Allah Menyediakan
Dari warteg hingga restoran besar, mudah sekali menemukan kata tersedia. Tersedia menu ini dan itu beserta semua detailnya. Akan tetapi untuk bias mendapatkan yang tersedia kita mesti membelinya. Ini tentu jauh beda dengan situasi masyarakat sebelum adanya alat tukar dan berkembangnya ekonomi yang tanpa bayar mengkonsumsi semua sumber alam yang tersedia.
Memasuki minggu kedua prapaskah ini, Gereja menawarkan pada kita bacaan-bacaan yang menarik. Kisah persembahan Ishak (Kej.22 :1-34) dan peristiwa transfigurasi Yesus di Gunung Tabor tidak sembarang dipilih. Dua kisah ini jika dicermati dengan baik menghadirkan pada kita sebuah hubungan yang saling melengkapi, menjadi sebuah panorama indah.
Abraham diminta naik ke gunung Moria dan mempersembahkan anaknya Ishak. Ini kiranya menandai hubungan yang paling kritis dan menegangkan antara Abraham dan Allah. Dalam kepercayaannya, marilah mencoba menemukan peliknya perasaan Abraham. Jelas ia terkejut, kenapa Tuhan tega-teganya meminta kembali apa yang sudah diberikannya? Bukankah lebih baik ia tidak memberikan Ishak daripada harus memintanya kembali, pun dengan cara yang tidak bisa diterima Abraham? Namun Abraham percaya dan ia pergi bersama dua pelayannya, percaya pada janji berkat dan keturunan yang disampaikan Tuhan. Jadi logis kepercayaan itu disertai harapan bahwa tidak mungkin Allah demikian.
Di tempat lain, Yesus mengajak dua muridnya Petrus dan Yohanes ke gunung (Mrk.9:2-8). Tidak diceritakan untuk apa. Namun bagi saya, naik gunung adalah bahasa biblis yang mau menyatakan tidak saja tempat tetapi juga pengalaman doa, pengalaman intim dengan Tuhan. Kisah transfigurasi yang menjadi semacam lensa untuk memahami kisah persembahan Ishak secara berbeda. Pergulatan iman dan kasak-kusuk hati Abraham dikisahkan secara naratif oleh penulis kitab tanpa menjelaskan kompleksitas itu. Ajakan Yesus untuk naik gunung tak lain untuk berdoa, mengajak kedua murid-Nya masuk dalam keintiman bersama Allah sekaligus merasakan seluruh pergulatan-Nya: kegelisahan, ketakutan atau keraguan dan juga kepercayaan, pengharapan, cintanya pada Bapa.
Pada peristiwa transfigurasi, kita seperti menemukan kembali kisah persembahan Ishak. Yesus seperti mengenakan pengalaman Ishak dan Abaraham. Ishak dalam pengalaman keputraannya bergantung antara percaya dan tidak kenapa sang ayah harus mengikat dan menghunus pisau untuk menyembelihnya? Dan Abraham pun sama, dalam pengalaman kebapaannya ia seolah bergantung antara percaya dan tidak antara pertanyaan mungkinkan Allah sebrutal ini dan kepercayaan akan janji dan berkat-Nya. Namun Abraham percaya sampai akhir, sampai pisaunya dihunus bahwa Yahwe bukan seperti dewa-dewi Mesopotamia yang menginginkan darah dan daging manusia sebagai persembahan.
Jalannya kisah Abraham sungguh menegangkan. Dititik akhir di mana dia mau pertaruhkan semua kepercayaannya melawan semua keraguannya, Tuhan campur tangan dan menyediakan anak domba jantan sebagai ganti persembahan.Hati dan iman Abraham yang murni dibayar Allah dengan kehidupan dan pembebasan bukan saja bagi Isak tapi bagi hatinya sendiri yang nyaris-nyaris hancur.
Tuhan menyediakan kehidupan, bukan kematian. Dan kita lihat lagi dalam kisah transfigurasi ini Yesuslah anak domba yang disediakan Tuhan, anak domba Allah..Tuhan memberikan dan menyediakan miliknya sendiri, anak-Nya yang terkasih. Perubahan rupa Yesus menunjuk pada kemuliaan kebangkitan yang akan Ia terima setelah kematiannya. Transfigurasi menyingkapkan kemuliaan Yesus, justru karena ia menyatakan dalam diri-Nya Allah yang menyediakan diri, Allah yang tersedia untuk mati bagi manusia. Kisah transfigurasi dengan demikian menyempurnakan kisah persembahan Isaac. Seperti yang dikatakan Yohanes, bukan kita yang telah mengasihi Allah, tapi Allah yang telah mengasihi ita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. (Yoh.4:10). Inilah maksud transfigurasi.
Prapaskah adalah kesempatan indah untuk naik gunung, mencari dan menemukan waktu khusus untuk secara pribadi merenungkan ketersediaan hati Tuhan. Kita mesti sampai pada pengalaman keterpesonaan Petrus: “Tuhan betapa bahagianya kami berada di tempat ini”. Betapa bahagianya hidup dengan selalu menyediakan diri bagi yang lain. Kita minta pada Tuhan dalam masa khusus ini kekuatan untuk sanggup tersedia bagi Tuhan dan sesama. Di situlah kita dapat memahami apa artinya pengorbanan.
Pengorbanan serupa tapi tak pernah sama dengan pemberian. Memberi menunjukkan bahwa atau kita masih punya sesuatu yang sama atau paling tidak kita masih punya kesempatan untuk mengganti, membeli lagi atau mengusahakan apa yang telah kita berikan itu. Pengorbanan lain…Mengurbankan berarti kita merelakan juga semua kemungkinan kesempatan untuk bisa mengusahakannya kembali, seperti merelakan semua diri kita terambil habis. Ingat dan bayangkan Abraham dengan segala perasaannya.
Prapaskah adalah waktu yang tepat untuk melatih diri berkurban bersama Yesus yang tersalib. Kita perlu mengurbankan gengsi kita untuk bisa mengampuni orang yang bersalah pada kita. Kita perlu mengurbankan kesenangan-kesenangan pribadi untuk pertumbuhan saudara kita. Kita perlu juga mematikan komputer dan menonaktifkan internet tidak saja untuk berdoa tapi juga menambah lebih banyak waktu untuk bersama papa, mama, adik, dan saudara kita yang butuh cinta dan perhatian. Ketersediaan hati itu mulai dari situ. Selamat naik gunung dan menemukan panorama indah kasih Tuhan.
Salam,
Ronald,sx
Cameroun, 7 Maret 09
Dari warteg hingga restoran besar, mudah sekali menemukan kata tersedia. Tersedia menu ini dan itu beserta semua detailnya. Akan tetapi untuk bias mendapatkan yang tersedia kita mesti membelinya. Ini tentu jauh beda dengan situasi masyarakat sebelum adanya alat tukar dan berkembangnya ekonomi yang tanpa bayar mengkonsumsi semua sumber alam yang tersedia.
Memasuki minggu kedua prapaskah ini, Gereja menawarkan pada kita bacaan-bacaan yang menarik. Kisah persembahan Ishak (Kej.22 :1-34) dan peristiwa transfigurasi Yesus di Gunung Tabor tidak sembarang dipilih. Dua kisah ini jika dicermati dengan baik menghadirkan pada kita sebuah hubungan yang saling melengkapi, menjadi sebuah panorama indah.
Abraham diminta naik ke gunung Moria dan mempersembahkan anaknya Ishak. Ini kiranya menandai hubungan yang paling kritis dan menegangkan antara Abraham dan Allah. Dalam kepercayaannya, marilah mencoba menemukan peliknya perasaan Abraham. Jelas ia terkejut, kenapa Tuhan tega-teganya meminta kembali apa yang sudah diberikannya? Bukankah lebih baik ia tidak memberikan Ishak daripada harus memintanya kembali, pun dengan cara yang tidak bisa diterima Abraham? Namun Abraham percaya dan ia pergi bersama dua pelayannya, percaya pada janji berkat dan keturunan yang disampaikan Tuhan. Jadi logis kepercayaan itu disertai harapan bahwa tidak mungkin Allah demikian.
Di tempat lain, Yesus mengajak dua muridnya Petrus dan Yohanes ke gunung (Mrk.9:2-8). Tidak diceritakan untuk apa. Namun bagi saya, naik gunung adalah bahasa biblis yang mau menyatakan tidak saja tempat tetapi juga pengalaman doa, pengalaman intim dengan Tuhan. Kisah transfigurasi yang menjadi semacam lensa untuk memahami kisah persembahan Ishak secara berbeda. Pergulatan iman dan kasak-kusuk hati Abraham dikisahkan secara naratif oleh penulis kitab tanpa menjelaskan kompleksitas itu. Ajakan Yesus untuk naik gunung tak lain untuk berdoa, mengajak kedua murid-Nya masuk dalam keintiman bersama Allah sekaligus merasakan seluruh pergulatan-Nya: kegelisahan, ketakutan atau keraguan dan juga kepercayaan, pengharapan, cintanya pada Bapa.
Pada peristiwa transfigurasi, kita seperti menemukan kembali kisah persembahan Ishak. Yesus seperti mengenakan pengalaman Ishak dan Abaraham. Ishak dalam pengalaman keputraannya bergantung antara percaya dan tidak kenapa sang ayah harus mengikat dan menghunus pisau untuk menyembelihnya? Dan Abraham pun sama, dalam pengalaman kebapaannya ia seolah bergantung antara percaya dan tidak antara pertanyaan mungkinkan Allah sebrutal ini dan kepercayaan akan janji dan berkat-Nya. Namun Abraham percaya sampai akhir, sampai pisaunya dihunus bahwa Yahwe bukan seperti dewa-dewi Mesopotamia yang menginginkan darah dan daging manusia sebagai persembahan.
Jalannya kisah Abraham sungguh menegangkan. Dititik akhir di mana dia mau pertaruhkan semua kepercayaannya melawan semua keraguannya, Tuhan campur tangan dan menyediakan anak domba jantan sebagai ganti persembahan.Hati dan iman Abraham yang murni dibayar Allah dengan kehidupan dan pembebasan bukan saja bagi Isak tapi bagi hatinya sendiri yang nyaris-nyaris hancur.
Tuhan menyediakan kehidupan, bukan kematian. Dan kita lihat lagi dalam kisah transfigurasi ini Yesuslah anak domba yang disediakan Tuhan, anak domba Allah..Tuhan memberikan dan menyediakan miliknya sendiri, anak-Nya yang terkasih. Perubahan rupa Yesus menunjuk pada kemuliaan kebangkitan yang akan Ia terima setelah kematiannya. Transfigurasi menyingkapkan kemuliaan Yesus, justru karena ia menyatakan dalam diri-Nya Allah yang menyediakan diri, Allah yang tersedia untuk mati bagi manusia. Kisah transfigurasi dengan demikian menyempurnakan kisah persembahan Isaac. Seperti yang dikatakan Yohanes, bukan kita yang telah mengasihi Allah, tapi Allah yang telah mengasihi ita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. (Yoh.4:10). Inilah maksud transfigurasi.
Prapaskah adalah kesempatan indah untuk naik gunung, mencari dan menemukan waktu khusus untuk secara pribadi merenungkan ketersediaan hati Tuhan. Kita mesti sampai pada pengalaman keterpesonaan Petrus: “Tuhan betapa bahagianya kami berada di tempat ini”. Betapa bahagianya hidup dengan selalu menyediakan diri bagi yang lain. Kita minta pada Tuhan dalam masa khusus ini kekuatan untuk sanggup tersedia bagi Tuhan dan sesama. Di situlah kita dapat memahami apa artinya pengorbanan.
Pengorbanan serupa tapi tak pernah sama dengan pemberian. Memberi menunjukkan bahwa atau kita masih punya sesuatu yang sama atau paling tidak kita masih punya kesempatan untuk mengganti, membeli lagi atau mengusahakan apa yang telah kita berikan itu. Pengorbanan lain…Mengurbankan berarti kita merelakan juga semua kemungkinan kesempatan untuk bisa mengusahakannya kembali, seperti merelakan semua diri kita terambil habis. Ingat dan bayangkan Abraham dengan segala perasaannya.
Prapaskah adalah waktu yang tepat untuk melatih diri berkurban bersama Yesus yang tersalib. Kita perlu mengurbankan gengsi kita untuk bisa mengampuni orang yang bersalah pada kita. Kita perlu mengurbankan kesenangan-kesenangan pribadi untuk pertumbuhan saudara kita. Kita perlu juga mematikan komputer dan menonaktifkan internet tidak saja untuk berdoa tapi juga menambah lebih banyak waktu untuk bersama papa, mama, adik, dan saudara kita yang butuh cinta dan perhatian. Ketersediaan hati itu mulai dari situ. Selamat naik gunung dan menemukan panorama indah kasih Tuhan.
Salam,
Ronald,sx
Cameroun, 7 Maret 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar