Sendok, Garpu dan Cerita Cinta Kita
Sendok, garpu dan tissue makan nampak sebagai barang-barang sepele di sekeliling kita. Hampir selalu kita menggunakannya ketika makan. Saya butuh banyak waktu untuk menggunakan sumpit waktu makan mie ayam dan selalu kagum sekaligus heran melihat betapa nikmatnya orang Jepang makan nasi dengan dua sumpit.
Alat-alat makan itu sebenarnya pernyataan tentang kemampuan manusia untuk tahan diri di hadapan kebutuhan langsung seperti makanan. Kita bisa menahan lapar dan membiarkan tamu kita makan terlebih dahulu. Acara makan selalu saja ditempatkan di bagian akhir dalam setiap perayaan-perayaan dan pesta. Mengulangi apa yang pernah dibilang Karl Marx: “karena manusia mampu membuat jarak terhadap kebutuhan langsungnya, manusia terbuka bagi estetika”, manusia terbuka bagi relasi, terbuka bagi keindahan hidup, persahabatan dan seterusnya…
Semua makhluk hidup butuh makan agar dapat survive/bertahan hidup, tapi hanya manusia satu-satunya makhluk yang bisa menolak makan dengan sengaja. Hanya manusia pula makhluk yang bisa tetap ngobrol atau bicara saat makan. Ini lagi-lagi menyatakan bahwa manusia punya kerinduan, harapan dan hasrat-hasrat yang melampaui kebutuhan langsungnya. Manusia terbuka kepada kemahaluasan, terbuka kepada yang lain, yang lain daripada makanan. Itulah sebabnya kenapa sudah menjadi lumrah bagi kita untuk mengundang sesama, keluarga, teman bahkan pacar untuk makan. Karena kita bisa mengambil jarak terhadap makanan, kita pun bisa mengubah makanan menjadi ungkapan hasrat kita untuk lebih dekat dengan orang-orang yang kita cintai.
Waktu banjir bandang di Jakarta tahun 2002 saya bersama beberapa relawan membagi nasi bungkus untuk para korban banjir di daerah Cilincing. Aksi rebut-rebutan tak bisa kami cegah. Orang saling dorong bahkan hampir berantem gara-gara nasi bungkus. Karena tidak bisa tahan lapar seorang gelandangan akhirnya menjarah sebuah toko makanan. Dia ditangkap tapi kemudian dilepaskan lagi. Dua kejadian ini tidak berarti menunjukkan bahwa mereka hanya hidup untuk makan, melainkan situasilah yang mendorong mereka seolah-olah ‘hidup’ untuk makan. Dan kemiskinan makin jelas membuktikan bahwa tidak semua orang mendapatkan makanan dan minuman yang cukup justru karena ketamakan sebagian kecil orang.
Saya jadi ingat film Paradise Now, sebuah film yang mengisahkan lika-liku dua anak muda Palestina yang berkobar-kobar melawan Israel dengan menawarkan diri sebagai pelaku bom bunuh diri. Jauh di di belakang heroisme mereka nampak bahwa mereka butuh makan, butuh makan dengan tenang sebagai orang-orang merdeka. “I would rather live in paradise in my head than in this hell”…begitu kata salah seorang dari mereka yang dengan jujur mengungkapkan bahwa mereka sudah capek dengan ‘ketidakdilan’, sudah muak dengan penindasan Israel…Film yang sama mengembalikan ingatan saja akan rentetan teror bom di negeri kita oleh orang-orang yang lugu dan sederhana. Walau dikatakan mereka berjuang demi agama dan Allah, tapi sebenarnya mereka berjuang demi ‘roti’, demi nasi untuk anak istri. Dan anda tahu mereka tidak salah. Mereka lebih sebagai korban…
Hampir selalu ketika mengikuti jamuan makan, saya acap kali mendengar doa makan yang dilengkapi dengan ujud bagi orang lapar supaya mereka memperoleh makanan secukupnya. Saya kadang bertanya, apakah memang saat itu orang tengah berdoa ataukah tengah menghina orang lapar dan miskin? Bukankah lebih baik tidak mengucapkan kata-kata itu daripada mengucapkannya tanpa berbuat sesuatu yang lebih riil: memberi makan pada orang yang lapar?
“Manusia hidup bukan dari roti saja tapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah,” (Matius 4:4) demikian seruan Yesus menanggapi godaan setan untuk mengubah batu menjadi roti. Apakah itu berarti manusia tidak perlu makan? Apakah Yesus melarang manusia makan dan hanya bersandar pada sabda Allah? Pernahkah kita kenyang setelah membaca kitab suci atau mendengar kotbah romo yang panjang ngalor ngidul? Bukankah kita sebaliknya tambah lapar? Lalu apa maksud Yesus dengan pernyataan itu?
Maksud Yesus cukup jelas menegaskan apa yang dikatakan tadi, bahwa kita manusia diciptakan terutama bagi yang lain, bukan untuk makan. Kodrat kita adalah hidup bukan bagi diri kita sendiri tapi bagi sesama yang lain dan kelak bagi Allah. “Manusia hidup dari firman yang keluar dari mulut Allah”, persis menggarisbawahi kenyataan iman ini: bahwa oleh firman-Nya segala sesuatu telah dijadikan. Penginjil Yohanes juga dengan jelas menulis bahwa segala sesuatu hidup, dimulai dan diciptakan oleh firman (Yohanes I:1-dst). Firman itu betul-betul nyata bukan hanya melalui ilham yang kemudian tertulis dalam kitab suci tapi dalam diri Yesus sendiri. Dan dalam diri Yesus yang mati di salib kita mengalami betapa Allah sungguh memberi hidup-Nya bagi kita. Kita hidup oleh firman, oleh cintanya yang tanpa syarat.
Dalam masa prapaskah ini kita diundang untuk merenungkan sunguh-sunguh kasih Allah pada kita; kita dipanggil untuk mencintai sebagaimana Allah telah mencintai kita. Prapaskah bukanlah masa di mana kita dilarang untuk makan, tapi masa di mana kita diajak untuk mempercayakan diri pada Tuhan supaya bisa mengubah diri kita menjadi roti bagi sesama yang lain. Puasa dan pantang dengan cara yang kita pilih masing-masing adalah pernyataan bahwa kita mau tak berdaya, kita mau kekurangan dan mau bergantung pada Tuhan daripada kemampuan kita sendiri. Tidak lagi percaya bahwa Tuhan masih sanggup mengubah dunia ini adalah dosa yang paling berat.
Di masa pra paskah ini, mudah-mudahan setiap kali memandang dan memegang sendok dan garpu, duduk makan melingkar dengan orang-orang yang kita cintai, kita mengingat dengan sungguh tugas kita setiap hari, menjadi roti bagi yang lain sebagaimana yang telah dibuat Yesus pada malam perjamuan terakhir dan kita rayakan dalam ekaristi. Di atas meja makan, kita bisa selalu memulai cerita cinta kita yang baru setiap hari.
Salam,
Ronald,s.x.
Sendok, garpu dan tissue makan nampak sebagai barang-barang sepele di sekeliling kita. Hampir selalu kita menggunakannya ketika makan. Saya butuh banyak waktu untuk menggunakan sumpit waktu makan mie ayam dan selalu kagum sekaligus heran melihat betapa nikmatnya orang Jepang makan nasi dengan dua sumpit.
Alat-alat makan itu sebenarnya pernyataan tentang kemampuan manusia untuk tahan diri di hadapan kebutuhan langsung seperti makanan. Kita bisa menahan lapar dan membiarkan tamu kita makan terlebih dahulu. Acara makan selalu saja ditempatkan di bagian akhir dalam setiap perayaan-perayaan dan pesta. Mengulangi apa yang pernah dibilang Karl Marx: “karena manusia mampu membuat jarak terhadap kebutuhan langsungnya, manusia terbuka bagi estetika”, manusia terbuka bagi relasi, terbuka bagi keindahan hidup, persahabatan dan seterusnya…
Semua makhluk hidup butuh makan agar dapat survive/bertahan hidup, tapi hanya manusia satu-satunya makhluk yang bisa menolak makan dengan sengaja. Hanya manusia pula makhluk yang bisa tetap ngobrol atau bicara saat makan. Ini lagi-lagi menyatakan bahwa manusia punya kerinduan, harapan dan hasrat-hasrat yang melampaui kebutuhan langsungnya. Manusia terbuka kepada kemahaluasan, terbuka kepada yang lain, yang lain daripada makanan. Itulah sebabnya kenapa sudah menjadi lumrah bagi kita untuk mengundang sesama, keluarga, teman bahkan pacar untuk makan. Karena kita bisa mengambil jarak terhadap makanan, kita pun bisa mengubah makanan menjadi ungkapan hasrat kita untuk lebih dekat dengan orang-orang yang kita cintai.
Waktu banjir bandang di Jakarta tahun 2002 saya bersama beberapa relawan membagi nasi bungkus untuk para korban banjir di daerah Cilincing. Aksi rebut-rebutan tak bisa kami cegah. Orang saling dorong bahkan hampir berantem gara-gara nasi bungkus. Karena tidak bisa tahan lapar seorang gelandangan akhirnya menjarah sebuah toko makanan. Dia ditangkap tapi kemudian dilepaskan lagi. Dua kejadian ini tidak berarti menunjukkan bahwa mereka hanya hidup untuk makan, melainkan situasilah yang mendorong mereka seolah-olah ‘hidup’ untuk makan. Dan kemiskinan makin jelas membuktikan bahwa tidak semua orang mendapatkan makanan dan minuman yang cukup justru karena ketamakan sebagian kecil orang.
Saya jadi ingat film Paradise Now, sebuah film yang mengisahkan lika-liku dua anak muda Palestina yang berkobar-kobar melawan Israel dengan menawarkan diri sebagai pelaku bom bunuh diri. Jauh di di belakang heroisme mereka nampak bahwa mereka butuh makan, butuh makan dengan tenang sebagai orang-orang merdeka. “I would rather live in paradise in my head than in this hell”…begitu kata salah seorang dari mereka yang dengan jujur mengungkapkan bahwa mereka sudah capek dengan ‘ketidakdilan’, sudah muak dengan penindasan Israel…Film yang sama mengembalikan ingatan saja akan rentetan teror bom di negeri kita oleh orang-orang yang lugu dan sederhana. Walau dikatakan mereka berjuang demi agama dan Allah, tapi sebenarnya mereka berjuang demi ‘roti’, demi nasi untuk anak istri. Dan anda tahu mereka tidak salah. Mereka lebih sebagai korban…
Hampir selalu ketika mengikuti jamuan makan, saya acap kali mendengar doa makan yang dilengkapi dengan ujud bagi orang lapar supaya mereka memperoleh makanan secukupnya. Saya kadang bertanya, apakah memang saat itu orang tengah berdoa ataukah tengah menghina orang lapar dan miskin? Bukankah lebih baik tidak mengucapkan kata-kata itu daripada mengucapkannya tanpa berbuat sesuatu yang lebih riil: memberi makan pada orang yang lapar?
“Manusia hidup bukan dari roti saja tapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah,” (Matius 4:4) demikian seruan Yesus menanggapi godaan setan untuk mengubah batu menjadi roti. Apakah itu berarti manusia tidak perlu makan? Apakah Yesus melarang manusia makan dan hanya bersandar pada sabda Allah? Pernahkah kita kenyang setelah membaca kitab suci atau mendengar kotbah romo yang panjang ngalor ngidul? Bukankah kita sebaliknya tambah lapar? Lalu apa maksud Yesus dengan pernyataan itu?
Maksud Yesus cukup jelas menegaskan apa yang dikatakan tadi, bahwa kita manusia diciptakan terutama bagi yang lain, bukan untuk makan. Kodrat kita adalah hidup bukan bagi diri kita sendiri tapi bagi sesama yang lain dan kelak bagi Allah. “Manusia hidup dari firman yang keluar dari mulut Allah”, persis menggarisbawahi kenyataan iman ini: bahwa oleh firman-Nya segala sesuatu telah dijadikan. Penginjil Yohanes juga dengan jelas menulis bahwa segala sesuatu hidup, dimulai dan diciptakan oleh firman (Yohanes I:1-dst). Firman itu betul-betul nyata bukan hanya melalui ilham yang kemudian tertulis dalam kitab suci tapi dalam diri Yesus sendiri. Dan dalam diri Yesus yang mati di salib kita mengalami betapa Allah sungguh memberi hidup-Nya bagi kita. Kita hidup oleh firman, oleh cintanya yang tanpa syarat.
Dalam masa prapaskah ini kita diundang untuk merenungkan sunguh-sunguh kasih Allah pada kita; kita dipanggil untuk mencintai sebagaimana Allah telah mencintai kita. Prapaskah bukanlah masa di mana kita dilarang untuk makan, tapi masa di mana kita diajak untuk mempercayakan diri pada Tuhan supaya bisa mengubah diri kita menjadi roti bagi sesama yang lain. Puasa dan pantang dengan cara yang kita pilih masing-masing adalah pernyataan bahwa kita mau tak berdaya, kita mau kekurangan dan mau bergantung pada Tuhan daripada kemampuan kita sendiri. Tidak lagi percaya bahwa Tuhan masih sanggup mengubah dunia ini adalah dosa yang paling berat.
Di masa pra paskah ini, mudah-mudahan setiap kali memandang dan memegang sendok dan garpu, duduk makan melingkar dengan orang-orang yang kita cintai, kita mengingat dengan sungguh tugas kita setiap hari, menjadi roti bagi yang lain sebagaimana yang telah dibuat Yesus pada malam perjamuan terakhir dan kita rayakan dalam ekaristi. Di atas meja makan, kita bisa selalu memulai cerita cinta kita yang baru setiap hari.
Salam,
Ronald,s.x.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar