Ular dan Belas Kasih
Di pasar Kamerun, suatu kali saya melihat seorang pedagang obat-obatan tradisional yang menempatkan di tengah botol obat-obatannya badan ular yang sudah dipotong setengah. Bau amis sangat menusuk hidung, tapi tetap saja beberapa orang mendekat dan mau menguji kemanjuran obat yang nampaknya diramu dari tubuh ular itu.
Ular adalah satu dari sekian binatang yang mematikan. Sebagian besar dari kita kalau bukan sedapat mungkin menghindarinya, berusaha membunuhnya jika lewat di halaman rumah kita. Binatang bahkan sudah terlanjur dianggap identik dengan kejahatan, penggoda, penghianat atau yang tidak setia dan pendosa khususnya dalam tradisi agama moneteistik.
Injil yang menemani perjalanan kita di minggu ke-empat masa prapaskah ini meski tidak berbicara tentang ular, menghadirkan pada kita kenyatan tentang ular yang sedikit berbeda. Bahkan Yesus menjadikan ular sebagai gambaran penting untuk menjelaskan misteri belas kasih Allah, yang dikatakan Paulus misericordia. “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikianlah anak manusia harus ditinggikan. (ayat 14)”. Jika anda membaca kisah keluaran/Exodus Israel, anda tentu ingat bagaimana banyak orang Israel yang mati dipatuk ular tedung setelah mereka tidak lagi mau percaya pada Tuhan karena tidak tahan dengan penderitaan dan ketidapastian selama pengembaraan di padang gurun. Tuhan mengirim ular-ular itu karena Israel tidak setia. Ular itu bahkan menjadi kutuk bagi mereka. Akan tetapi, dalam kisah itu, kita menemukan kembali kesetiaan Tuhan yang mendengarkan permohonan ampun Israel yang akhirnya meminta Musa mengambil satu dari beberapa ular tadi untuk dipajang pada tiang. Dengan melihat ular yang mati dipajang pada tiang itu, mereka yang dipatuk menjadi sembuh. Tuhan menunjukkan belas kasihnya, ia mengubah kutuk menjadi berkat. Kiranya lambang organisasi paramedis internasional terinspirasi oleh kisah penyembuhan ini.
Yesus mengatakan pada para pendengarnya bahwa Ia akan ditinggikan seperti ular di padang gurun itu supaya mereka yang percaya pada-Nya memperoleh hidup kekal (ay.16). Dengan mengatakan ini Yesus menyadari dan meramalkan kematian-Nya. Dia tahu resiko dari semua yang telah dilakukannya. Ia akan dianiaya, dan dibunuh sebagai orang paling terkutuk pada masanya. Salib, adalah hukuman bagi para penjahat kelas kakap pada masa penjajahan romawi. Dan bagi orang Israel, mereka yang mati digantung pada salib adalah orang yang terkutuk.
Dalam pemahaman kita pada umumnya, kutuk adalah bentuk hukuman yang tak terampunkan, yang tidak bisa ditarik kembali. Hormat pada orangtua menghindari kita dari kutuk. Siapa yang melawan, bahkan sampai memukul atau membunuh orangtuanya sendiri biasanya akan terkena kutuk, entah berupa penyakit atau ketidakberhasilan dalam usaha. Kutuk memanifestasikan pada dirinya kepercayaan kita bahwa tak mungkin dosa atau kesalahan yang sedemikian besarnya, bisa terampunkan. Atau dengan kata lain, kita tidak cukup toleran dengan pengampunan. Pengampunan itu harus ada batasnya. Itu hukum yang berlaku dalam pergaulan kita.
Injil minggu ini menempatkan di tengah kita misteri salib yang indah dan mengagumkan, yakni misteri belaskasih Allah. Allah mau menunjukkan bahwa Yesus yang dibunuh dan mati pada salib sebagai orang terkutuk, menjadi berkat melimpah bagi manusia. Berkat itu tidak bisa ditarik kembali atau tak terbatalkan. Inilah belas kasih Allah, Ia sedemikian mengasihi manusia sehingga Ia memberikan putra-Nya yang tunggal supaya kita beroleh hidup kekal (bdk. Efesus 2:4). Dengan kematian-Nya di salib, Allah mengubah apa yang dianggap kutuk oleh Israel menjadi berkat bagi melimpah bagi mereka semua yang percaya pada Yesus.
Misteri belas kasih inilah yang mestinya kita renungkan dalam-dalam pada masa prapaskah ini. Misteri yang sama pula yang mestinya menjadi pendorong bagi kita pergi merayakan sakramen pengakuan dosa, dengan kesadaran seperti anak yang hilang (Lukas 15) kembali pulang karena percaya pada belas kasih bapa-Nya. Tak ada kutuk pada salib, tapi kehidupan. Itulah kemenangan Kristiani yang akan kita rayakan pada paskah. Oleh karena Tuhan mencintai kita sampai sehabis-habisnya, kita terdorong oleh kasih-Nya itu mengubah kutuk jadi berkat, mengubah permusuhan dan perang menjadi perdamaian. Itulah ramuan yang pantas kita berikan untuk menyembuhkan sesama. Selamat merenungkan misteri ini...
PS.: Dalam kebudayaan anda, adakah contoh atau bentuk kutuk lainnya?
Ronald, SX
Yaoundé -Cameroun
Di pasar Kamerun, suatu kali saya melihat seorang pedagang obat-obatan tradisional yang menempatkan di tengah botol obat-obatannya badan ular yang sudah dipotong setengah. Bau amis sangat menusuk hidung, tapi tetap saja beberapa orang mendekat dan mau menguji kemanjuran obat yang nampaknya diramu dari tubuh ular itu.
Ular adalah satu dari sekian binatang yang mematikan. Sebagian besar dari kita kalau bukan sedapat mungkin menghindarinya, berusaha membunuhnya jika lewat di halaman rumah kita. Binatang bahkan sudah terlanjur dianggap identik dengan kejahatan, penggoda, penghianat atau yang tidak setia dan pendosa khususnya dalam tradisi agama moneteistik.
Injil yang menemani perjalanan kita di minggu ke-empat masa prapaskah ini meski tidak berbicara tentang ular, menghadirkan pada kita kenyatan tentang ular yang sedikit berbeda. Bahkan Yesus menjadikan ular sebagai gambaran penting untuk menjelaskan misteri belas kasih Allah, yang dikatakan Paulus misericordia. “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikianlah anak manusia harus ditinggikan. (ayat 14)”. Jika anda membaca kisah keluaran/Exodus Israel, anda tentu ingat bagaimana banyak orang Israel yang mati dipatuk ular tedung setelah mereka tidak lagi mau percaya pada Tuhan karena tidak tahan dengan penderitaan dan ketidapastian selama pengembaraan di padang gurun. Tuhan mengirim ular-ular itu karena Israel tidak setia. Ular itu bahkan menjadi kutuk bagi mereka. Akan tetapi, dalam kisah itu, kita menemukan kembali kesetiaan Tuhan yang mendengarkan permohonan ampun Israel yang akhirnya meminta Musa mengambil satu dari beberapa ular tadi untuk dipajang pada tiang. Dengan melihat ular yang mati dipajang pada tiang itu, mereka yang dipatuk menjadi sembuh. Tuhan menunjukkan belas kasihnya, ia mengubah kutuk menjadi berkat. Kiranya lambang organisasi paramedis internasional terinspirasi oleh kisah penyembuhan ini.
Yesus mengatakan pada para pendengarnya bahwa Ia akan ditinggikan seperti ular di padang gurun itu supaya mereka yang percaya pada-Nya memperoleh hidup kekal (ay.16). Dengan mengatakan ini Yesus menyadari dan meramalkan kematian-Nya. Dia tahu resiko dari semua yang telah dilakukannya. Ia akan dianiaya, dan dibunuh sebagai orang paling terkutuk pada masanya. Salib, adalah hukuman bagi para penjahat kelas kakap pada masa penjajahan romawi. Dan bagi orang Israel, mereka yang mati digantung pada salib adalah orang yang terkutuk.
Dalam pemahaman kita pada umumnya, kutuk adalah bentuk hukuman yang tak terampunkan, yang tidak bisa ditarik kembali. Hormat pada orangtua menghindari kita dari kutuk. Siapa yang melawan, bahkan sampai memukul atau membunuh orangtuanya sendiri biasanya akan terkena kutuk, entah berupa penyakit atau ketidakberhasilan dalam usaha. Kutuk memanifestasikan pada dirinya kepercayaan kita bahwa tak mungkin dosa atau kesalahan yang sedemikian besarnya, bisa terampunkan. Atau dengan kata lain, kita tidak cukup toleran dengan pengampunan. Pengampunan itu harus ada batasnya. Itu hukum yang berlaku dalam pergaulan kita.
Injil minggu ini menempatkan di tengah kita misteri salib yang indah dan mengagumkan, yakni misteri belaskasih Allah. Allah mau menunjukkan bahwa Yesus yang dibunuh dan mati pada salib sebagai orang terkutuk, menjadi berkat melimpah bagi manusia. Berkat itu tidak bisa ditarik kembali atau tak terbatalkan. Inilah belas kasih Allah, Ia sedemikian mengasihi manusia sehingga Ia memberikan putra-Nya yang tunggal supaya kita beroleh hidup kekal (bdk. Efesus 2:4). Dengan kematian-Nya di salib, Allah mengubah apa yang dianggap kutuk oleh Israel menjadi berkat bagi melimpah bagi mereka semua yang percaya pada Yesus.
Misteri belas kasih inilah yang mestinya kita renungkan dalam-dalam pada masa prapaskah ini. Misteri yang sama pula yang mestinya menjadi pendorong bagi kita pergi merayakan sakramen pengakuan dosa, dengan kesadaran seperti anak yang hilang (Lukas 15) kembali pulang karena percaya pada belas kasih bapa-Nya. Tak ada kutuk pada salib, tapi kehidupan. Itulah kemenangan Kristiani yang akan kita rayakan pada paskah. Oleh karena Tuhan mencintai kita sampai sehabis-habisnya, kita terdorong oleh kasih-Nya itu mengubah kutuk jadi berkat, mengubah permusuhan dan perang menjadi perdamaian. Itulah ramuan yang pantas kita berikan untuk menyembuhkan sesama. Selamat merenungkan misteri ini...
PS.: Dalam kebudayaan anda, adakah contoh atau bentuk kutuk lainnya?
Ronald, SX
Yaoundé -Cameroun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar