Seorang teman di Jakarta mengirimkan sebuah pesan pendek (sms) yang isinya tentang kabar pejalanan ziarah rohaninya ke Lourdes dan beberapa tempat lainnya di Eropa. Soal Maria, apalagi pengalaman pribadinya dengan tokoh Maria tidak disinggung sama sekali. Maka, balasan saya tak kalah pendeknya:”sip., jangan lupa setia seperti Maria”.
Teman saya ini mungkin satu dari cukup banyak orang yang berusaha merawat dan memelihara iman mereka melalui kegiatan-kegiatan devosional seperti ziarah.Ini tentu saja usaha yang baik dan patut dipuji. Iman kita bagaikan sebuah tumbuhan dalam taman atau pekarangan rumah hidup kita. Pertumbuhannya sangat bergantung dari bagaimana tanah di sekelilingnya disiangi, disiram dan dipupuk dengan baik. Seni menyiangi, kesetiaan untuk terus menyiram serta pilihan pupuk yang baik akan memungkinkan tumbuhan ‘iman’ kita tumbuh mekar semerbak mewangi.
Tanggal 14 Oktober yang lalu ketika selesai menghadiri misa di Gereja St. Maria Asumpta – Pakem, gereja yang sekaligus menjadi tempat ziarah Maria yang cukup terkenal karena sumur kitiran masnya, saya memperhatikan dua orang peziarah yang mendekati sumur kitiran mas. Yang seorang nampak sudah stroke sementara seorangnya lagi menuntut si sakit. Keduanya ingin minum dari air sumur yang konon ‘menyembuhkan’ itu. Dalam hati, saya memuji kebersahajaan iman orang itu, tapi sekaligus bertanya pada Maria: “bunda, apa benar ini yang kau inginkan? Bukankah Yesus ketika di salib meminta kepada Yohanes (dan kami semua) untuk meneladanimu, setia mencintai dan mengikuti sang putra sampai di salib? Sambil ikut mendoakan kesembuhan bapak itu, saya mohon doa bunda Maria agar saya terus setia.
Tiga belas tahun lalu, tengah malam saya terjaga dan mendapati mama masih duduk di tempat tidur berdoa rosario. Sejak papa meninggal, saya, mama dan keempat saudara saya tidur di satu tempat tidur besar.Pertanyaan saya singkat: “ Ma.., belum tidur?” Jawabnya: “yah..saya masih pikir bagaimana besok kalian masih bisa makan…Paginya waktu saya bangun, dia sedang mengolah adonan terigu untuk dijadikan kue jualan hari itu. Itulah kiranya jawaban dari doanya semalam. Jawabannya adalah dia selalu setia dengan pekerjaannya.
Dengan kesetiaan kita memelihara iman kita. Kesetiaan sebagaiman dilukiskan rasul paulus dalam suratnya kepada Timotius (II Tim.4:6-8) adalah kunci menyelesaikan ‘pertandingan’ dalam hidup kita. Setiap hari, kita ‘bertanding’, berlomba untuk mengalahkan diri sendiri. Kita selalu dihadapkan pada pilihan untuk cukup diri; senang-senang karena merasa sudah berhasil; mencari penghiburan karena tidak tahan sepi sendiri; mau lari dari tugas-tugas yang berat dan rutin, pingin bebas dan lalu membangun menara gading serta patung diri kita sebagai sesembahan baru…
Kesetiaan yang sama juga diperlihatkan oleh si pemungut cukai yang berdosa sebagaimana diceritakan dalam Injil hari ini (Lukas 18:9-14). Dia setia bukan hanya selalu datang berdoa tapi setia pada keyakinan bahwa betapapun dia berdosa, Tuhan senantiasa menerima dan mengasihinya. Kesetiaan macam inilah yang sering disamakan dengan sikap “miskin’ di hadapan Allah. Doa orang-orang yang setia seperti ini memang, seperti kata Bin Sirakh (Sirakh 35:15b-17.20-22a), “menembus awan’, sampai ke telinga Dia yang sudah mengetahui apa yang kita butuhkan. Mari kita mohon rahmat yang sama yakni untuk setia,juga seperti Maria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar