"Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia."
(Za 2:1-5.10-11a; Luk 9:43b-45)
"Ketika semua orang itu masih heran karena segala yang diperbuat-Nya
itu, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Dengarlah dan camkanlah
segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan
manusia." Mereka tidak mengerti perkataan itu, sebab artinya
tersembunyi bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memahaminya. Dan
mereka tidak berani menanyakan arti perkataan itu kepada-Nya" (Luk
9:43b-45), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan
sederhana sebagai berikut:
• Yesus datang ke dunia untuk untuk menyelamatkan seluruh umat
manusia, dan untuk itu Ia harus diserahkan ke dalam tangan manusia.
Para murid tidak jelas apa arti 'diserahkan ke dalam tangan manusia'
dan mereka tidak berani bertanya sedikitpun kepada Yesus. Diserahkan
ke dalam tangan manusia berarti senantiasa siap sedia dan rela
diperlakukan apapun oleh manusia demi keselamatan manusia yang
bersangkutan. Dengan kata lain orang tak mungkin hidup dan bertindak
hanya mengikuti keinginan atau kemauan pribadi, melainkan harus
mengikuti kehendak dan harapan orang lain yang mendambakan kebahagiaan
dan keselamatan terutama jiwanya. Saya kira pada masa kini orang yang
bersikap mental demikian itu tidak banyak, mengingat dan memperhatikan
mereka yang terpanggil untuk menjadi imam, bruder atau suster menurun,
sementara itu cukup banyak mereka yang terpanggil mengundurkan diri
dalam perjalanan. Panggilan menjadi imam, bruder dan suster hemat saya
merupakan salah satu bentuk 'penyerahan diri ke dalam tangan manusia',
dengan kata lain orang sungguh "to be man/woman with/for others". Maka
kepada semuanya kami berharap untuk hidup dan bertindak sosial;
ingatlah, sadarilah dan hayatilah bahwa jati diri sejati kita sebagai
manusia adalah sebagai 'makhluk sosial'. Sikap mental sosial dapat
kita kembangkan dengan solidaritas, yang berarti dengan rendah hati
dan rela memperhatikan dan mengasihi mereka yang kurang beruntung jika
dibandingkan dengan diri kita sendiri. Sikap mental solider dapat kita
hayati dengan melepaskan aneka kebesaran yang kita miliki agar dapat
menjadi sama dengan yang lain, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus,
Penyelamat Dunia, yang 'melepaskan ke AllahanNya' dan menjadi manusia
hina seperti kita kecuali dalam hal dosa.
• "Bersorak-sorailah dan bersukarialah, hai puteri Sion, sebab
sesungguhnya Aku datang dan diam di tengah-tengahmu, demikianlah
firman TUHAN; dan banyak bangsa akan menggabungkan diri kepada TUHAN
pada waktu itu" (Za 2:10-11a). Yang dimaksudkan dengan 'puteri Sion'
kiranya adalah umat Allah, umat beriman. Sebagai umat Allah atau umat
beriman kita diharapkan untuk senantiasa 'bersorak-sorai dan
bersukaria' , karena Tuhan berada di dalam diri kita, hidup dan
berkarya dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini. Orang yang
senantiasa bersorak-sorai dan bersukaria pasti akan menarik dan
mempesona, sehingga banyak orang tergerak untuk mendekat dan
menggabungkan diri. Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk
senantiasa penuh senyum seperti orang gila, serta tidak pernah melukai
atau menyakiti yang lain sedikitpun. Coba perhatikan dan cermati orang
gila: ia senantiasa senyum-senyum dan tak pernah marah, karena
kemarahannya sudah habis atau ditinggalkan atau dilampaui. Karena
Tuhan hidup dan berkarya dalam diri kita serta Ia Maha segalanya, maka
selayaknya mau tak mau kita harus hidup dan bertindak sesuai dengan
perintah dan kehendakNya, dan secara konkret berarti setia kepada
aneka janji yang telah diikrarkan, mentaati dan melaksanakan aneka
tata tertib yang terkait dengan panggilan, tugas pengutusan dan
pekerjaan kita masing-masing. Maka hendaknya dengan segenap hati,
segenap jiwa , segenap akal budi dan segenap tenaga atau tubuh
berusaha keras melaksanakan aneka tata tertib atau aturan. Kerja keras
merupakan salah satu kunci kesuksesan atau keberhasilan dalam
menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan. Orang-orang
sukses di dunia ini adalah orang-orang pekerja keras dalam profesi
atau tugas yang menjadi miliknya. "Bekerja keras adalah sikap dan
perilaku yang suka berbuat hal-hal yang positif dan tidak suka
berpangku tangan serta selalu gigih dan sungguh-sungguh dalam
melakukan sesuatu" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi
Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 10). Kami berharap
anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin dilatih dan dibina untuk
bekerja keras serta dijauhkan dari aneka bentuk pemanjaan, antara lain
dengan teladan konkret dari bapak-ibu atau orangtua.
"Sebab Aku menyertai engkau, demikianlah firman TUHAN, untuk
menyelamatkan engkau: segala bangsa yang ke antaranya engkau
Kuserahkan akan Kuhabiskan, tetapi engkau ini tidak akan Kuhabiskan.
Aku akan menghajar engkau menurut hukum, tetapi Aku sama sekali tidak
memandang engkau tak bersalah." (Yer 30:10-11)
Ign 24 September 2011
(Za 2:1-5.10-11a; Luk 9:43b-45)
"Ketika semua orang itu masih heran karena segala yang diperbuat-Nya
itu, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Dengarlah dan camkanlah
segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan
manusia." Mereka tidak mengerti perkataan itu, sebab artinya
tersembunyi bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memahaminya. Dan
mereka tidak berani menanyakan arti perkataan itu kepada-Nya" (Luk
9:43b-45), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan
sederhana sebagai berikut:
• Yesus datang ke dunia untuk untuk menyelamatkan seluruh umat
manusia, dan untuk itu Ia harus diserahkan ke dalam tangan manusia.
Para murid tidak jelas apa arti 'diserahkan ke dalam tangan manusia'
dan mereka tidak berani bertanya sedikitpun kepada Yesus. Diserahkan
ke dalam tangan manusia berarti senantiasa siap sedia dan rela
diperlakukan apapun oleh manusia demi keselamatan manusia yang
bersangkutan. Dengan kata lain orang tak mungkin hidup dan bertindak
hanya mengikuti keinginan atau kemauan pribadi, melainkan harus
mengikuti kehendak dan harapan orang lain yang mendambakan kebahagiaan
dan keselamatan terutama jiwanya. Saya kira pada masa kini orang yang
bersikap mental demikian itu tidak banyak, mengingat dan memperhatikan
mereka yang terpanggil untuk menjadi imam, bruder atau suster menurun,
sementara itu cukup banyak mereka yang terpanggil mengundurkan diri
dalam perjalanan. Panggilan menjadi imam, bruder dan suster hemat saya
merupakan salah satu bentuk 'penyerahan diri ke dalam tangan manusia',
dengan kata lain orang sungguh "to be man/woman with/for others". Maka
kepada semuanya kami berharap untuk hidup dan bertindak sosial;
ingatlah, sadarilah dan hayatilah bahwa jati diri sejati kita sebagai
manusia adalah sebagai 'makhluk sosial'. Sikap mental sosial dapat
kita kembangkan dengan solidaritas, yang berarti dengan rendah hati
dan rela memperhatikan dan mengasihi mereka yang kurang beruntung jika
dibandingkan dengan diri kita sendiri. Sikap mental solider dapat kita
hayati dengan melepaskan aneka kebesaran yang kita miliki agar dapat
menjadi sama dengan yang lain, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus,
Penyelamat Dunia, yang 'melepaskan ke AllahanNya' dan menjadi manusia
hina seperti kita kecuali dalam hal dosa.
• "Bersorak-sorailah dan bersukarialah, hai puteri Sion, sebab
sesungguhnya Aku datang dan diam di tengah-tengahmu, demikianlah
firman TUHAN; dan banyak bangsa akan menggabungkan diri kepada TUHAN
pada waktu itu" (Za 2:10-11a). Yang dimaksudkan dengan 'puteri Sion'
kiranya adalah umat Allah, umat beriman. Sebagai umat Allah atau umat
beriman kita diharapkan untuk senantiasa 'bersorak-sorai dan
bersukaria' , karena Tuhan berada di dalam diri kita, hidup dan
berkarya dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini. Orang yang
senantiasa bersorak-sorai dan bersukaria pasti akan menarik dan
mempesona, sehingga banyak orang tergerak untuk mendekat dan
menggabungkan diri. Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk
senantiasa penuh senyum seperti orang gila, serta tidak pernah melukai
atau menyakiti yang lain sedikitpun. Coba perhatikan dan cermati orang
gila: ia senantiasa senyum-senyum dan tak pernah marah, karena
kemarahannya sudah habis atau ditinggalkan atau dilampaui. Karena
Tuhan hidup dan berkarya dalam diri kita serta Ia Maha segalanya, maka
selayaknya mau tak mau kita harus hidup dan bertindak sesuai dengan
perintah dan kehendakNya, dan secara konkret berarti setia kepada
aneka janji yang telah diikrarkan, mentaati dan melaksanakan aneka
tata tertib yang terkait dengan panggilan, tugas pengutusan dan
pekerjaan kita masing-masing. Maka hendaknya dengan segenap hati,
segenap jiwa , segenap akal budi dan segenap tenaga atau tubuh
berusaha keras melaksanakan aneka tata tertib atau aturan. Kerja keras
merupakan salah satu kunci kesuksesan atau keberhasilan dalam
menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan. Orang-orang
sukses di dunia ini adalah orang-orang pekerja keras dalam profesi
atau tugas yang menjadi miliknya. "Bekerja keras adalah sikap dan
perilaku yang suka berbuat hal-hal yang positif dan tidak suka
berpangku tangan serta selalu gigih dan sungguh-sungguh dalam
melakukan sesuatu" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi
Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 10). Kami berharap
anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin dilatih dan dibina untuk
bekerja keras serta dijauhkan dari aneka bentuk pemanjaan, antara lain
dengan teladan konkret dari bapak-ibu atau orangtua.
"Sebab Aku menyertai engkau, demikianlah firman TUHAN, untuk
menyelamatkan engkau: segala bangsa yang ke antaranya engkau
Kuserahkan akan Kuhabiskan, tetapi engkau ini tidak akan Kuhabiskan.
Aku akan menghajar engkau menurut hukum, tetapi Aku sama sekali tidak
memandang engkau tak bersalah." (Yer 30:10-11)
Ign 24 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar