Survival for The Fittes dan Pengampunan
Hampir tiga hari lamanya seorang perempuan tidak bicara dengan sang suami selepas pertengkaran seru. Tiga hari itu dilewati dengan hati tidak enak dan mulut yang seperti terkunci gembok berat. Pun walaupun bertemu di meja makan, baik dia maupun sang suami memilih menghabiskan makanan daripada bicara. Hari kedua, hal yang sama terjadi. « Pada hari ketiga, hati terasa penuh, tidak bisa tahan lagi, akhirnya salah satu yang mulai memancing untuk saling bicara, persis ketika anak kami bertanya dan merasa ada sesuatu yang aneh di meja makan. Dan tanpa diketahui anak pula, kami menyelesaikan persoalan kami dengan baik, dengan saling memafkan », demikian cerita ibu ini dalam sebuah pertemuan kelompok umat basis di Yaoundé, Kamerun.
Seorang dari antara yang hadir melemparkan pertanyaan untuk kasus yang berbeda. Dia telah menyelesaikan persoalan dengan rekannya, bahkan sudah berdamai tapi kenapa masih selalu saja tersimpan dalam ingatannya bagiamana rekannya memperlakukan dia, mengkasarinya. Pertanyannya, apakah ingatan semacam itu membatalkan ketulusan pengampunan atau rekonsiliasi yang sudah kita buat ? Perempuan yang sebelumnya bercerita tentang konflik keluarganya juga merasakan hal yang sama walau akhirnya lama-lama hilang.
Pengampunan memang tidak pernah merupakan satu tindakan yang selesai dengan sempurna persis ketika kita melakukan atau menyampaikannya pada orang yang kita ampuni, melainkan sesuatu yang berjalan makin lama makin mencapai kesempurnaannya. Pengampunan itu proses yang menderitakan sekaligus memurnikan cinta kita. Sesuatu yang menderitakan karena, kita seperti yang dialami dua orang tadi, menanggung ingatan yang tidak mengenakkan tentang perlakuan atau perkataan buruk terhadap kita. Ingatan semacam itu normal, dan bagi saya itu adalah petunjuk fundamen tentang karakter kita sebagai manusia, survival for the fittest. Dalam sejarah evolusi kita, survival for the fittest terungkap dalam setiap mekanisme pembelaan dan pertahanan diri. Tak satu pun dari kita yang mau salah, melainkan harus menang dan bisa mengatasi yang lain.
Yesus mengajarkan sesuatu yang bagi saya melawan kecenderungan dasar kita ini, berdamai dengan orang yang bersalah pada kita, bukan sebaliknya. « Saat kamu hendak mempersembahkan persembahanmu, kamu teringat akan saudaramu yang mempunyai sesuatu yang melawan kamu, tinggalkanlah persembahanmu dan pergilah berdamai dulu dengannya » (Mat.5 :20-26). Sekali lagi ingatan tentang perlakuan buruk saudara kita tidak membatalkan kehendak murni kita yang sudah kita wujudkan dengan mengampuni sesama kita. Ingatan yang mendatangi kita itu bagaikan ketika kita menyerahkan diri pada musuh, membiarkan diri kita dicabik-cabik. Ingatan itu bagian dari proses yang kita lalui untuk sungguh-sungguh mengampuni orang. Mengampuni itu menderitakan karena kita merelakan kesanggupan dan hasrat untuk bertahan dan melawan.
Anda sebagai suami atau istri tentu mengusahakan agar setiap keputusan penting tentang hidup bersama harus dijalani dan diputuskan bersama, bukan sepihak baik oleh suami – yang pada masa lampau terlalu memiliki otoritas untuk itu- maupun oleh istri. Namun, saya percaya juga cukup sering anda saling mengalah ketika anda berdua sampai pada keadaan atau jalan buntu, buntu karena dua-duanya tidak rela untuk mengalah. Demokrasi dalam keluarga itu penting, tapi sebagai proses dan bukan tujuan. Cinta itulah tujuan, dan karena cinta kita bisa saling mengalah, demi kebaikan yang lain. Anda bisa periksa diri, mana yang dominan dalam penghayatan hidup berkeluarga anda, cinta atau demokrasi.
Mengalah bukan karena kalah melainkan karena cinta, dan merelakan diri untuk selalu berinisiatif lebih dahulu berekonsiliasi itulah yang menjadikan kita sempurna dan matang sebagai pribadi. Perkawinan dan hidup bersama yang dihayati dengan baik seperti ini justru makin menumbuhkan kepribadian seseorang. Mengalah karena cinta itulah kerendahan hati. Kata Humilité, humble atau kerendahan hati itu berasal dari kata latin humus tanah. Dengan mengembangkan sikap ini kita makin jadi tempat yang subur bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang seperti tanah subur di mana di atasnya banyak tumbuhan hidup. Jadilah rendah hati…
Hampir tiga hari lamanya seorang perempuan tidak bicara dengan sang suami selepas pertengkaran seru. Tiga hari itu dilewati dengan hati tidak enak dan mulut yang seperti terkunci gembok berat. Pun walaupun bertemu di meja makan, baik dia maupun sang suami memilih menghabiskan makanan daripada bicara. Hari kedua, hal yang sama terjadi. « Pada hari ketiga, hati terasa penuh, tidak bisa tahan lagi, akhirnya salah satu yang mulai memancing untuk saling bicara, persis ketika anak kami bertanya dan merasa ada sesuatu yang aneh di meja makan. Dan tanpa diketahui anak pula, kami menyelesaikan persoalan kami dengan baik, dengan saling memafkan », demikian cerita ibu ini dalam sebuah pertemuan kelompok umat basis di Yaoundé, Kamerun.
Seorang dari antara yang hadir melemparkan pertanyaan untuk kasus yang berbeda. Dia telah menyelesaikan persoalan dengan rekannya, bahkan sudah berdamai tapi kenapa masih selalu saja tersimpan dalam ingatannya bagiamana rekannya memperlakukan dia, mengkasarinya. Pertanyannya, apakah ingatan semacam itu membatalkan ketulusan pengampunan atau rekonsiliasi yang sudah kita buat ? Perempuan yang sebelumnya bercerita tentang konflik keluarganya juga merasakan hal yang sama walau akhirnya lama-lama hilang.
Pengampunan memang tidak pernah merupakan satu tindakan yang selesai dengan sempurna persis ketika kita melakukan atau menyampaikannya pada orang yang kita ampuni, melainkan sesuatu yang berjalan makin lama makin mencapai kesempurnaannya. Pengampunan itu proses yang menderitakan sekaligus memurnikan cinta kita. Sesuatu yang menderitakan karena, kita seperti yang dialami dua orang tadi, menanggung ingatan yang tidak mengenakkan tentang perlakuan atau perkataan buruk terhadap kita. Ingatan semacam itu normal, dan bagi saya itu adalah petunjuk fundamen tentang karakter kita sebagai manusia, survival for the fittest. Dalam sejarah evolusi kita, survival for the fittest terungkap dalam setiap mekanisme pembelaan dan pertahanan diri. Tak satu pun dari kita yang mau salah, melainkan harus menang dan bisa mengatasi yang lain.
Yesus mengajarkan sesuatu yang bagi saya melawan kecenderungan dasar kita ini, berdamai dengan orang yang bersalah pada kita, bukan sebaliknya. « Saat kamu hendak mempersembahkan persembahanmu, kamu teringat akan saudaramu yang mempunyai sesuatu yang melawan kamu, tinggalkanlah persembahanmu dan pergilah berdamai dulu dengannya » (Mat.5 :20-26). Sekali lagi ingatan tentang perlakuan buruk saudara kita tidak membatalkan kehendak murni kita yang sudah kita wujudkan dengan mengampuni sesama kita. Ingatan yang mendatangi kita itu bagaikan ketika kita menyerahkan diri pada musuh, membiarkan diri kita dicabik-cabik. Ingatan itu bagian dari proses yang kita lalui untuk sungguh-sungguh mengampuni orang. Mengampuni itu menderitakan karena kita merelakan kesanggupan dan hasrat untuk bertahan dan melawan.
Anda sebagai suami atau istri tentu mengusahakan agar setiap keputusan penting tentang hidup bersama harus dijalani dan diputuskan bersama, bukan sepihak baik oleh suami – yang pada masa lampau terlalu memiliki otoritas untuk itu- maupun oleh istri. Namun, saya percaya juga cukup sering anda saling mengalah ketika anda berdua sampai pada keadaan atau jalan buntu, buntu karena dua-duanya tidak rela untuk mengalah. Demokrasi dalam keluarga itu penting, tapi sebagai proses dan bukan tujuan. Cinta itulah tujuan, dan karena cinta kita bisa saling mengalah, demi kebaikan yang lain. Anda bisa periksa diri, mana yang dominan dalam penghayatan hidup berkeluarga anda, cinta atau demokrasi.
Mengalah bukan karena kalah melainkan karena cinta, dan merelakan diri untuk selalu berinisiatif lebih dahulu berekonsiliasi itulah yang menjadikan kita sempurna dan matang sebagai pribadi. Perkawinan dan hidup bersama yang dihayati dengan baik seperti ini justru makin menumbuhkan kepribadian seseorang. Mengalah karena cinta itulah kerendahan hati. Kata Humilité, humble atau kerendahan hati itu berasal dari kata latin humus tanah. Dengan mengembangkan sikap ini kita makin jadi tempat yang subur bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang seperti tanah subur di mana di atasnya banyak tumbuhan hidup. Jadilah rendah hati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar