Million Dollar Baby
Pasti kebanyakan anda pernah menantikan kelahiran orang yang dikasihi, entah itu anak adik, atau saudara dekat. Tentu saja orangtualah yang paling menantikannya dengan sangat. Apalagi jika kelahiran itu menjadi pengalaman pertama, atau kejadian yang sudah begitu lama ditunggu-tunggu. Menantikan kelahiran anak samahalnya dengan menantikan hadirnya buah cinta. Anak menjadi penegasan dari cinta sendiri. Cinta sejati selalu berbuah kehidupan. Keberadaan anak dimungkinkan karena komitmen dua orang yang mencintai melampaui diri mereka. Cinta yang dibangun berdua, dipersembahkan dan direlakan bagi orang ketiga, keempat dan seterusnya…dalam diri anak-anak kita.
Impotensi permanen sekalipun tetap tidak menghalangi orang merindukan kehadiran buah cinta. Kerinduan itu sendiri mengafirmasi komitmen yang bersangkutan untuk mencintai dengan tulus; bahwa cinta mereka bukan egois-bagi diri mereka sendiri. Kerinduan mereka bisa saja diwujudkan dengan mengadopsi atau mengasuh anak, atau melalui tindakan-tindakan kasih lainnya.
Sejak lama dalam sejarah manusia, peristiwa kelahiran mendapat tempat yang hampir sejajar dengan kisah-kisah kepahlawanan, epos perjuangan.Bahkan kelahiran hampir selalu sudah terjalin dalam kisah-kisah kepalahwanan semacam itu. Bagi bangsa Yahudi, khususnya perempuan, anak adalah berkah. Sebaliknya, tanpa anak, perempuan harus menanggung aib atau malu. Semacam ada yang corrupt dari identitasnya sebagai manusia, sebagai perempuan. Hana ibu Samuel misalnya, mengalami aib dan penantian yang panjang, sampai akhirnya Tuhan mendengarkan doanya lalu ia mengandung dan melahirkan Samuel. Kisah Simson atau bahkan kisah purba tentang Sara istri Abraham juga menceritakan yang sama.
Selain sebagai buah cinta, anak seringkali diyakini sebagai pemberian/gift. Atas alasan itulah Hana dan bahkan manusia sepanjang masa memohon dikaruniai anak. Kepercayaan ini tidaklah kosong, apalagi senaif aggapan bahwa bahwa kehadiran anak semata sebuah peristiwa otomatis dan exact, bahwa segera sesudah embrio terbentuk berka t bertemunya sel sperma dan telur dengan sendirinya anak akan lahir. Padahal, embrio harus mengalami proses-proses yang kompleks dan rentan serta waktu yang lama untuk bertumbuh menjadi bayi. Bukan itu saja, manusia selama 9 bulan di rahim ibu mengalami hal yang paling genting, khususnya dalam peristiwa kelahiran. Sebab, kemungkinan untuk atau hidup atau mati peluangnya 50 berbanding 50 baik untuk bayi maupun untuk ibu.
Memang dengan ilmu pengetahuan, kita bisa menjelaskan bagaimana proses itu terjadi. Bahkan sekarang dengan USG dan sejenisnya, kita bisa mengontrol bukan hanya jenis kelamin tapi keadaan bayi apakah nanti akan lahir cacat atau tidak. Lebih lagi, kita pun bisa meminimalkan resiko kematian baik ibu dan anak. Akan tetapi hal yang tidak bisa kita jawab adalah bagaimana semuanya itu bisa ada? Kenapa embrio harus mengalami proses-proses kompleks sehingga lahir manusia? Kenapa harus demikian, dan kenapa tidak dengan cara lain pun tak kuasa kita jawab. Seperti ada yang tetap tinggal sebagai misteri. Dan di hadapan misteri itu kita semua, siapa pun, menerima kenyataan bahwa kita pada dasarnya adalah pemberian, we are totally a gift..
Kita tak sama seperti batu yang begitu saja atau semena-mena tergeletak di atas tanah, tapi sebagai pribadi yang hanya bisa ada kehadiran yang lain. Kasih papa dan mama paling jelas membuktikannya. Jauh lebih dari itu, kasih Allah yang memungkinkan semuanya ada. Tangan-tangannya secara tersumbunyi menyertai kita melewati masa-masa yang sulit selama 9 bulan di rahim hingga kelahiran. Nabi Yesaya tidak salah mengatakan bahwa Allah “ telah memanggil anda sejak dari kandungan, telah melukiskan anda di telapak tangannya” (Yes.49:1,15b)
Pemberian mengisyaratkan bahwa yang memberi mempercayakan kepada yang menerima supaya pemberian itu diperlakukan, diterima dengan baik.Artinya, ada kesadaran bahwa anak tidak sama kedudukannya dengan property kita, seperti furniture, mobil di garasi atau barang lainnya yang bisa semau dan sesuka hati kita perlakukan. Anak pada saat yang sama menjadi milik kita dan milik Allah sendiri.
Pantaslah manusia dengan arif mengungkapkan kepercayaan itu dalam perayaan seperti sunat, babtis bayi dan sejenisnya. Melalui perayaan-perayaan semacam itu, anak dikuduskan bagi Allah..dikhususkan bagi Sang Pemberi Hidup.
Memperingati peristiwa dipersembahkannya Yesus di Bait Allah rasanya mengembalikan kita pada peristiwa serupa yang terjadi pada kita. Kita dalam segala kerapuhan sebagai bayi, belum tahu apa-apa atau mengerti apa pun diserahkan orangtua kita pada Allah melalui babtisan. Melalui babtisan kita juga diserahkan (baca: inisiasi) kepada Gereja atau kepada komunitas beriman. Pendek kata peristiwa ini pun mau mengatakan hal penting tadi: we are totally a gift..Nama kita adalah anugerah.
Saat bayi kita masih merupakan anugerah yang pasif-justru karena kerapuhan kita, karena belum adanya kesadaran dan pengertian. Maka, memperingati peristiwa Yesus dipersembahkan kepada Bait Allah (Lukas 2:22-40)
Pasti kebanyakan anda pernah menantikan kelahiran orang yang dikasihi, entah itu anak adik, atau saudara dekat. Tentu saja orangtualah yang paling menantikannya dengan sangat. Apalagi jika kelahiran itu menjadi pengalaman pertama, atau kejadian yang sudah begitu lama ditunggu-tunggu. Menantikan kelahiran anak samahalnya dengan menantikan hadirnya buah cinta. Anak menjadi penegasan dari cinta sendiri. Cinta sejati selalu berbuah kehidupan. Keberadaan anak dimungkinkan karena komitmen dua orang yang mencintai melampaui diri mereka. Cinta yang dibangun berdua, dipersembahkan dan direlakan bagi orang ketiga, keempat dan seterusnya…dalam diri anak-anak kita.
Impotensi permanen sekalipun tetap tidak menghalangi orang merindukan kehadiran buah cinta. Kerinduan itu sendiri mengafirmasi komitmen yang bersangkutan untuk mencintai dengan tulus; bahwa cinta mereka bukan egois-bagi diri mereka sendiri. Kerinduan mereka bisa saja diwujudkan dengan mengadopsi atau mengasuh anak, atau melalui tindakan-tindakan kasih lainnya.
Sejak lama dalam sejarah manusia, peristiwa kelahiran mendapat tempat yang hampir sejajar dengan kisah-kisah kepahlawanan, epos perjuangan.Bahkan kelahiran hampir selalu sudah terjalin dalam kisah-kisah kepalahwanan semacam itu. Bagi bangsa Yahudi, khususnya perempuan, anak adalah berkah. Sebaliknya, tanpa anak, perempuan harus menanggung aib atau malu. Semacam ada yang corrupt dari identitasnya sebagai manusia, sebagai perempuan. Hana ibu Samuel misalnya, mengalami aib dan penantian yang panjang, sampai akhirnya Tuhan mendengarkan doanya lalu ia mengandung dan melahirkan Samuel. Kisah Simson atau bahkan kisah purba tentang Sara istri Abraham juga menceritakan yang sama.
Selain sebagai buah cinta, anak seringkali diyakini sebagai pemberian/gift. Atas alasan itulah Hana dan bahkan manusia sepanjang masa memohon dikaruniai anak. Kepercayaan ini tidaklah kosong, apalagi senaif aggapan bahwa bahwa kehadiran anak semata sebuah peristiwa otomatis dan exact, bahwa segera sesudah embrio terbentuk berka t bertemunya sel sperma dan telur dengan sendirinya anak akan lahir. Padahal, embrio harus mengalami proses-proses yang kompleks dan rentan serta waktu yang lama untuk bertumbuh menjadi bayi. Bukan itu saja, manusia selama 9 bulan di rahim ibu mengalami hal yang paling genting, khususnya dalam peristiwa kelahiran. Sebab, kemungkinan untuk atau hidup atau mati peluangnya 50 berbanding 50 baik untuk bayi maupun untuk ibu.
Memang dengan ilmu pengetahuan, kita bisa menjelaskan bagaimana proses itu terjadi. Bahkan sekarang dengan USG dan sejenisnya, kita bisa mengontrol bukan hanya jenis kelamin tapi keadaan bayi apakah nanti akan lahir cacat atau tidak. Lebih lagi, kita pun bisa meminimalkan resiko kematian baik ibu dan anak. Akan tetapi hal yang tidak bisa kita jawab adalah bagaimana semuanya itu bisa ada? Kenapa embrio harus mengalami proses-proses kompleks sehingga lahir manusia? Kenapa harus demikian, dan kenapa tidak dengan cara lain pun tak kuasa kita jawab. Seperti ada yang tetap tinggal sebagai misteri. Dan di hadapan misteri itu kita semua, siapa pun, menerima kenyataan bahwa kita pada dasarnya adalah pemberian, we are totally a gift..
Kita tak sama seperti batu yang begitu saja atau semena-mena tergeletak di atas tanah, tapi sebagai pribadi yang hanya bisa ada kehadiran yang lain. Kasih papa dan mama paling jelas membuktikannya. Jauh lebih dari itu, kasih Allah yang memungkinkan semuanya ada. Tangan-tangannya secara tersumbunyi menyertai kita melewati masa-masa yang sulit selama 9 bulan di rahim hingga kelahiran. Nabi Yesaya tidak salah mengatakan bahwa Allah “ telah memanggil anda sejak dari kandungan, telah melukiskan anda di telapak tangannya” (Yes.49:1,15b)
Pemberian mengisyaratkan bahwa yang memberi mempercayakan kepada yang menerima supaya pemberian itu diperlakukan, diterima dengan baik.Artinya, ada kesadaran bahwa anak tidak sama kedudukannya dengan property kita, seperti furniture, mobil di garasi atau barang lainnya yang bisa semau dan sesuka hati kita perlakukan. Anak pada saat yang sama menjadi milik kita dan milik Allah sendiri.
Pantaslah manusia dengan arif mengungkapkan kepercayaan itu dalam perayaan seperti sunat, babtis bayi dan sejenisnya. Melalui perayaan-perayaan semacam itu, anak dikuduskan bagi Allah..dikhususkan bagi Sang Pemberi Hidup.
Memperingati peristiwa dipersembahkannya Yesus di Bait Allah rasanya mengembalikan kita pada peristiwa serupa yang terjadi pada kita. Kita dalam segala kerapuhan sebagai bayi, belum tahu apa-apa atau mengerti apa pun diserahkan orangtua kita pada Allah melalui babtisan. Melalui babtisan kita juga diserahkan (baca: inisiasi) kepada Gereja atau kepada komunitas beriman. Pendek kata peristiwa ini pun mau mengatakan hal penting tadi: we are totally a gift..Nama kita adalah anugerah.
Saat bayi kita masih merupakan anugerah yang pasif-justru karena kerapuhan kita, karena belum adanya kesadaran dan pengertian. Maka, memperingati peristiwa Yesus dipersembahkan kepada Bait Allah (Lukas 2:22-40)
pada dasarnya mengundang kita untuk menjadi anugerah yang aktif sebagaimana yang telah ditunjukkan Yesus. Saatnya bagi kita untuk memikirkan kembali panggilan kita sebagai anugerah dalam kapasitas masing-masing sebagai guru, pelajar, seniman, penulis, pewarta, konsultan, akuntan, jurnalis dan seterusnya…
Antara lain kita dipanggil seperti Simeon dan Hana untuk menghargai pentingnya kehidupan. Penantian Simeon serta lagu kegembiraannya adalah kidung kehidupan, yang mempersilahkan Allah sang pemberi hidup masuk dan mengubah sejarah hidup manusia. Menerima Yesus, seperti Zakaria dan Hana, mutlak meminta kita menghormati Kehidupan, sejak terbentuknya embrio hingga kematiannya sebagai manusia. Jelaslah kita mengutuk pilihan aborsi yang disengaja. Dengan tugas kita masing-masing marilah kita menggalakan perjuangan untuk menghormati kehidupan. Dengan cara ini, kita mempersilahkan Tuhan terus mengubah sejarah terus menerus melalui manusia-manusia baru yang lahir.
Jika anda pulang ke rumah, melihat bayi anda atau setidak-tidaknya punya kesempatan untuk memangku bayi, bisikanlah ke telinganya permintaan untuk mengubah dunia ini. Dan seraya menyandarkan pipi anda di keningnya, berdoalah untuk sahabat-sahabatnya yang harus menghadapi pisau dan gunting di klinik-klinik aborsi; bagi saudara-saudaranya yang harus menjadi pengungsi karena perang.
Salam,
Ronald,s.x.
Antara lain kita dipanggil seperti Simeon dan Hana untuk menghargai pentingnya kehidupan. Penantian Simeon serta lagu kegembiraannya adalah kidung kehidupan, yang mempersilahkan Allah sang pemberi hidup masuk dan mengubah sejarah hidup manusia. Menerima Yesus, seperti Zakaria dan Hana, mutlak meminta kita menghormati Kehidupan, sejak terbentuknya embrio hingga kematiannya sebagai manusia. Jelaslah kita mengutuk pilihan aborsi yang disengaja. Dengan tugas kita masing-masing marilah kita menggalakan perjuangan untuk menghormati kehidupan. Dengan cara ini, kita mempersilahkan Tuhan terus mengubah sejarah terus menerus melalui manusia-manusia baru yang lahir.
Jika anda pulang ke rumah, melihat bayi anda atau setidak-tidaknya punya kesempatan untuk memangku bayi, bisikanlah ke telinganya permintaan untuk mengubah dunia ini. Dan seraya menyandarkan pipi anda di keningnya, berdoalah untuk sahabat-sahabatnya yang harus menghadapi pisau dan gunting di klinik-klinik aborsi; bagi saudara-saudaranya yang harus menjadi pengungsi karena perang.
Salam,
Ronald,s.x.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar