Yang Penting Rasanya Bung: Soal Kematangan Pribadi Kita...
Meski pekarangan rumah kami tidak begitu besar, ibu saya menanam beberapa pohon kopi untuk konsumsi sendiri. Suatu kali saya melihat beliau memungut beberapa biji kopi yang jatuh, membersihkan, bahkan menciumnya sebelum mengembalikannya ke tungku di mana biji kopi itu ditumbuk menjadi bubuk kopi. Saya bisa mengerti tindakan ibu saya ini, apalagi mengingat bahwa dia merawat tanaman kopi ini dengan tekun. Saya harus akui juga bahwa dia tidak hanya menanam, memetik, tapi juga membentuk relasi yang unik dengan-nya. Antara kopi buatan sendiri dan kopi instan, menurutnya, perbedaannya besar sekali. Kopi asli aroma lebih harum dan rasanya lebih enak. Relasi antara pohon, cabang, ranting anggur dan bahkan pemilik anggur itu sendiri,dipakai Yesus untuk menggambarkan hubungannya dengan para murid atau orang-orang yang percaya pada-Nya. Perumpamaan ini disampaikan Yesus pada para muridnya menjelang perpisahannya dengan para murid dan perpisahan itu – yang juga disadari oleh para murid- melahirkan pertanyaan serius tentang kontinuitas, atau kelanjutan relasi itu pun bahkan ketika Yesus tidak lagi bersama mereka. Yesus merumuskan relasi-Nya dengan para murid dan mereka yang percaya pada-Nya sebagai hubungan antara pokok anggur dan ranting-ranting-Nya. “Sama seperti ranting tidak akan menghasilkan buah jika ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikianpun kamu, jika kamu tidak tinggal padaku kamu tidak akan menghasilkan buah”.
Tinggal yang dimaksudkan Yesus tidak sama artinya dengan bersarang/nesting, atau hidup seperti parasit dengan ketergantungan pasif. Tinggal pada Yesus berarti menyatu dengan-Nya sama seperti ranting menyatu pada pohon. Tinggal padanya tidak lain percaya pada-Nya, seperti ranting yang tidak pernah ragu bahwa pokok anggur selalu berpaut padanya dan memberinya kehidupan. Percaya pada cinta-Nya yang menghidupkan, pun ketika Dia tidak lagi bersama kita. Yesus mau menjamin para murid bahwa pun ketika Dia tidak lagi bersama mereka secara fisik, Dia tetap hadir dengan cara yang lain.
Saya selalu membayangkan bahwa buah selalu mengandung, selalu membawa dalam dirinya kualitas, sifat dari pohonnya walaupun kita sering kita tidak pernah lagi memikirkan hubungan buah-buah itu dengan pohonnya ketika kita memakannya. Waktu kita makan apel atau anggur, kita jarang langsung membayangkan pada saat yang sama, pohon-pohonya. Dari biji-bijian buah itu kita bisa mengembangbiakkan atau menanam lagi pohon untuk menghasilkan buah yang sama. Yesus menjamin kehadiran-nYa yang stabil dan konstan dengan dan melalui Ekaristi, di mana kita merenungkan dan merayakan misteri cinta-Nya yang abadi.
Lukisan abad 17 yang saya sediakan untuk anda dalam tulisan ini, la fontaine de vie, atau mata air kehidupan, dilukis seorang flamandia anonim nampaknya pas untuk menjelaskan lebih lanjut maksud saya tadi. Dalam lukisan ini, darah tercurah dari lambung ke dalam wadah berisi buah anggur. Lukisan ini tentu menjelaskan misteri salib dalam ekaristi yang kita sambut. Dalam ekaristi kita menerima kehidupan yang dicurahkan Kristus lewat kematian-Nya di salib. Salib di rumah kita, yang kita pakai atau sebagai tanda yang kerap kali kita gunakan untuk berdoa mengingatkan kita akan pokok anggur, yakni Yesus dalam ekaristi.
Tinggal pada Yesus bukanlah sebuah ketergantungan pasif, melainkan akfif. Tinggal padanya berarti ambil bagian dalam misteri salib-Nya sebab kristus tersalib itu adalah pohon kehidupan yang benar, sumber dan jawaban terbaik bagi masalah hidup kita. Salib bukan hanya simbol tapi sebuah prinsip hidup Kristiani yakni cinta yang penuh kerja keras dan pengorbanan, yang sabar, yang murah hati, dan memberi diri tanpa syarat. Inilah makanan rohani yang membuat kita matang sebagai manusia.
Matang Karbitan?
Kita seringkali mendapati diri kita mencari keadaan matang yang berbeda dari yang ditawarkan Kristus, atau mencari kematangan pada sumber lain seperti ranting yang terperangkap dalam kepungan parasit. Atau kita membiarkan diri dipetik orang lain sebelum waktunya, untuk kemudian diperam dan dijual (dan setelah dimakan, kemudian dibuang ke sampah). Kematangan ini termanifestasi misalnya dalam ketergantungan baru yang saya sebut sebagai ketergantungan teknologi. Kita sulit menolak menjawab panggilan hp pun ketika kita sedang bicara serius dengan seseorang atau dengan kelompok orang. Teknologi dan ketergantungan kita padanya menginterupsi kehangatan hubungan kita. Kita didikte oleh sifat teknologi yang serba cepat: mesti cepat dijawab, mesti cepat ngikuti model barang ini barang itu, dan seterusnya sementara pelan-pelan tak terasa mutu relasi kita dengan orang lain mulai kendur. Ketergantungan pada chatting pada jam kerja pelan-pelan merusak perhatian dan mutu kerja anda. Rasanya kisah ini mengajak kita merenungkan sejauh mana ketergantungan kita pada teknologi, dan sejauh mana pula waktu dan kualitas hubungan kita dengan Tuhan terpengaruh olehnya.
Seperti buah-buah yang matang karena diperam, disuntik, diawetkan, kita sering mengharapkan kematangan yang berbeda yang diharapkan Yesus. Kita menolok kerja keras, ketekunan dan kesetiaan dalam kerja atau dalam menyelesaikan persoalan rumit kita. Lebih suka kita memilih jiplak, mencari mbah dukun, atau mengorbankan waktu yang tidak semestinya kita pakai untuk menyelesaikan pekerjaan kita yang tertunda. Kita matang karbitan dan sekaligus rapuh rasa dan pelan-pelan membusuk ‘dari dalam’. Inilah ancaman yang amat dekat dengan kita sekarang ini yang sudah masuk di sekolah, tempat kerja hingga kamar dan tempat tidur intim kita. Kita dalam bahaya sedang menjadi buah yang tak lagi enak, penuh cita rasa asli bagi sesama kita. Injil hari ini mengundang kita untuk kembali pada sumber, persekutuan kita dengan Yesus yang menjadi dasar kematangan kita bagi yang lain.
Pesan kebangkitan hingga minggu ke lima masa paskah ini jelas. Yesus yang bangkit hadir melalui buah-buah manis dan indah yang kita terima malalui kesaksian Gereja dan tokoh-tokoh iman sederhana seperti ibu saya tadi. Kita dipanggil untuk tetap menjaga kualitas baik buah kehidupan ini. Kita dipanggil pada saat yang sama menjadi benih baru bagi pohon baru untuk dunia.
Yang penting rasanya Bung...!
Tinggal yang dimaksudkan Yesus tidak sama artinya dengan bersarang/nesting, atau hidup seperti parasit dengan ketergantungan pasif. Tinggal pada Yesus berarti menyatu dengan-Nya sama seperti ranting menyatu pada pohon. Tinggal padanya tidak lain percaya pada-Nya, seperti ranting yang tidak pernah ragu bahwa pokok anggur selalu berpaut padanya dan memberinya kehidupan. Percaya pada cinta-Nya yang menghidupkan, pun ketika Dia tidak lagi bersama kita. Yesus mau menjamin para murid bahwa pun ketika Dia tidak lagi bersama mereka secara fisik, Dia tetap hadir dengan cara yang lain.
Saya selalu membayangkan bahwa buah selalu mengandung, selalu membawa dalam dirinya kualitas, sifat dari pohonnya walaupun kita sering kita tidak pernah lagi memikirkan hubungan buah-buah itu dengan pohonnya ketika kita memakannya. Waktu kita makan apel atau anggur, kita jarang langsung membayangkan pada saat yang sama, pohon-pohonya. Dari biji-bijian buah itu kita bisa mengembangbiakkan atau menanam lagi pohon untuk menghasilkan buah yang sama. Yesus menjamin kehadiran-nYa yang stabil dan konstan dengan dan melalui Ekaristi, di mana kita merenungkan dan merayakan misteri cinta-Nya yang abadi.
Lukisan abad 17 yang saya sediakan untuk anda dalam tulisan ini, la fontaine de vie, atau mata air kehidupan, dilukis seorang flamandia anonim nampaknya pas untuk menjelaskan lebih lanjut maksud saya tadi. Dalam lukisan ini, darah tercurah dari lambung ke dalam wadah berisi buah anggur. Lukisan ini tentu menjelaskan misteri salib dalam ekaristi yang kita sambut. Dalam ekaristi kita menerima kehidupan yang dicurahkan Kristus lewat kematian-Nya di salib. Salib di rumah kita, yang kita pakai atau sebagai tanda yang kerap kali kita gunakan untuk berdoa mengingatkan kita akan pokok anggur, yakni Yesus dalam ekaristi.
Tinggal pada Yesus bukanlah sebuah ketergantungan pasif, melainkan akfif. Tinggal padanya berarti ambil bagian dalam misteri salib-Nya sebab kristus tersalib itu adalah pohon kehidupan yang benar, sumber dan jawaban terbaik bagi masalah hidup kita. Salib bukan hanya simbol tapi sebuah prinsip hidup Kristiani yakni cinta yang penuh kerja keras dan pengorbanan, yang sabar, yang murah hati, dan memberi diri tanpa syarat. Inilah makanan rohani yang membuat kita matang sebagai manusia.
Matang Karbitan?
Kita seringkali mendapati diri kita mencari keadaan matang yang berbeda dari yang ditawarkan Kristus, atau mencari kematangan pada sumber lain seperti ranting yang terperangkap dalam kepungan parasit. Atau kita membiarkan diri dipetik orang lain sebelum waktunya, untuk kemudian diperam dan dijual (dan setelah dimakan, kemudian dibuang ke sampah). Kematangan ini termanifestasi misalnya dalam ketergantungan baru yang saya sebut sebagai ketergantungan teknologi. Kita sulit menolak menjawab panggilan hp pun ketika kita sedang bicara serius dengan seseorang atau dengan kelompok orang. Teknologi dan ketergantungan kita padanya menginterupsi kehangatan hubungan kita. Kita didikte oleh sifat teknologi yang serba cepat: mesti cepat dijawab, mesti cepat ngikuti model barang ini barang itu, dan seterusnya sementara pelan-pelan tak terasa mutu relasi kita dengan orang lain mulai kendur. Ketergantungan pada chatting pada jam kerja pelan-pelan merusak perhatian dan mutu kerja anda. Rasanya kisah ini mengajak kita merenungkan sejauh mana ketergantungan kita pada teknologi, dan sejauh mana pula waktu dan kualitas hubungan kita dengan Tuhan terpengaruh olehnya.
Seperti buah-buah yang matang karena diperam, disuntik, diawetkan, kita sering mengharapkan kematangan yang berbeda yang diharapkan Yesus. Kita menolok kerja keras, ketekunan dan kesetiaan dalam kerja atau dalam menyelesaikan persoalan rumit kita. Lebih suka kita memilih jiplak, mencari mbah dukun, atau mengorbankan waktu yang tidak semestinya kita pakai untuk menyelesaikan pekerjaan kita yang tertunda. Kita matang karbitan dan sekaligus rapuh rasa dan pelan-pelan membusuk ‘dari dalam’. Inilah ancaman yang amat dekat dengan kita sekarang ini yang sudah masuk di sekolah, tempat kerja hingga kamar dan tempat tidur intim kita. Kita dalam bahaya sedang menjadi buah yang tak lagi enak, penuh cita rasa asli bagi sesama kita. Injil hari ini mengundang kita untuk kembali pada sumber, persekutuan kita dengan Yesus yang menjadi dasar kematangan kita bagi yang lain.
Pesan kebangkitan hingga minggu ke lima masa paskah ini jelas. Yesus yang bangkit hadir melalui buah-buah manis dan indah yang kita terima malalui kesaksian Gereja dan tokoh-tokoh iman sederhana seperti ibu saya tadi. Kita dipanggil untuk tetap menjaga kualitas baik buah kehidupan ini. Kita dipanggil pada saat yang sama menjadi benih baru bagi pohon baru untuk dunia.
Yang penting rasanya Bung...!
ronald,sx
Yaoundé-Cameroun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar