Hari masih pagi. Seorang pemuda tertunduk terisak-isak di pojok rumah saya. Badannya kurus, tinggi, berkulit hitam. Kacamata minus menempel di atas hidungnya. Saya mendekatinya dan bertanya, "Ada apa, Mas?"
Dia mengangkat wajahnya. Pipinya basah oleh air mata. "Saya kehabisan uang," katanya lirih.
"Ceritanya bagaimana, sih ?" tanya saya lebih lanjut.
"Saya bekerja di Wonosobo dan mau pulang ke Surabaya. Waktu turun dari mobil travel, tiba-tiba ada yang menepuk pundak saya. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Begi sadar, uang di dompet sudah lenyap," ceritanya.
"Nama Mas siapa?" tanya saya. "Yohanes" jawabnya pendek. Saya melirik, ada kalung salib besar terbuat dari kayu di lehernya.
"Mas kok bisa sampai di sini?" tanya saya. "Saya jalan kaki dari Jogja," jawabnya. Saya agak ragu dengan ceritanya. Mungkinkah dia berjalan lebih dari 20 km? Saya melirik bawaannya. Dia menjinjing tas koper besar. Di punggungnya ada tas ransel. Benarkah dia kehabisan uang? Jangan-jangan ini hanya taktik penipuan.
Namun, saya lalu teringat kotbah pendeta Petrus Sukadi: "Jangan menahan kebaikan! Selagi kita masih bisa melalukan kebaikan, jangan pernah menahannya."
Saya juga ingat nasihat teman saya, Pak Xavier, "Tugas kita adalah memberi selama kita mampu. Soal, apakah cerita orang itu benar atau bohong, itu urusan dia dengan Tuhan. "
Ah, benar juga!
Saudara, Tuhan menganugerahkan berkat kepada kita. Berkat itu tidak untuk dinikmati sendiri, tapi juga untuk disalurkan kepada oran lain. Dengan begitu, orang lain juga dapat menikmati kebaikan Tuhan.
Setiap kali ada kesempatan untuk berbagi berkat, mari kita lakukan dengan sukacita!
Diambil dari Renungan Blessing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar