Masih Beralasankah Percaya pada Tuhan ?
Hercules yang jatuh di Madiun beberapa waktu lalu dan musibah jatuhnya pesawat Air Bus 445 Air France menambah begitu banyak peristiwa yang bisa kita bilang seperti bagian hitam, bagian kabur dari dunia kehidupan kita sehari-hari. Meski dengan matematika hingga pencapaian sains modern kita mampu menjadikan pesawat sebagai alat transportasi yang paling meyakinkan dengan tingkat resiko yang paling rendah, toh tetap ada titik kabur yang tak terduga, tak terpikirkan. Lalu kita bersedih, menangis dan takut yang ujungnya sampai pada pertanyaan traumatis serupa ini : kenapa Tuhan menghendaki penderitaan orang-orang baik. Dan kenapa harus melalui peristiwa-peristiwa naas seperti itu ? Harus dengan cara seperti manakah kita mati ? Dan memang kita tidak selalu pasti mampu memilihnya sendiri.
Yah…kalau memang Tuhan menghendaki penderitaan bahkan kematian orang tak berdosa, bukankah tak ada gunanya jadi orang baik ? Atau masih beralasankah percaya pada Tuhan yang tidak mampu mencegah penderitaan kita ? Tobit, tokoh kitab suci sepanjang minggu ini, menemani kita masuk dalam peliknya persoalan ini. Ia, seorang yang setia dan taat pada Tuhan, diberkati. Namun tiba-tiba suatu hari, tahi burung layang-layang jatuh tepat pada kedua matanya lalu membutakan orang suci ini. Di tempat lain, pada kisah yang sama, seorang perempuan bernama Sara tertimpa nasib tragis, tujuh pria yang dinikahinya selalu saja mati sebelum bersetubuh. Hari-hari hidupnya bagaikan perkabungan. “sesungguhnya tak ada satupun anak yang akan lahir dari rahimmu, hai perempuan pencabut nyawa suami-suamimu”, demikian hinaan pelayannya. Mengutip Melly Goeslaw dalam Suara Hati Seorang Kekasih, ‘seribu musim pun tak akan menghibur hati’ Sara…
Kisah Tobit akhirnya tidak membenarkan sedikitpun keyakinan bahwa Tuhan menghendaki penderitaan dan kematian manusia. Pun, Dia tidak pernah campur tangan dalam peristiwa-peristiwa alam dalam arti menggangu otonomi alam –yang berjalan dengan hukumnya sendiri – untuk mencelakai kita. Samahalnya juga dia tidak bertanggung jawab di balik kesalahan atau kejahatan manusi (human errors) yang menyebabkan kematian orang tak berdosa. Yang benar dan pasti adalah Dia melalui peristiwa semacam itu dan bahkan peristiwa yang amat sepele, terus ‘mengeksplorasi’ atau mengeluarkan sesuatu yang baik bagi pertumbuhan dan kematangan kita sebagai manusia, bagaikan seorang yang mengeluarkan emas dan permata dari tanah-tanah yang hitam dan kotor. Tobit adalah model yang ideal bagi kita, untuk lebih realis dan arif menghadapi penderitaan kita : « oleh penderitaanku, yang mungkin juga akibat dari kesalahanku, buatlah aku makin sempurna ». Tobit mengingatkan kita juga kalau, kecerobohan dan kesalahan kita bisa selalu menggangu keseimbangan ‘ekosistem kehidupan’.
Sara pun demikian, « dia memperpanjang doanya » untuk menyerahkan titik kabur, penderitaan yang tidak dia mengerti sebabnya pada Tuhan. Doa akhirnya bagaikan sebuah server, yang akhirnya menghubungkan Tuhan, kita dan sesama. Jawaban atas doa Tobit akhirnya menjadi jawaban doa Sara. Doa dan rintihan Sara akhirnya juga menjadi jawaban bagi doa Tobit. Sarah menikah dengan putra Tobit dan Tobit menjadi sembuh. Doa yang benar akhirnya memulihkan juga ‘ekosistem kehidupan’ yang seringkali tergangu oleh kecerobohan dan kejahatan kita. Di manakah tempat doa dalam hidup kita sehari-hari, pernahkah kita berdoa bagi orang lain yang menderita ?
Kisah Tobit menjadi pengantar yang baik untuk memaknai pesta Tritunggal Mahakudus hari ini. Mari kita tinggalkan sebentar kerumitan filosofis-teologis tentang Trinitas, dan melangkah pada kebersahajaan pokok iman kita ini. Trinitas tidak bicara melulu soal pribadi Allah dengan segala misterinya, tetapi terutama bicara tentang hubungan/relasi antara Dia dan kita manusia. Dan hubungan ini dirumuskan dengan baik oleh Yesus pada ayat terakhir Injil Matius yang kita dengan dalam ekaristi minggu ini :’Dan Aku menyertai kalian hingga akhir zaman’ (Mat.28 :20). Allah Tritunggal adalah Allah yang bersekutu, yang hadir dan menyertai kita. Kata ‘Abba’ adalah penemuan Yesus yang paling original, yang mudah dan akrab di mulut dan di hati. Padalah dalam tradisi Yahudi, Allah sedemikian sucinya sehingga namanya hanya ‘tertulis’ dan tidak boleh disebut. Dan salib adalah bukti bahwa Tuhan itu ikut menderita dan akhirnya mau mati untuk kita. Roh Kudus yang tak lain cinta-Nya pada Bapa, itulah yang memulihkan dan mendewasakan kita. Tak pernah sedikitpun, Tuhan meninggalkan kita. Dia selalu di dekat kita, rasakanlah kehadirannya dengan iman di hati. Semoga anda terus teguh berdoa, dan juga tak pernah kapok hadir dan menguatkan yang sakit dan berduka…dan akhirnya Trinitas adalah juga tentang anda dan yang lain.
Ronald,sx
Hercules yang jatuh di Madiun beberapa waktu lalu dan musibah jatuhnya pesawat Air Bus 445 Air France menambah begitu banyak peristiwa yang bisa kita bilang seperti bagian hitam, bagian kabur dari dunia kehidupan kita sehari-hari. Meski dengan matematika hingga pencapaian sains modern kita mampu menjadikan pesawat sebagai alat transportasi yang paling meyakinkan dengan tingkat resiko yang paling rendah, toh tetap ada titik kabur yang tak terduga, tak terpikirkan. Lalu kita bersedih, menangis dan takut yang ujungnya sampai pada pertanyaan traumatis serupa ini : kenapa Tuhan menghendaki penderitaan orang-orang baik. Dan kenapa harus melalui peristiwa-peristiwa naas seperti itu ? Harus dengan cara seperti manakah kita mati ? Dan memang kita tidak selalu pasti mampu memilihnya sendiri.
Yah…kalau memang Tuhan menghendaki penderitaan bahkan kematian orang tak berdosa, bukankah tak ada gunanya jadi orang baik ? Atau masih beralasankah percaya pada Tuhan yang tidak mampu mencegah penderitaan kita ? Tobit, tokoh kitab suci sepanjang minggu ini, menemani kita masuk dalam peliknya persoalan ini. Ia, seorang yang setia dan taat pada Tuhan, diberkati. Namun tiba-tiba suatu hari, tahi burung layang-layang jatuh tepat pada kedua matanya lalu membutakan orang suci ini. Di tempat lain, pada kisah yang sama, seorang perempuan bernama Sara tertimpa nasib tragis, tujuh pria yang dinikahinya selalu saja mati sebelum bersetubuh. Hari-hari hidupnya bagaikan perkabungan. “sesungguhnya tak ada satupun anak yang akan lahir dari rahimmu, hai perempuan pencabut nyawa suami-suamimu”, demikian hinaan pelayannya. Mengutip Melly Goeslaw dalam Suara Hati Seorang Kekasih, ‘seribu musim pun tak akan menghibur hati’ Sara…
Kisah Tobit akhirnya tidak membenarkan sedikitpun keyakinan bahwa Tuhan menghendaki penderitaan dan kematian manusia. Pun, Dia tidak pernah campur tangan dalam peristiwa-peristiwa alam dalam arti menggangu otonomi alam –yang berjalan dengan hukumnya sendiri – untuk mencelakai kita. Samahalnya juga dia tidak bertanggung jawab di balik kesalahan atau kejahatan manusi (human errors) yang menyebabkan kematian orang tak berdosa. Yang benar dan pasti adalah Dia melalui peristiwa semacam itu dan bahkan peristiwa yang amat sepele, terus ‘mengeksplorasi’ atau mengeluarkan sesuatu yang baik bagi pertumbuhan dan kematangan kita sebagai manusia, bagaikan seorang yang mengeluarkan emas dan permata dari tanah-tanah yang hitam dan kotor. Tobit adalah model yang ideal bagi kita, untuk lebih realis dan arif menghadapi penderitaan kita : « oleh penderitaanku, yang mungkin juga akibat dari kesalahanku, buatlah aku makin sempurna ». Tobit mengingatkan kita juga kalau, kecerobohan dan kesalahan kita bisa selalu menggangu keseimbangan ‘ekosistem kehidupan’.
Sara pun demikian, « dia memperpanjang doanya » untuk menyerahkan titik kabur, penderitaan yang tidak dia mengerti sebabnya pada Tuhan. Doa akhirnya bagaikan sebuah server, yang akhirnya menghubungkan Tuhan, kita dan sesama. Jawaban atas doa Tobit akhirnya menjadi jawaban doa Sara. Doa dan rintihan Sara akhirnya juga menjadi jawaban bagi doa Tobit. Sarah menikah dengan putra Tobit dan Tobit menjadi sembuh. Doa yang benar akhirnya memulihkan juga ‘ekosistem kehidupan’ yang seringkali tergangu oleh kecerobohan dan kejahatan kita. Di manakah tempat doa dalam hidup kita sehari-hari, pernahkah kita berdoa bagi orang lain yang menderita ?
Kisah Tobit menjadi pengantar yang baik untuk memaknai pesta Tritunggal Mahakudus hari ini. Mari kita tinggalkan sebentar kerumitan filosofis-teologis tentang Trinitas, dan melangkah pada kebersahajaan pokok iman kita ini. Trinitas tidak bicara melulu soal pribadi Allah dengan segala misterinya, tetapi terutama bicara tentang hubungan/relasi antara Dia dan kita manusia. Dan hubungan ini dirumuskan dengan baik oleh Yesus pada ayat terakhir Injil Matius yang kita dengan dalam ekaristi minggu ini :’Dan Aku menyertai kalian hingga akhir zaman’ (Mat.28 :20). Allah Tritunggal adalah Allah yang bersekutu, yang hadir dan menyertai kita. Kata ‘Abba’ adalah penemuan Yesus yang paling original, yang mudah dan akrab di mulut dan di hati. Padalah dalam tradisi Yahudi, Allah sedemikian sucinya sehingga namanya hanya ‘tertulis’ dan tidak boleh disebut. Dan salib adalah bukti bahwa Tuhan itu ikut menderita dan akhirnya mau mati untuk kita. Roh Kudus yang tak lain cinta-Nya pada Bapa, itulah yang memulihkan dan mendewasakan kita. Tak pernah sedikitpun, Tuhan meninggalkan kita. Dia selalu di dekat kita, rasakanlah kehadirannya dengan iman di hati. Semoga anda terus teguh berdoa, dan juga tak pernah kapok hadir dan menguatkan yang sakit dan berduka…dan akhirnya Trinitas adalah juga tentang anda dan yang lain.
Ronald,sx
Cameroun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar