Dua hari lalu, saya menjadi saksi mata perang mulut antara seorang perempuan dengan sopir taksi yang saya tumpangi. Kami hendak ke kota, dan tentu semua orang memang hendak bergegas ke kota membeli apa-apa yang perlu untuk pesta natal. Kemacetan menggoda banyak sopir saling mendahului sampai-sampai menjadikan trotoar jalan baru, tak terkecuali taksi kami ini. Seorang ibu bersetelan hitam-hitam dengan keranjang di tangan melangkah di bawah terik matahari, sementara taksi kami merengsek maju di trotoar yang sama. Merasa seperti dihalang-halangi, sang supir mengumpat dan mencaci maki ibu yang tak berdosa ini. Jadilah perang mulut. Saya merasa makin tak nyaman ketika supir di samping saya itu mengeluarkan kata-kata kotor dan merendahkan sang ibu.
Perempuan dengan keranjang roti itu mengingatkan saya pada Naomi, yang meninggalkan Bethlehem karena bencana kelaparan menuju negeri asing, Moab. Kedua anaknya menikahi dua perempuan Moab, di antaranya Ruth. Ketika kelaparan usai, Naomi ingin kembali ke Bethlehem. Hanya Ruth yang memutuskan pergi menemani mertuanya. Yang seorang lagi memilih tinggal. Sebab, semenjak kedua anaknya meninggal, Naomi minta pada kedua menantunya untuk tetap tinggal dan menikah lagi. Ruth ingin bekerja menafkahi Naomi. Mereka kembali ke Bethlehem dan keduanya bekerja sebagai buruh panen di ladang gandum Boaz. Anda saya biarkan terus membaca kisah yang mengagumkan ini; bukan hanya tentang cinta antara Ruth dan Boaz; tapi tentang agungnya cinta itu sendiri, sebagai penerimaan dan penyambutan tanpa syarat; ketika orang asing menjadi saudara; ketika perempuan dilihat sebagai ibu dan saudari; bukan untuk dicaci atau dieksploitasi.
Bethlehem dalam bahasa Ibrani berarti Rumah Roti. Peremuan dengan keranjang dan juga kisah Ruth adalah tragedi; ketika kita melihat masih banyak orang yang kelaparan di negeri sendiri; menjadi asing di negeri kelahirannya, seperti sang bayi Natal yang ditolak di kotanya. Natal tak bisa dipisahkan dari Ekaristi. Natal bagi saya adalah pesta roti dan rumah untuk semua. Tuhan tidak hanya menjadi manusia, tapi ia menjadi roti ekaristi yang kita sambut setiap hari; menjadi yang paling lapar dan paling lemah yang mesti kita cintai setiap hari. Ibu dengan keranjang tadi, akhirnya mengalah dan melangkah pergi. Di tengah hiruk pikuk orang, hanya satu kata yang terdengar jelas di telinga: Natal. Saya pikir, karena Natal lah sang ibu mengalah dan mengampuni supir yang bagi saya tak seharusnya diampuni itu. Tuhan, biarlah kuisi keranjang hidupku dengan kelahiranmu, dengan hidupmu, dengan cinta ekaristi, ketika hatiku menjadi roti dan rumah bagi semua.
Selamat Merayakan Natal
ronald tardelly
Tidak ada komentar:
Posting Komentar