga hidup bakti, dahulu ketika tergerak untuk menjadi biarawan atau birawati, segera meninggalkan orangtua dan masuk biara, dst.. Setelah meninggalkan orangtua kita hendak 'mengikuti Dia', Yang Terkasih, entah Yesus atau pasangan hidup, dan dengan demikian dipanggil untuk hidup dan bertindak dengan cara Dia, cara baru, dan untuk itu harus berani meninggalkan 'cara orangtua', hidup mandiri bersama pasangan atau rekan-rekan sekomunitas biara. Meninggalkan orangtua berarti terjadi perubahan atau pembaharuan budaya: cara melihat, cara merasa, cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak sesuai dengan tuntutan hidup terpanggil, entah sebagai suami-isteri, imam, bruder atau suster. Dengan kata lain kita dipanggil untuk menghayati kharisma atau spiritualitas hidup terpanggil kita masing-masing, bukan hidup seenaknya sendiri, mengikuti selera pribadi maupun orangtua. Dalam cara hidup dan cara bertindak kita diharapkan kita juga dapat berperan sebagai 'penjala manusia', artinya lebih mengutamakan keselamatan jiwa manusia.
· "Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?"(1Sam 1:8), demikian kata Elkana kepada Hana, isterinya yang pertama, yang sedih dan menangis ketika diejek Perina, isteri kedua dari Elkana. Memang pada umumnya seorang isteri akan merasa sedih dan hina ketika tidak dapat mengandung dan melahirkan anak, apalagi karena itu lalu diejek dan dicemooh. Kata-kata Elkana kepada Hana "Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki' kiranya menjadi penghiburan bagi Hana dan juga dapat menjadi bahan permenungan atau refleksi bagi suami atau isteri, entah dianugerahi anak atau tidak. Yang utama dan pertama-tama harus diperdalam, diperkuat dan dihayati adalah kasih antar suami-isteri, yang telah berjanji untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati. Anak adalah anugerah Allah, maka sang isteri dapat mengandung dan melahirkan seorang anak juga merupakan anugerah Allah. Kitab Hukum Kanonik (KHK) mengajarkan bahwa "dengan perjanjian perkawian pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami isteri serta kelahiran dan pendidikan anak" (KHK kan 1055). Memang ada dua sifat kodrati kebersamaan hidup suami-isteri: kesejahteraan dan anugerah anak. Hemat saya yang utama dan pertama adalah kesejahteraan; dianugerahi anak, apalagi dalam jumlah banyak, tanpa kesejaheraan hidup pasti akan lebih sengsara dan menderita. Hidup sejahtera dapat terjadi dalam hidup saling mengasihi satu sama lain. Sekali lagi kami tegaskan dan ingatkan di sini, baik bagi suami atau isteri, hendaknya suami lebih mengasihi isterinya daripada anak-anaknya, isteri lebih mengasihi suami daripada anak-anaknya dan kemudian suami-isteri bersama-sama mengasihi anak-anaknya.
"Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama TUHAN, akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya. Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya. Ya TUHAN, aku hamba-Mu! Aku hamba-Mu, anak dari hamba-Mu perempuan! Engkau telah membuka ikatan-ikatanku! Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN"
(Mzm 116:12-17)
Jakarta, 11 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar