Makin Intim Saja
Kita biasa dan mestinya memberi ruang dan waktu bagi keintiman sebuah hubungan. Tanpa itu, hubungan yang kita bangun bersama orang lain, seperti kehilangan cita rasa, menjadi apa yang kita sebut, hubungan biasa-biasa saja. Pada dasarnya kita butuh sendiri, tapi bukan kesendirian total, melainkan kesendirian bersama yang lain.
Kamar kita sediakan khusus bagi istri/suami, lalu kita bedakan dari kamar anak-anak, juga tamu-tamu kita. Kita milih makan di meja paling pojok di sebuah kafe justru untuk bicara lebih leluasa dengan teman atau pasangan kita. Bulan madu direncanakan, akhir pekan dipikirkan, waktu diatur sedemikian rupa sehingga jam makan malam sudah bisa berkumpul dengan keluarga. Sedapat mungkin kita ingin agar orang lain tidak tahu ke mana kita pergi dengan sang pacar, kita tidak ingin orang lain menggangu acara keluarga kita, atau HP di-non-aktifkan justru karena mau melewati makan siang dengan orang yang memberi tempat khusus di hati anda. Pendek kata kita seolah-olah mau sembunyi.
Masa prapaskah atau masa puasa sebenarnya menjadi jalan-jalan mengalami keintiman bersama Tuhan. Kita mulai dengan menandai diri dengan abu di dahi. Samahalnya dengan cincin perkawinan yang kita sematkan di jari, demikianlah abu mau menandai pilihan kita untuk tetap setia dan mengikat diri pada Tuhan.
Keintiman sebuah hubungan bukan identik dengan lamanya waktu, intensnya pertemuan – sekali seminggu ke Anyer atau Pelabuhan Ratu untuk weekend-; tidak sama dengan berjam-jam tawa ria dengan sampanye di atas meja, atau cincin berlian mewah dari Persia yang disembunyikan di balik baju sebelum membuat pasangan surprise…
Keintiman dimulai dari pengakuan dan kepercayaan bahwa kita dicintai dan pernyataan bahwa kita mencintai pasangan kita apa adanya, tanpa syarat. Kentiman dilanjutkan dengan keterbukaan, berani mengaku salah, mengaku khilaf di hadapan sahabat, pasangan tanpa merasa akan dihakimi, dihukum apalagi ditinggalkan. Kentiman dibuktikan dengan kesediaan melakukan yang sama: mensyukuri betapa kita dicintai, membiarkan pipi kita dikecup…mau mendengarkan dan menerima betapa pula kita disakiti dan dikhianati tanpa harus menghakimi…Maka melewati satu malam dengan maaf-maafan bersama istri/suami jauh lebih intim ketimbang menghabiskan satu bulan bulan madu ke Niagara hingga ke Dubai.
Tuhan Yesus sendiri mengajarkannya pada kita. Salah satu kisah yang paling saya sukai adalah kisah tentang perempuan yang berzinah (Yohanes 8:2-11). Ahli-ahli taurat membawa perempuan yang kedapatan berzinah itu ke hadapan Yesus untuk dilempari dengan batu. Sebab hukum Taurat memerintahkan demikian. Akan tetapi, setelah Yesus mengatakan ini: “Barangsiapa di antara kamu tidak pernah berdosa, hendaklah dia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu,” satu per satu mereka pergi meninggalkan si perempuan. Dan Yesus tetap tinggal di situ. Tentu pikir perempuan tadi, karena Yesus satu-satunya yang tidak berdoa, maka Dialah satu-satunya yang menjadi algojo baginya. Namun, sesuatu yang sama sekali lain terjadi: ”Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Aku pun tidak menghukum engkau!
Prapaskah adalah jalan-jalan kepada keintiman. Dalam jalan-jalan itu kita seakan-akan mendapati diri kita sebagai yang paling rapuh, paling tak pantas dan berdosa di hadapan orang yang sudah sangat mencintai kita. Prapaskah mengundang kita untuk berani mengenali kerapuhan, kecenderungan jahat, dosa-dosa yang kita tutup-tutupi justru dengan kepercayaan bahwa kita tidak akan dihukum, melainkan diampuni tanpa syarat. Kata-kata tadi “Aku pun tidak menghukum engkau”, diperuntukkan bagi anda dan saya yang hari ini memulai jalan-jalan panjang ini.
Pantang, puasa, pengakuan dosa serta laku tobat lainnya yang kita buat mesti dilandasi kepercayaan seperti itu, bahwa Tuhan mencintai kita tanpa syarat. Tanpa kesadaran dan kepercayaan seperti ini, kita tengah menjadi robot-robot keagamaan, yang merasa cukup diri setelah berpuasa dan berpantang selama empat puluh hari; merasa oke dengan menyediakan secara khusus dana sosial untuk disumbangkan ke panti-panti asuhan…
Mengalami dicintai tanpa syarat oleh Tuhan tidak bisa tidak membuat kita mencintai Dia dan sesama tanpa syarat. Kepada perempuan yang berzinah Yesus katakan: “pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”…Pertobatan dengan demikian adalah pilihan yang sengaja kita buat justru karena kita mengalami betapa kita dicintai. Logikanya sama sekali lain: bukan kita bertobat untuk bela-belain Tuhan, atau merajuk supaya dikasihini, apalagi untuk menyogok Dia. Bukan, bukan itu. Tobat adalah perayaan akan kenyataan bahwa kita dicintai. Dan karenanya kita mau merayakannya dengan mengurangi jatah uang belanja untuk buah lalu uangnya kita masukkan ke kotak APP; menghabiskan satu batang rokok sehari dan sisanya dibagikan ke teman-teman; menambah 10 menit waktu berdoa dari 5 menit yang biasa kita lakukan dan masih banyak lagi pernyataan tobat pribadi lainnya yang bisa kita wujudkan. Masing-masing kita mesti punya cara untuk merayakan saat-saat intim bersama Dia tanpa harus pamer. “Bapamu yang melihat yang tersembunyi, akan membalasknya kepadamu. (Matius 6:1-6;6-18). Dengan semakin intim bersama Dia, kita makin intim dengan sahabat, rekan, istri dan anak-anak kita. Selamat menjalani masa prapaskah.
Salam,
Ronald,s.x.
http://renungan-inspirasi.blogspot.com/
Kita biasa dan mestinya memberi ruang dan waktu bagi keintiman sebuah hubungan. Tanpa itu, hubungan yang kita bangun bersama orang lain, seperti kehilangan cita rasa, menjadi apa yang kita sebut, hubungan biasa-biasa saja. Pada dasarnya kita butuh sendiri, tapi bukan kesendirian total, melainkan kesendirian bersama yang lain.
Kamar kita sediakan khusus bagi istri/suami, lalu kita bedakan dari kamar anak-anak, juga tamu-tamu kita. Kita milih makan di meja paling pojok di sebuah kafe justru untuk bicara lebih leluasa dengan teman atau pasangan kita. Bulan madu direncanakan, akhir pekan dipikirkan, waktu diatur sedemikian rupa sehingga jam makan malam sudah bisa berkumpul dengan keluarga. Sedapat mungkin kita ingin agar orang lain tidak tahu ke mana kita pergi dengan sang pacar, kita tidak ingin orang lain menggangu acara keluarga kita, atau HP di-non-aktifkan justru karena mau melewati makan siang dengan orang yang memberi tempat khusus di hati anda. Pendek kata kita seolah-olah mau sembunyi.
Masa prapaskah atau masa puasa sebenarnya menjadi jalan-jalan mengalami keintiman bersama Tuhan. Kita mulai dengan menandai diri dengan abu di dahi. Samahalnya dengan cincin perkawinan yang kita sematkan di jari, demikianlah abu mau menandai pilihan kita untuk tetap setia dan mengikat diri pada Tuhan.
Keintiman sebuah hubungan bukan identik dengan lamanya waktu, intensnya pertemuan – sekali seminggu ke Anyer atau Pelabuhan Ratu untuk weekend-; tidak sama dengan berjam-jam tawa ria dengan sampanye di atas meja, atau cincin berlian mewah dari Persia yang disembunyikan di balik baju sebelum membuat pasangan surprise…
Keintiman dimulai dari pengakuan dan kepercayaan bahwa kita dicintai dan pernyataan bahwa kita mencintai pasangan kita apa adanya, tanpa syarat. Kentiman dilanjutkan dengan keterbukaan, berani mengaku salah, mengaku khilaf di hadapan sahabat, pasangan tanpa merasa akan dihakimi, dihukum apalagi ditinggalkan. Kentiman dibuktikan dengan kesediaan melakukan yang sama: mensyukuri betapa kita dicintai, membiarkan pipi kita dikecup…mau mendengarkan dan menerima betapa pula kita disakiti dan dikhianati tanpa harus menghakimi…Maka melewati satu malam dengan maaf-maafan bersama istri/suami jauh lebih intim ketimbang menghabiskan satu bulan bulan madu ke Niagara hingga ke Dubai.
Tuhan Yesus sendiri mengajarkannya pada kita. Salah satu kisah yang paling saya sukai adalah kisah tentang perempuan yang berzinah (Yohanes 8:2-11). Ahli-ahli taurat membawa perempuan yang kedapatan berzinah itu ke hadapan Yesus untuk dilempari dengan batu. Sebab hukum Taurat memerintahkan demikian. Akan tetapi, setelah Yesus mengatakan ini: “Barangsiapa di antara kamu tidak pernah berdosa, hendaklah dia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu,” satu per satu mereka pergi meninggalkan si perempuan. Dan Yesus tetap tinggal di situ. Tentu pikir perempuan tadi, karena Yesus satu-satunya yang tidak berdoa, maka Dialah satu-satunya yang menjadi algojo baginya. Namun, sesuatu yang sama sekali lain terjadi: ”Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Aku pun tidak menghukum engkau!
Prapaskah adalah jalan-jalan kepada keintiman. Dalam jalan-jalan itu kita seakan-akan mendapati diri kita sebagai yang paling rapuh, paling tak pantas dan berdosa di hadapan orang yang sudah sangat mencintai kita. Prapaskah mengundang kita untuk berani mengenali kerapuhan, kecenderungan jahat, dosa-dosa yang kita tutup-tutupi justru dengan kepercayaan bahwa kita tidak akan dihukum, melainkan diampuni tanpa syarat. Kata-kata tadi “Aku pun tidak menghukum engkau”, diperuntukkan bagi anda dan saya yang hari ini memulai jalan-jalan panjang ini.
Pantang, puasa, pengakuan dosa serta laku tobat lainnya yang kita buat mesti dilandasi kepercayaan seperti itu, bahwa Tuhan mencintai kita tanpa syarat. Tanpa kesadaran dan kepercayaan seperti ini, kita tengah menjadi robot-robot keagamaan, yang merasa cukup diri setelah berpuasa dan berpantang selama empat puluh hari; merasa oke dengan menyediakan secara khusus dana sosial untuk disumbangkan ke panti-panti asuhan…
Mengalami dicintai tanpa syarat oleh Tuhan tidak bisa tidak membuat kita mencintai Dia dan sesama tanpa syarat. Kepada perempuan yang berzinah Yesus katakan: “pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”…Pertobatan dengan demikian adalah pilihan yang sengaja kita buat justru karena kita mengalami betapa kita dicintai. Logikanya sama sekali lain: bukan kita bertobat untuk bela-belain Tuhan, atau merajuk supaya dikasihini, apalagi untuk menyogok Dia. Bukan, bukan itu. Tobat adalah perayaan akan kenyataan bahwa kita dicintai. Dan karenanya kita mau merayakannya dengan mengurangi jatah uang belanja untuk buah lalu uangnya kita masukkan ke kotak APP; menghabiskan satu batang rokok sehari dan sisanya dibagikan ke teman-teman; menambah 10 menit waktu berdoa dari 5 menit yang biasa kita lakukan dan masih banyak lagi pernyataan tobat pribadi lainnya yang bisa kita wujudkan. Masing-masing kita mesti punya cara untuk merayakan saat-saat intim bersama Dia tanpa harus pamer. “Bapamu yang melihat yang tersembunyi, akan membalasknya kepadamu. (Matius 6:1-6;6-18). Dengan semakin intim bersama Dia, kita makin intim dengan sahabat, rekan, istri dan anak-anak kita. Selamat menjalani masa prapaskah.
Salam,
Ronald,s.x.
http://renungan-inspirasi.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar