Kalau Ayah Juga Ikut Melahirkan…
Saya kurang tahu apakah anda sepakat kalau suami adalah orang pertama yang paling kuatir dan paling takut pada saat proses persalinan istrinya berlangsung. Mungkin pengalaman saya terlalu partikular untuk menyatakan ini : ketika saya melihat papa saya menunggu kelahiran adik bungsu lebih dari delapan belas tahun lalu. Saya percaya masih banyak lagi pria-pria yang hidup sebagai suami yang setia sekarang ini menunggu kelahiran anak mereka di ruang bersalin, poliklinik dan rumah-rumah sakit di seluruh dunia.
Saya mau memberi perhentian atau jeda secukupnya atas pengalaman banal atau yang mungkin tidak kita perhitungkan istimewa mengingat bahwa peran ibu sebagai tokoh penting kelahiran kehidupan baru tidak tergantikan dan tidak bisa disejajarkan dengan peran ayah. Saya memberi jedah, karena saya menemukan bahwa meskipun peran ayah tidak sama dengan peran ibu, toh tidak berarti tak punya nilai... Pribadi ayah adalah juga bagian penting dari proses terjadinya kita.
Kata melahirkan selalu dan tak dapat ditampik kita terapkan pada ibu, pada perempuan yang melahirkan. Dengan melahirkan, perempuan menjadi atau makin menegaskan peran keibuannya. Di mana tempat pria atau lebih tepat ayah dalam makna yang mau ditunjukkan kata kerja itu ? Rasanya perlu bertanya lagi pada ayah kita, (kalau masih hidup) apa yang dia lakukan ketika ibu kita menghadapi detik-detik persalinan kita. Kecemasan, apakah kita lahir selamat atau tidak, ketakutan akan resiko yang terjadi pada sang istri tercinta yang bersatu dengan kerinduan dan harapan melihat kehidupan baru membuat ayah saya, -dan saya percaya terjadi pada banyak ayah dan suami – tetap berjaga tiap malam sejak ibu memasuki bulan kesembilan perkandungan, saat dia mulai mengeluh sakit hingga akhirnya melahirkan…Sikap berjaga seorang ayah adalah manifestasi kehendaknya agar kita ada dan hidup, sikap berjaganya adalah sebuah penyambutan. Dan dari sana saya mengerti, kita tidak cukup lahir dari rahim ibu, tapi juga lahir dari hati ibu dan ayah kita. Keduanya menghendaki kita ada, itulah yang melahirkan kita.
Saya mengenang ini setelah membaca kisah Yesus Menghardik Angin Ribut. Murid-murid yang menyeberangi danau dengan perahu tiba-tiba disergap angin badai yang membuat laut menggelora dan mengombang-ambingkan perahu mereka. Sementara Yesus masih tertidur di buritan. “Tuhan apakah engkau tak peduli kalau kita binasa?” teriak seorang murid yang ketakutan. Tuhan bangun lalu menghardik laut hingga tenang.
Ayah membantu saya memahami inti kisah ini, yakni Allah yang senantiasa berjaga meski dia nampak seolah tidur dan tak peduli. Seperti ayah yang selalu berjaga menanti kelahiran anaknya atau seperti ibu yang selalu berjaga di hari-hari pertama kelahiran sang bayi, demikian Tuhan mengingat kita dalam hatinya dan melindungi kita. Tidak keliru kalau Yesus mengigatkan bahwa tak satupun rambut di kepalamu yang tak terhitung oleh Bapa di surga. Saya ingat pula dua atau tiga tahun lalu di Carolus saat menunggui seorang konfrater dalam keadaan koma berat. Ada sedikit ngeri dan takut kalau dia mati saat saya yang menunggui. Lebih takut lagi kalau itu terjadi sementara saya tertidur atau berada di luar kamar jaga. Mengingat kembali peristiwa itu, saya mengerti sekarang bahwa Tuhan sejak kita dilahirkan hingga saat kematiaan kita, senantiasa di samping, senantiasa berjaga menemani kita menghabiskan satu perjalanan kehidupan yang indah. Saya percaya, Tuhan jauh lebih setia dan lebih sungguh berjaga di samping konfrater saya sehingga akhirnya dia sembuh.
Tuhan yang tidur adalah Tuhan yang lupa…Tapi eeiitt, sabar dulu, dia bukannya lupa atau tidak peduli kalau kita, seperti para murid, akan binasa. Hanya satu yang ia lupakan yakni bahwa kita selalu bisa lupa percaya padanya. Dia sedemikian mencintai kita sehingga dia lupa yang satu ini dan selalu bisa tak terbatas memaafkan ketidakpercayaan kita…
Salam
Saya kurang tahu apakah anda sepakat kalau suami adalah orang pertama yang paling kuatir dan paling takut pada saat proses persalinan istrinya berlangsung. Mungkin pengalaman saya terlalu partikular untuk menyatakan ini : ketika saya melihat papa saya menunggu kelahiran adik bungsu lebih dari delapan belas tahun lalu. Saya percaya masih banyak lagi pria-pria yang hidup sebagai suami yang setia sekarang ini menunggu kelahiran anak mereka di ruang bersalin, poliklinik dan rumah-rumah sakit di seluruh dunia.
Saya mau memberi perhentian atau jeda secukupnya atas pengalaman banal atau yang mungkin tidak kita perhitungkan istimewa mengingat bahwa peran ibu sebagai tokoh penting kelahiran kehidupan baru tidak tergantikan dan tidak bisa disejajarkan dengan peran ayah. Saya memberi jedah, karena saya menemukan bahwa meskipun peran ayah tidak sama dengan peran ibu, toh tidak berarti tak punya nilai... Pribadi ayah adalah juga bagian penting dari proses terjadinya kita.
Kata melahirkan selalu dan tak dapat ditampik kita terapkan pada ibu, pada perempuan yang melahirkan. Dengan melahirkan, perempuan menjadi atau makin menegaskan peran keibuannya. Di mana tempat pria atau lebih tepat ayah dalam makna yang mau ditunjukkan kata kerja itu ? Rasanya perlu bertanya lagi pada ayah kita, (kalau masih hidup) apa yang dia lakukan ketika ibu kita menghadapi detik-detik persalinan kita. Kecemasan, apakah kita lahir selamat atau tidak, ketakutan akan resiko yang terjadi pada sang istri tercinta yang bersatu dengan kerinduan dan harapan melihat kehidupan baru membuat ayah saya, -dan saya percaya terjadi pada banyak ayah dan suami – tetap berjaga tiap malam sejak ibu memasuki bulan kesembilan perkandungan, saat dia mulai mengeluh sakit hingga akhirnya melahirkan…Sikap berjaga seorang ayah adalah manifestasi kehendaknya agar kita ada dan hidup, sikap berjaganya adalah sebuah penyambutan. Dan dari sana saya mengerti, kita tidak cukup lahir dari rahim ibu, tapi juga lahir dari hati ibu dan ayah kita. Keduanya menghendaki kita ada, itulah yang melahirkan kita.
Saya mengenang ini setelah membaca kisah Yesus Menghardik Angin Ribut. Murid-murid yang menyeberangi danau dengan perahu tiba-tiba disergap angin badai yang membuat laut menggelora dan mengombang-ambingkan perahu mereka. Sementara Yesus masih tertidur di buritan. “Tuhan apakah engkau tak peduli kalau kita binasa?” teriak seorang murid yang ketakutan. Tuhan bangun lalu menghardik laut hingga tenang.
Ayah membantu saya memahami inti kisah ini, yakni Allah yang senantiasa berjaga meski dia nampak seolah tidur dan tak peduli. Seperti ayah yang selalu berjaga menanti kelahiran anaknya atau seperti ibu yang selalu berjaga di hari-hari pertama kelahiran sang bayi, demikian Tuhan mengingat kita dalam hatinya dan melindungi kita. Tidak keliru kalau Yesus mengigatkan bahwa tak satupun rambut di kepalamu yang tak terhitung oleh Bapa di surga. Saya ingat pula dua atau tiga tahun lalu di Carolus saat menunggui seorang konfrater dalam keadaan koma berat. Ada sedikit ngeri dan takut kalau dia mati saat saya yang menunggui. Lebih takut lagi kalau itu terjadi sementara saya tertidur atau berada di luar kamar jaga. Mengingat kembali peristiwa itu, saya mengerti sekarang bahwa Tuhan sejak kita dilahirkan hingga saat kematiaan kita, senantiasa di samping, senantiasa berjaga menemani kita menghabiskan satu perjalanan kehidupan yang indah. Saya percaya, Tuhan jauh lebih setia dan lebih sungguh berjaga di samping konfrater saya sehingga akhirnya dia sembuh.
Tuhan yang tidur adalah Tuhan yang lupa…Tapi eeiitt, sabar dulu, dia bukannya lupa atau tidak peduli kalau kita, seperti para murid, akan binasa. Hanya satu yang ia lupakan yakni bahwa kita selalu bisa lupa percaya padanya. Dia sedemikian mencintai kita sehingga dia lupa yang satu ini dan selalu bisa tak terbatas memaafkan ketidakpercayaan kita…
Salam
Ronald,Sx
Yaoundé-Cameroun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar