Tak terasa kita sudah tiba di minggu Adven III, sebuah langkah iman untuk memenuhi undangan nabi Yesaya pada minggu I: "marilah kita naik ke gunung Tuhan, supaya ia mengajarkan kita jalan-jalannya dan supaya kita berjalan menyongsongnya" (yesaya 2:1-5).
Adven - jika dihayati dengan sungguh -bagaikan sebuah perjalanan naik menuju puncak, perjalanan nan melelahkan, apalagi jika untuk naik kita harus melewati jalanan yang terjal, becek penuh semak belukar. Ketika jalanan-jalanan hutan dan bukit lenyap diganti dengan aspal, highway serta infrastruktur transportasi yang makin canggih, pengalaman naik gunung, pengalaman ke puncak menjadi pengalaman yang langka. Lebih buruk lagi, pengalaman ini toh tidak selalu didambakan, sebab dengan Honda VVT atau Inova yang nyaman kita bisa menghindari sulitnya pengalaman ke puncak dengan terlelap dalam lindungan air conditioner lalu terjaga dan tiba-tiba sampai.
Kalau mau jujur, dengan segala kemudahan yang kita terima dari kemajuan teknologi tidak sedikit dari kita yang lebih suka memburu yang enak dan nyaman; sedapat, semudah dan secepat mungkin mencapai hasil tanpa harus merugi atau mengalami sakit. Ini mirip dengan prinsip ekonomi dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya sedapat mungkin mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Dan memang prinsip itu sedang menjadai jawara baru yang melumat habis prinsip dan keutaman luhur seperti kejujuran, kerja keras, pengorbanan dll.
Saya bukannya pesimistis sama teknologi, bukan! Saya mengajak anda dalam segala dimensi hidup anda, menyadari fungsi teknologi sebagai sarana, tool, vehicle dan tidak pernah menggantikan peran utama kita sebagai aktor kehidupan. Untuk mendaki gunung pun kita tetap butuh sarana, sepatu yang kuat, tali dan tongkat, simpul plus bekal secukupnya untuk makan/minum.
Lalu, hal apa gerangan yang telah mendorong cukup banyak orang, termasuk para penakluk-penakluk gunung yang terkemuka, untuk mendaki gunung? Saya yakin satu hal yang sama adalah ketika melihat bukit, gunung dan puncak hampir semua seolah-olah dipanggil untuk naik agar kita bisa melihat hal-hal lain yang belum kita ketahui di tempat lain secara lebih baik, agar kita juga bisa melihat tempat kita berada secara lebih luas daripada ketika kita sedang berada di bawah – ketika padangan kita terbatas.
Naik ke puncak gunung adalah gambaran lain dari transendensi, kita mau melampaui diri kita. Puncak gunung nampak seperti mengundang dan menarik kita untuk mengalami dan merasakan cakrawala/sikap pandang luas seperti yang dimilikinya.
Di gunung kita bisa menyaksikan munculnya mentari secara lebih luas, matahari pertama, dan kita bisa memandang kenyatan di bawah kita, termasuk di tempat di mana kita pernah berdiri dan hidup secara lebih berbeda, dengan detail yang lebih lengkap, juga hubungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.
Saya yakin kata-kata nabi Yesaya tidak salah untuk melukiskan perjumpaan dengan Tuhan. Adven adalah perjalanan naik gunung menyongsong dan berjumpa dengan sebuah cakrawala mahaluas yakni Allah sendiri. Perayaan Natal adalah kedatangan cakrawala dan matahari baru. Natal mengundang kita meraih sebuah cara hidup baru seperti Allah, yang datang dan lahir sebagai manusia hina, lalu nanti akan berjuang dan menderita bersama manusia, dan kemudian mati sebagai manusia hina pula untuk mengangkat dan memuliakan kita.
Untuk memperoleh cakrawala baru, kita mesti berjalan naik, menyusuri semak belukar kekuatiran, melewati tanah lapang dan tempat teduh kesenangan yang sebentar-sebentar kita temui dalam perjalanan sekaligus menolak godaan untuk menjadikan tempat teduh sementara itu sebagai puncak; bahkan godaan untuk berhenti dan berbalik arah. “Dengan akal dan kebebasan kita”, saya mengutip Paus Benedictus dalam ensiklik terbarunya spe salvi, “ sudah cukup bagi kita untuk menciptakan keselamatan bagi diri kita sendiri. Uang, materi dengan segala manifestasinya (teknologi dan kemajuan) adalah penyelamat baru, pemberi rasa aman baru…Ini adalah instrumen paling mumpuni bagi the kingdom of human. Perjalanan ini karenanya berbahaya…
Akan tetapi, tidak perlu terlalu banyak memberi tempat untuk kekuatiran karena kita berjalan tidak tanpa tuntunan. Tuhan sendiri yang menuntun kita. Dialah puncak, yang sudah berdiri di kejauhan menjulur tinggi memandu kita.Kita tahu dan yakin akan tiba di puncak, di kota Allah kita. Membaca dan merenungkan kitab suci adalah pemandu yang tidak kala pentingnya. Kitab suci yang direnungkan bagaikan navigasi atau peta perjalanan untuk sampai ke puncak. Dalam perjalanan ini kita mesti melepaskan hal-hal yang tidak perlu dan menghalangi perjalanan. Itu bisa saja kecenderungan dan kebiasaan buruk yang lama-lama berbuah dosa. Maka Adven menjadi kesempatan penting untuk merayakan sakramen rekonsiliasi. Sudahkah anda merayakannya? Kalau belum, carilah waktu untuk itu.
Saya mendoakan anda untuk tidak melewatkan begitu saja perjalanan mengasyikkan ini untuk nanti memperoleh cara hidup baru, cara hidup Yesus sendiri.
Saya mau menutup renungan minggu ini dengan apa yang ditulis penyair Walt Whitman dalam sajaknya songs of the open road. Dalam sajak ini meski tidak langsung bicara tentang gunung, bait-baitnya hampir sama berkisah tentang pengalaman perjumpaan dengan Tuhan, si open road, si Cakrawala Kehidupan yang membuat kita kelak bisa menghayati hidup ini dengan bahagia.
A foot and light-hearted, I take to the open road,
Healthy, free, the world before me,
The long brown path before me, leading wherever I choose.
You road I enter upon and look around! I believe you are not all that is here;
I believe that much unseen is also here.
Here the profound lesson of reception, neither preference or denial;
The black with his woolly head, the felon, the diseas’d, the illiterate person, are not denied;
You air that serves me with breath to speak!
You objects that call from diffusion my meanings, and give them shape!
You light that wraps me and all things in delicate equable showers!
You paths worn in the irregular hollows by the roadsides!
I think you are latent with unseen existences—you are so dear to me.
Salam,
Ronald,s.x.
Minggu, 16 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2007
(249)
-
▼
Desember
(50)
- NEW YEAR RESOLUTION
- NEW YEAR RESOLUTION
- Alkitab, Kuno?
- Alkitab, Kuno?
- Sebelum Satu, Dua dan Tiga ...Auld Lang Syne untukmu
- Sebuah Pengorbanan
- Sebuah Pengorbanan
- SENTUH HATIKU (LIRIK LAGU ROHANI)
- Hati Nurani
- Hati Nurani
- Mendengarkan Hujan, merayakan pengharapan
- Kesaksian Seorang Pembuat Permen
- Omnipresent
- Omnipresent
- Sekantung kue
- Lonely
- Lonely
- Natal Putih, Tidak Seputih Kisah Hidup Irving Berlin
- Otoritas
- Otoritas
- The Mistery of the Almighty
- The Mistery of the Almighty
- Boneka untuk Adikku
- HADIAH NATAL YANG MAHAL
- Miskin di Hadapan Tuhan
- Miskin di Hadapan Tuhan
- Selamat Datang di Renungan Harian Online
- Selamat Datang di Renungan Harian Online
- Injil Menurut Toko Serba Ada (The Gospel According...
- Akulah Kembang Perawan
- Penantian Panjang
- Malam Saat Lonceng Berdentang
- Bunga Cinta Lestari
- BEBAN BERAT DI SAAT NATAL
- Menuju Puncak
- Permohonan Gadis kecil
- Letter from JESUS
- Oh…Lucia, O.. Lucy…Catatan tentang Hospitalitas
- Kasih Bapa
- The Golden Compass
- Berikan Aku Seorang Ayah
- Sebuah Penantian (My Hope Indonesia )
- Ajarilah Anak-anak Arti Natal yang Sebenarnya
- Menunggumu, Merindumu...
- Tukang Arloji - Cerita Natal
- Ibu bermata satu
- Does God Cry?
- Tidak Akan Melepaskanmu
- Memaafkan..........
- Hargai Waktu
-
▼
Desember
(50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar