Sehari penuh di museo vaticana pada Agustus tahun kemaren tidak bisa saya lupakan. Kapel sistina dengan kubah indah yang diukir Raphael berhasil saya potret di tengah pengawalan ketat petugas Vatican. Saya harus membayarnya dengan menerima caci maki petugas-petugas itu. Bukan hanya di Sistina, tapi di mana-mana kita bisa temukan gambar atau lukisan wajah Yesus, orang-orang kudus serta peristiwa-peristiwa kitab suci.
Umumnya dalam tradisi agama semitik, gambar atau lukisan-lukisan seperti itu diharamkan. Monoteisme total menolak manifestasi semacam itu. Allah tak terbatas dan tak berhingga. Jadi tak mungkin diungkapkan dalam gambar. Wajar jika akan sangat sulit anda temukan gambar atau potret Tuhan di sinagoga-sinagoga atau di rumah ibadah agama moneteistik lainnya.
Kristianisme sama sekali tidak menyangkal kebenaran itu dan tidak pernah memaksudkan gambar atau lukisan itu sebagai identifikasi total diri Allah, walaupun harus diakui di zaman lampau pengkultusan tak dihindari. Tradisi menggambar wajah Tuhan dan seluruh peristiwa kitab suci lainnya terus hidup sebagai ungkapan iman, dan bahkan bentuk lain dari sebuah tafsir atas kitab suci yang dalam taraf tertentu membantu kita menghayati hidup kita.
Bincang-bincang soal wajah, Thomas Aquinas telah lama mengingatkan kita kalau Tuhan itu sebenarnya simple saja (dalam Keith Ward, God Guide for the Perplexed, p.51). Bukan dalam arti bahwa ia begitu mudah dipahami, melaikan justru sebaliknya, tak terbagi dan bahasa kita yang terbatas tak sanggup melukiskan Dia yang tak terbatas.
Apa yang lama ditulis Aquinas mengingatkan saya pada pesta yang hari ini kita rayakan, pesta pembabtisan Tuhan, yang menutup masa natal sekaligus membuka kembali minggu biasa. Arti, Tuhan itu simple rasanya jauh lebih mendalam dimengerti melalui peristiwa penting ini.
Yesus datang, berdiri dan ikut antri dengan banyak orang (berdosa) yang datang kepada Yohanes untuk dibabtis. Injil Markus menempatkan kisah pembabtisan ini (Markus 1:9-11) sebagai kunci membaca Injilnya. Kunci itu adalah mengenal siapakah Yesus. Yesus turun ke sungai Yordan dan memberi diri-Nya dibabtis. Dua adegan ini, antrinya Yesus dan turunnya Yesus ke dalam sungai mengungkapkan siapakah Allah. Allah sedemikian mengasihi manusia sehingga Ia ikut antri, ikut solider dengan kita. Ia turun, membiarkan dirinya basah oleh kesalahan kita, menanggung semua dosa kita supaya kita diselamatkan. Keluarnya Yesus dari air adalah ungkapan hidup baru yang kita terima berkat penderitaan-Nya di tengah kita. Kita menerima berkat yang sama yang diterima Yesus dalam pembabtisan kita: “Engkaulah Anak-Ku yang terkasih, kepadamulah Aku berkenan” (ayat 11). Kita dikasihi, kita dicintai, kita tidak dihukum, dirajam, dibakar, dan seterusnya...
Peristiwa solidaritas Allah yang terungkap dalam kisah pembantisan ini uniknya kita rayakan persis setelah pesta Epifani, pesta penampakan Tuhan. Ini tidak salah karena pembabtisan Tuhan, samahalnya Epifani adalah sebuah theofany, penampakan wajah Tuhan di tengah manusia yang merindukan keselamatan. Bagi saya, the simplictiy of God, mesti dipahami dalam artian ini: Tuhan yang antri dengan orang berdosa, yang menderita dan akhirnya mati bagi kita. Inilah wajah Allah yang ditampakkan Yesus melalui peristiwa penting ini.
Wajah Allah seperti inilah yang mesti terus kita wartakan pada dunia, dunia yang seringkali atas nama Tuhan membunuh satu sama lain. Pesta pembatisan Tuhan pantas menjadi momentum untuk berkomitmen berjuang bagi perdamaian di sekitar kita.
Ronald,sx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar