SEPERTI BURUNG GEREJA MUSIM INI
Kawanan burung Gereja rupanya ikut merayakan musim buah rambutan yang saat ini lagi memerah ranum-ranumnya. Mereka berlari-lari, berkejar-kejaran di atas pohon rambutan lalu terbang tinggi. Burung-burung itu seperti kawanan burung yang setiap pagi bertengger di atas kubah Katedral tua yang setiap hari saya lewati ketika harus ke Santa Maria, sekolah dasar saya dulu 15 tahun lalu. Maka saya menerima begitu saja kalau orang-orang menamakan kawanan burung-burung itu dengan sebutan burung Gereja.
Tingkah burung-burung Gereja ini seolah-olah mau mengatakan bahwa hari itu merekalah makhluk yang paling bahagia, meski pada saat yang sama Penelope Cruz mengaku bahagia karena disebut sebagai artis dengan pakian teranggun di jagad Hollywood atau di tempat lain Raja de Sitorus, konglemerat sawit dari Sumatera Utara mengaku orang yang paling bahagia karena memiliki ribuan hektar lahan sawit. Bahkan meski sekarang sedang menjalani tahanan rumah, dia masih mengendalikan bisnisnya yang bernilai miliaran dollar itu. Dan memang tidak salah kalau orang ramai-ramai memuja-muja dan mengidolakan orang-orang seperti ini.
Sementara di sebuah rumah kecil di sudut kota Yogyakarta, Susana, sahabat saya menjalani masa pensiun dininya dengan bahagia. Kepada saya diceritakan bahwa pilihan itu tidak pernah dia sesali. Jabatan istimewa sebagai purchasing manager di sebuah perusahan terkemuka sebenarnya memberi peluang untuk jabatan yang lebih tinggi lagi. Salary yang tinggi plus jaminan macam-macam sebenarnya sudah cukup membuat dia bahagia, bahkan berkelimpahan. Akan tetapi dia akhirnya memilih berhenti dan ingin mendampingi kedua anaknya yang sejak lama ditinggal dan dititipkan pada mertua. Mendampingi putra-putrinya adalah pilihan yang paling membahagiakan meski kadang-kadang ada dorongan besar untuk kembali berkarir. Tawaran untuk kembali bekerja adalah godaan baru yang tetap menguji pilihan yang sudah diambil.
Kebahagiaan tidak pernah bersumber dari barang, uang dan makanan. Semuanya itu hanya memberi kita nikmat, nyaman, senang dan cita rasa yang sementara. Kebahagiaan pun tidak berasal baik dari diri kita sendiri maupun dari luar diri kita. Jika betul berasal dari diri kita sendiri, kenapa kita tidak otomatis bahagia? Kenapa kita selalu mencari kebahagiaan? Kalau dari luar diri kita, kenapa kita tidak pernah puas dengan harta benda yang kita miliki?
“Berbahagialah yang miskin di hadapan Allah” adalah seruan Yesus yang menjadi kunci untuk memahami ucapan-ucapan bahagia selanjutnya (Mat.5:3-12). Yesus tidak memaksudkan bahwa orang yang miskin, yang tidak punya apa-apa, yang berkekurangan secara materil, bahagia. Ia juga tidak mengutuk orang kaya sebagai kebalikannya. Di hadapan adalah frase yang mengisyaratkan perjumpaan dan hubungan. Dalam iman, kita berjumpa dengan seorang Pribadi yang mengasihi kita tanpa syarat, yang betul-betul menjamin hidup kita. Dalam iman kita mendapati diri kita sebagia orang yang sungguh dicintai, diterima tanpa syarat. Sulit membayangkan bagaimana Allah yang Maha Kuasa mau menjadi Maha Hina seperti manusia, berjuang bersama kita bahkan mati sebagai penjahat untuk kita. Allah yang diwahyukan Yesus lain sama sekali dengan Allah yang kita pelajari dari sinetron, dari cerita dan kepercayaan sekeliling kita; Allah yang memegang pedang, yang memegang buku tulis besar menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang ke neraka; Allah yang gampang disogok oleh perbuatan-perbuatan saleh kita. Cukup sering kita yakin bahwa misa atau perjamuan kudus tiap minggu sudah cukup mendapatkan satu tiket ke surga.
Di hadapan orang yang sedemikian mengasihi kita bagaimana mungkin kita tidak mempercayakan diri? Saya kira, seorang bayilah yang paling mengerti apa artinya mempercayakan diri. Dia merasa dan mengalami bagaimana dicintai, disapih dan dimomong ibu, maka tanpa tanya seorang bayi selalu bisa tidur pulas. Dia tidak cemas, bagaimana kalau nanti digigit nyamuk, atau tiba-tiba pipis di popoknya. Atau seperti burung-burung Gereja tadi, yang terbang di udara, bermain-main tanpa kuatir akan jatuh dan mati. Saya selalu kagum pada burung-burung itu justru karena mereka hanya cukup percaya dan bergantung pada kedua sayap mereka, tanpa membawa apa-apa dan tanpa membawa banyak hal mereka tetap terbang bahagia. Kalaupun mendapatkan makanan, makanan itu dibawa ramai-ramai dan diselesaikan ramai-ramai di antara kawanan burung. Ini sesuatu yang jauh beda dengan anda dan saya. Kita cenderung merasa tidak cukup dan karenanya pingin lebih dan lebih.
Maka menjadi miskin di hadapan Allah merupakan nada dasar seluruh ucapan bahagia itu. Miskin di hadapan Allah adalah sebuah sikap iman; memilih untuk mencintai Allah justru karena Dia sudah terlebih dahulu mencintai kita. Kita disebut bahagia bukan karena usaha kita, tapi justru karena Allah memilih untuk mencintai kita. Allah adalah surga itu sendiri. Dan surga bukanlah pekara tempat – dan cukup banyak orang beragama ribut-ribut soal hal yang satu ini, soal siapa yang lebih layak dan tidak – sebab akan membuang-buang waktu saja membicarakannya.
Karena surga adalah Allah sendiri maka kerajaan surga pertama-tama adalah anugerah istimewa bagi kita. Surga adalah anugerah diri Allah. Dan Yesus beserta seluruh hidupnya adalah surga yang paling nyata bagi kita.
Kita merayakan kebahagiaan itu dengan memilih untuk -meski memiliki barang dan sarana duniawi -tidak bergantung padanya, dan tetap bisa bahagia tanpa harus memiliki lima sampai enam Motorola atau 4 limosin terbaru; kita tetap merasa gembira meski harus naik bajaj atau ngojek karena mobil Mercy kita kerendam banjir yang hari-hari ini nyaris menenggelamkan Jakarta. Malah kita bersyukur masih bisa ngobrol dengan mang bajaj atau si tukang ojek. Yang membuat kita bahagia adalah kenyataan bahwa kita tetap bisa bekerja, tetap bisa mencintai orang lain meski kita tidak memiliki atau tidak membawa apa-apa. Dan di sinilah kita bisa menyamai diri dengan burung Gereja tadi.
Miskin di hadapan Allah tidak cukup dengan pilihan untuk bersikap lepas bebas seperti dikatakan tadi, melainkan mesti ditambah dengan pilihan yang lebih radikal: menjadi sepikir dan seperasaan orang yang kita cintai, yakni Yesus sendiri. Inilah pilihan yang total melengkapi kebahagiaan kita.
Menjadi seperti Yesus berarti seperti Dia dalam tugas dan karya kita masing-masing, membawa penghiburan bagi mereka yang berduka dan kesepian, yang berani memperjuangkan prinsip dan kebenaran tapi dengan cara yang lembut tanpa kekerasan. Menjadi seperti Yesus berarti seperti burung-burung tadi tidak berhenti berbagi dan bermurah hati dengan menyumbangkan kelebihan yang kita miliki, dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan serta menjadikan damai sebagai penyelesaian terbaik untuk setiap konflik yang kita hadapi. Surga mesti kita bagikan kepada semua orang, surga yang sudah kita terima dari Allah sendiri. Hiduplah sebagai orang yang berbahagia sekarang ini. Pilihan ini sungguh membantu banyak orang untuk tetap percaya bahwa surga itu ternyata bukan isapan jempol belaka. Saling mendoakan!
Kawanan burung Gereja rupanya ikut merayakan musim buah rambutan yang saat ini lagi memerah ranum-ranumnya. Mereka berlari-lari, berkejar-kejaran di atas pohon rambutan lalu terbang tinggi. Burung-burung itu seperti kawanan burung yang setiap pagi bertengger di atas kubah Katedral tua yang setiap hari saya lewati ketika harus ke Santa Maria, sekolah dasar saya dulu 15 tahun lalu. Maka saya menerima begitu saja kalau orang-orang menamakan kawanan burung-burung itu dengan sebutan burung Gereja.
Tingkah burung-burung Gereja ini seolah-olah mau mengatakan bahwa hari itu merekalah makhluk yang paling bahagia, meski pada saat yang sama Penelope Cruz mengaku bahagia karena disebut sebagai artis dengan pakian teranggun di jagad Hollywood atau di tempat lain Raja de Sitorus, konglemerat sawit dari Sumatera Utara mengaku orang yang paling bahagia karena memiliki ribuan hektar lahan sawit. Bahkan meski sekarang sedang menjalani tahanan rumah, dia masih mengendalikan bisnisnya yang bernilai miliaran dollar itu. Dan memang tidak salah kalau orang ramai-ramai memuja-muja dan mengidolakan orang-orang seperti ini.
Sementara di sebuah rumah kecil di sudut kota Yogyakarta, Susana, sahabat saya menjalani masa pensiun dininya dengan bahagia. Kepada saya diceritakan bahwa pilihan itu tidak pernah dia sesali. Jabatan istimewa sebagai purchasing manager di sebuah perusahan terkemuka sebenarnya memberi peluang untuk jabatan yang lebih tinggi lagi. Salary yang tinggi plus jaminan macam-macam sebenarnya sudah cukup membuat dia bahagia, bahkan berkelimpahan. Akan tetapi dia akhirnya memilih berhenti dan ingin mendampingi kedua anaknya yang sejak lama ditinggal dan dititipkan pada mertua. Mendampingi putra-putrinya adalah pilihan yang paling membahagiakan meski kadang-kadang ada dorongan besar untuk kembali berkarir. Tawaran untuk kembali bekerja adalah godaan baru yang tetap menguji pilihan yang sudah diambil.
Kebahagiaan tidak pernah bersumber dari barang, uang dan makanan. Semuanya itu hanya memberi kita nikmat, nyaman, senang dan cita rasa yang sementara. Kebahagiaan pun tidak berasal baik dari diri kita sendiri maupun dari luar diri kita. Jika betul berasal dari diri kita sendiri, kenapa kita tidak otomatis bahagia? Kenapa kita selalu mencari kebahagiaan? Kalau dari luar diri kita, kenapa kita tidak pernah puas dengan harta benda yang kita miliki?
“Berbahagialah yang miskin di hadapan Allah” adalah seruan Yesus yang menjadi kunci untuk memahami ucapan-ucapan bahagia selanjutnya (Mat.5:3-12). Yesus tidak memaksudkan bahwa orang yang miskin, yang tidak punya apa-apa, yang berkekurangan secara materil, bahagia. Ia juga tidak mengutuk orang kaya sebagai kebalikannya. Di hadapan adalah frase yang mengisyaratkan perjumpaan dan hubungan. Dalam iman, kita berjumpa dengan seorang Pribadi yang mengasihi kita tanpa syarat, yang betul-betul menjamin hidup kita. Dalam iman kita mendapati diri kita sebagia orang yang sungguh dicintai, diterima tanpa syarat. Sulit membayangkan bagaimana Allah yang Maha Kuasa mau menjadi Maha Hina seperti manusia, berjuang bersama kita bahkan mati sebagai penjahat untuk kita. Allah yang diwahyukan Yesus lain sama sekali dengan Allah yang kita pelajari dari sinetron, dari cerita dan kepercayaan sekeliling kita; Allah yang memegang pedang, yang memegang buku tulis besar menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang ke neraka; Allah yang gampang disogok oleh perbuatan-perbuatan saleh kita. Cukup sering kita yakin bahwa misa atau perjamuan kudus tiap minggu sudah cukup mendapatkan satu tiket ke surga.
Di hadapan orang yang sedemikian mengasihi kita bagaimana mungkin kita tidak mempercayakan diri? Saya kira, seorang bayilah yang paling mengerti apa artinya mempercayakan diri. Dia merasa dan mengalami bagaimana dicintai, disapih dan dimomong ibu, maka tanpa tanya seorang bayi selalu bisa tidur pulas. Dia tidak cemas, bagaimana kalau nanti digigit nyamuk, atau tiba-tiba pipis di popoknya. Atau seperti burung-burung Gereja tadi, yang terbang di udara, bermain-main tanpa kuatir akan jatuh dan mati. Saya selalu kagum pada burung-burung itu justru karena mereka hanya cukup percaya dan bergantung pada kedua sayap mereka, tanpa membawa apa-apa dan tanpa membawa banyak hal mereka tetap terbang bahagia. Kalaupun mendapatkan makanan, makanan itu dibawa ramai-ramai dan diselesaikan ramai-ramai di antara kawanan burung. Ini sesuatu yang jauh beda dengan anda dan saya. Kita cenderung merasa tidak cukup dan karenanya pingin lebih dan lebih.
Maka menjadi miskin di hadapan Allah merupakan nada dasar seluruh ucapan bahagia itu. Miskin di hadapan Allah adalah sebuah sikap iman; memilih untuk mencintai Allah justru karena Dia sudah terlebih dahulu mencintai kita. Kita disebut bahagia bukan karena usaha kita, tapi justru karena Allah memilih untuk mencintai kita. Allah adalah surga itu sendiri. Dan surga bukanlah pekara tempat – dan cukup banyak orang beragama ribut-ribut soal hal yang satu ini, soal siapa yang lebih layak dan tidak – sebab akan membuang-buang waktu saja membicarakannya.
Karena surga adalah Allah sendiri maka kerajaan surga pertama-tama adalah anugerah istimewa bagi kita. Surga adalah anugerah diri Allah. Dan Yesus beserta seluruh hidupnya adalah surga yang paling nyata bagi kita.
Kita merayakan kebahagiaan itu dengan memilih untuk -meski memiliki barang dan sarana duniawi -tidak bergantung padanya, dan tetap bisa bahagia tanpa harus memiliki lima sampai enam Motorola atau 4 limosin terbaru; kita tetap merasa gembira meski harus naik bajaj atau ngojek karena mobil Mercy kita kerendam banjir yang hari-hari ini nyaris menenggelamkan Jakarta. Malah kita bersyukur masih bisa ngobrol dengan mang bajaj atau si tukang ojek. Yang membuat kita bahagia adalah kenyataan bahwa kita tetap bisa bekerja, tetap bisa mencintai orang lain meski kita tidak memiliki atau tidak membawa apa-apa. Dan di sinilah kita bisa menyamai diri dengan burung Gereja tadi.
Miskin di hadapan Allah tidak cukup dengan pilihan untuk bersikap lepas bebas seperti dikatakan tadi, melainkan mesti ditambah dengan pilihan yang lebih radikal: menjadi sepikir dan seperasaan orang yang kita cintai, yakni Yesus sendiri. Inilah pilihan yang total melengkapi kebahagiaan kita.
Menjadi seperti Yesus berarti seperti Dia dalam tugas dan karya kita masing-masing, membawa penghiburan bagi mereka yang berduka dan kesepian, yang berani memperjuangkan prinsip dan kebenaran tapi dengan cara yang lembut tanpa kekerasan. Menjadi seperti Yesus berarti seperti burung-burung tadi tidak berhenti berbagi dan bermurah hati dengan menyumbangkan kelebihan yang kita miliki, dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan serta menjadikan damai sebagai penyelesaian terbaik untuk setiap konflik yang kita hadapi. Surga mesti kita bagikan kepada semua orang, surga yang sudah kita terima dari Allah sendiri. Hiduplah sebagai orang yang berbahagia sekarang ini. Pilihan ini sungguh membantu banyak orang untuk tetap percaya bahwa surga itu ternyata bukan isapan jempol belaka. Saling mendoakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar