OBESITAS MODERN DAN TUBUH EKARISTI
Dengan dua tongkat besi yang setia menenmaninya, Mina, demikian perempuan tua yang lumpuh sejak masa kecil setelah kecelakaan mobil, setia menyusuri jalan sepi menuju Katedral, sebelah rumah saya. Dan setiap pukul enam, dia sudah duduk di dapur, menyalakan api dan menyiapkan air panas sebelum saya dan ibu bangun. Demikianlah caranya mampir di tempat kami. Tiga belas tahun sesudahnya, ketika saya kembali, ia tak lagi melihat, duduk menghabisi hari di kamar dengan wangi yang sudah akrab di hidung saya, wangi seorang tua, seorang perawaan dengan rosario di tangan...
Waktu saya menyanyikan doa yang ditulis Thomas Aquinas pada abad 13, lauda sion, wajah perempuan ini hadir dalam ingatan. Thomas Aquinas menulis doa ekaristi ini dengan indah : o roti para malaikat, santapan peziarah. Dan betapa Mina itu adalah roti malaikat bagi kami. Meski cacat, kehadirannya di tengah keluarga kami pun walaupun hanya pagi hari, telah membawa sesuatu yang lain dan unik, justru setelah papa saya mati terlalu dini. Mengingat Mina dan mendoakan baris-baris pertama Kidung Sion, membantu saya memahami pesta tubuh dan darah Kristus hari ini.
Mina melewati hari-harinya dengan melakukan keajaiban sederhana, dengan mempersembahkan tubuh yang cacat –yang bagi kebanyakan kita selalu seperti tidak lagi banyak gunanya- bagi yang lain. Kehadirannya paling kurang saya rasakan meneguhkan saya, ibu dan saudari/a saya bahwa kami tidak sendiri. Pekerjaan kecilnya, membantu ibu saya, sebisanya memasak dan duduk menemani kami ngobrol, adalah hal kecil yang sedemikian berharganya sehingga tetap tertinggal di hati saya. Itulah hosti kecil, yang dibagi-bagikannya bagi kami. Saya percaya Tuhan telah memberi kami rotinya, tidak saja melalui ekaristi, tapi juga lewat tubuh-tubuh setiap orang yang telah menerimanya...Ia mengirim setiap kita justru untuk menjadi makanan bagi manusia yang lain seperti yang dibilang Thomas Aquinas, le pain pour l’homme en route, makanan bagi manusia yang sedang berziarah, yang tentu tidak selalu menemukan oase kegembiraan, tapi juga kehilangan, kesedihan, kemiskinan, kematian, kesepian, kehilangan kepercayaan sebagai orang yang dicintai, dalam perang, dalam pengasingan dan dalam pengungsian…
Lewat Ekaristi, Yesus memberi arti yang paling otentik bagi tubuh kita pula, bahwa tubuh itu bernilai karena terarah pada yang lain, sebagai pemberian cinta tanpa syarat. Modernitas, juga apa yang disebut postmodernitas meski membantu kita mengafirmasi (bukan menemukan ) arti mendalam diri sebagai subjek yang bebas, toh meninggalkan resiko yang tak kurang berbahayanya. Apa yang dalam bahasa saya sendiri, obesitas modern, ditandai bukan hanya perkembangan tubuh fisik yang tak seimbang, tapi juga perkembangan cara pandang yang tidak seimbang tentang tubuh. Berakar pada konsumerisme, obesitas modern membuat kita tidak lagi memikirkan arti sosial dari tubuh (atau yang dibilang Foucald, Tubuh Sosial). Misalnya, kosumerisme entah terhadap manifestasi elektronik –teknologi seperti televisi, internet, dan lainnya, menghabiskan waktu kita, membuat jam tidur dan istirahat kita tak lagi teratur dan pada gilirannya mengurangi efektivitas kerja. Dalam tingkat yang lebih mendalam, relasi terhadap yang lain berubah, termasuk pengertian tentang kedalam arti seksualitas. Generasi muda kita, yang sering tidak diperlengkapi dengan baik, disergap tayangan-tayangan yang mengubah cara pikir mereka tentang tubuh, relasi dengan orang lain dan bahkan seksualitas mereka.
Obesitas modern menggoda kita untuk berpikir seolah-olah waktu tak lagi punya batas. Paradoksnya, tubuh kita mengatakan yang sebaliknya. Ia merasakan keterbatasan itu dengan bahasanya sendiri : lelah, capai, kehilangan energi, dan seterusnya hingga akhirnya beberapa dari kita harus mati tapi dengan penyesalan mendalam meninggalkan raga yang tidak dirawatnya dengan baik, termasuk juga untuk orang lain.
« Inilah Tubuhku (yang dikurbankan bagimu) », kata-kata konsekrasi Yesus ini serasa bergema kuat hari ini dalam hati, sebuah penegasan tentang diri yang amat mendalam. Di satu pihak kata-kata itu meminta kita menghargai tubuh kita, mencintainya dengan tepat, merawatnya dengan bijaksana. Di lain pihak, ia menegaskan kepenuhan arti tubuh itu yakni sebagai persembahan bagi yang lain. Inilah sama dengan menghunjukkan, memperlihatkan, mempersembahkan dan semua itu terwujud ketika hadir di tengah mereka yang paling membutuhkan…Ekaristi, itulah sejati kita para peziarah, di tengah banyak jajaan obesitas modern di sekeliling kita.
Salam,
Ronald, sx
Yaoundé.
Dengan dua tongkat besi yang setia menenmaninya, Mina, demikian perempuan tua yang lumpuh sejak masa kecil setelah kecelakaan mobil, setia menyusuri jalan sepi menuju Katedral, sebelah rumah saya. Dan setiap pukul enam, dia sudah duduk di dapur, menyalakan api dan menyiapkan air panas sebelum saya dan ibu bangun. Demikianlah caranya mampir di tempat kami. Tiga belas tahun sesudahnya, ketika saya kembali, ia tak lagi melihat, duduk menghabisi hari di kamar dengan wangi yang sudah akrab di hidung saya, wangi seorang tua, seorang perawaan dengan rosario di tangan...
Waktu saya menyanyikan doa yang ditulis Thomas Aquinas pada abad 13, lauda sion, wajah perempuan ini hadir dalam ingatan. Thomas Aquinas menulis doa ekaristi ini dengan indah : o roti para malaikat, santapan peziarah. Dan betapa Mina itu adalah roti malaikat bagi kami. Meski cacat, kehadirannya di tengah keluarga kami pun walaupun hanya pagi hari, telah membawa sesuatu yang lain dan unik, justru setelah papa saya mati terlalu dini. Mengingat Mina dan mendoakan baris-baris pertama Kidung Sion, membantu saya memahami pesta tubuh dan darah Kristus hari ini.
Mina melewati hari-harinya dengan melakukan keajaiban sederhana, dengan mempersembahkan tubuh yang cacat –yang bagi kebanyakan kita selalu seperti tidak lagi banyak gunanya- bagi yang lain. Kehadirannya paling kurang saya rasakan meneguhkan saya, ibu dan saudari/a saya bahwa kami tidak sendiri. Pekerjaan kecilnya, membantu ibu saya, sebisanya memasak dan duduk menemani kami ngobrol, adalah hal kecil yang sedemikian berharganya sehingga tetap tertinggal di hati saya. Itulah hosti kecil, yang dibagi-bagikannya bagi kami. Saya percaya Tuhan telah memberi kami rotinya, tidak saja melalui ekaristi, tapi juga lewat tubuh-tubuh setiap orang yang telah menerimanya...Ia mengirim setiap kita justru untuk menjadi makanan bagi manusia yang lain seperti yang dibilang Thomas Aquinas, le pain pour l’homme en route, makanan bagi manusia yang sedang berziarah, yang tentu tidak selalu menemukan oase kegembiraan, tapi juga kehilangan, kesedihan, kemiskinan, kematian, kesepian, kehilangan kepercayaan sebagai orang yang dicintai, dalam perang, dalam pengasingan dan dalam pengungsian…
Lewat Ekaristi, Yesus memberi arti yang paling otentik bagi tubuh kita pula, bahwa tubuh itu bernilai karena terarah pada yang lain, sebagai pemberian cinta tanpa syarat. Modernitas, juga apa yang disebut postmodernitas meski membantu kita mengafirmasi (bukan menemukan ) arti mendalam diri sebagai subjek yang bebas, toh meninggalkan resiko yang tak kurang berbahayanya. Apa yang dalam bahasa saya sendiri, obesitas modern, ditandai bukan hanya perkembangan tubuh fisik yang tak seimbang, tapi juga perkembangan cara pandang yang tidak seimbang tentang tubuh. Berakar pada konsumerisme, obesitas modern membuat kita tidak lagi memikirkan arti sosial dari tubuh (atau yang dibilang Foucald, Tubuh Sosial). Misalnya, kosumerisme entah terhadap manifestasi elektronik –teknologi seperti televisi, internet, dan lainnya, menghabiskan waktu kita, membuat jam tidur dan istirahat kita tak lagi teratur dan pada gilirannya mengurangi efektivitas kerja. Dalam tingkat yang lebih mendalam, relasi terhadap yang lain berubah, termasuk pengertian tentang kedalam arti seksualitas. Generasi muda kita, yang sering tidak diperlengkapi dengan baik, disergap tayangan-tayangan yang mengubah cara pikir mereka tentang tubuh, relasi dengan orang lain dan bahkan seksualitas mereka.
Obesitas modern menggoda kita untuk berpikir seolah-olah waktu tak lagi punya batas. Paradoksnya, tubuh kita mengatakan yang sebaliknya. Ia merasakan keterbatasan itu dengan bahasanya sendiri : lelah, capai, kehilangan energi, dan seterusnya hingga akhirnya beberapa dari kita harus mati tapi dengan penyesalan mendalam meninggalkan raga yang tidak dirawatnya dengan baik, termasuk juga untuk orang lain.
« Inilah Tubuhku (yang dikurbankan bagimu) », kata-kata konsekrasi Yesus ini serasa bergema kuat hari ini dalam hati, sebuah penegasan tentang diri yang amat mendalam. Di satu pihak kata-kata itu meminta kita menghargai tubuh kita, mencintainya dengan tepat, merawatnya dengan bijaksana. Di lain pihak, ia menegaskan kepenuhan arti tubuh itu yakni sebagai persembahan bagi yang lain. Inilah sama dengan menghunjukkan, memperlihatkan, mempersembahkan dan semua itu terwujud ketika hadir di tengah mereka yang paling membutuhkan…Ekaristi, itulah sejati kita para peziarah, di tengah banyak jajaan obesitas modern di sekeliling kita.
Salam,
Ronald, sx
Yaoundé.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar