"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku"
Mg Biasa XII: Za.12: 10-11; 13:1; Gal 3: 26-29; Luk 9:18-24
"Jumlah perceraian di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Data terakhir hasil perhitungan Kementrian Agama RI mencatat terjadinya 250 ribu kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2009. Angka ini setara dengan 10% dari jumlah pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2,5 juta. Jumlah perceraian tersebut naik 50 ribu kasus dibanding tahun 2008 yang mencapai 200 ribu perceraian. "Jumlah perceraian di Indonesia terus menunjukkan peningkatan," tutur Direktur Jenderal Bimbingan Islam Kementerian Agama, Nasaruddin Umar di Jakarta, Kamis (25/2). Pada periode 5-10 tahun lalu, di Indonesia hanya terjadi 20 ribu hingga 50 ribu kasus perceraian per tahun. Fakta lain dari kasus perceraian yang tercatat pun menunjukkan adanya pergeseran bentuk perceraian. Sekitar 70 persen perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama adalah cerai gugat. "Data tersebut juga menunjukkan trend pergeseran kasus cerai di mana istri yang menggugat cerai," tutur Nasaruddin. Meningkatnya angka perceraian ini disebabkan oleh 14 faktor. Di antaranya cerai karena pilkada dan politik, perselingkuhan oleh istri yang angkanya naik drastis, kawin di bawah umur, dan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan kasus cacat karena kecelakaan sepeda motor juga menjadi salah satu dari 14 faktor penyebab perceraian di Indonesia." (republika.co.id, 26/2/2010). Saya kutipkan berita di atas ini sebagai jalan masuk untuk merenungkan sabda Yesus dalam Warta Gembira hari ini.
"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya." (Luk 9:23-24)
Pada saat orang berjanji untuk mengakui jati dirinya yang baru, misalnya menjadi suami-isteri, imam, bruder atau suster, dengan saling berjanji atau berjanji kepada Tuhan dan pembesar, pada umumnya bangga dan mantap. Calon suami-isteri berjanji saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati, imam berjanji untuk hidup tidak menikah dan hanya mau mengabdi Tuhan saja melalui GerejaNya, sedang para anggota Lembaga Hidup Bakti berkaul untuk hidup murni, miskin dan taat. Ketika mengakui atau menyatakan dengan kata-kata sungguh mantap, namun seiring dengan perjalanan waktu apa yang dijanjikan tersebut mengalami erosi, karena orang tidak bersedia untuk `menyangkal diri atau kehilangan nyawanya' .
Setia pada iman dan panggilan memang tidak mudah, sarat dengan godaan, tantangan, masalah dan hambatan. Senjata untuk menghadapi godaan, tantangan, masalah dan hambatan tidak lain adalah `menyangkal diri dan kehilangan nyawa', yang berarti hidup dan bertindak tidak mengikuti keinginan dan selera pribadi, melainkan mengikuti kehendak Ilahi, yang antara lain tercermin dalam aneka aturan dan tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing atau spiritualitas/charisma/visi pendiri. "Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur – Balai Pustaka, Jakarta 1997, hal 24). Marilah kita angkat dan kenangkan kembali perjanjian-perjanjian yang telah kita buat! Hendaknya cara hidup dan cara bertindak kita senantiasa ditatapkan pada perjanjian yang telah kita buat, entah janji baptis, perkawinan, imamat, membiara maupun pekerja atau pelajar.
Kita semua mendambakan keselamatan atau kebahagiaan sejati selama di dunia ini maupun di akhirat nanti. Kami mengajak kita semua untuk saling membantu dan mengingatkan perihal penghayatan atau pelaksanaan janji masing-masing. Pada kesempatan ini kami juga mengingatkan kepada para pakar dalam ilmu atau pengetahuan apapun, hendaknya dengan rendah hati berusaha menghayati apa yang dipelajari dan dikuasainya secara intelektual. Jangan sampai terjadi; mengaku pakar komunikasi tetapi tak komunikatif, mengaku pakar pendidikan tak mampu mendidik, mengaku pakar budi pekerti tak bermoral, dst… Semoga para pekerja sungguh bekerja, para pelajar sungguh belajar, dst…
"Jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah." (Gal 3:29)
Bapa Abraham adalah bapa umat beriman, maka bagi umat beriman tidak ada perbedaan dalam penghayatan hidup sehari-hari, apalagi iman lebih dihayati daripada dibicarakan atau menjadi bahan diskusi. Keunggulan hidup beriman terletak pada penghayatan bukan wacana atau omongan. Sabda Yesus hari ini juga mengingatkan kita semua agar kita `memikul salib kita masing-masing setiap hari', artinya melakukan tugas pekerjaan atau kewajiban kita masing-masing setiap hari sebaik mungkin dan sampai tuntas, selesai atau sukses. Untuk itu kita memang harus siap sedia disalibkan, antara lain dengan mempersembahkan pikiran, tenaga, derap langkah seutuhnya pada tugas pekerjaan maupun kewajiban kita masing-masing, tidak menyeleweng atau berselingkuh.
"Kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah", demikian peringatan Paulus kepada umat di Galatia, kepada kita semua umat beriman, keturunan Abraham. Marilah kita ingat dan kenangkan bahwa bapa Abraham antara lain bertindak tanpa dasar pikiran yang kuat atau tak dapat dimengerti oleh akal sehat, melainkan bertindak atas dasar harapan, sesuatu yang tak kelihatan dan menjanjikan. Memang apa yang menjanjikan dan belum/tak kelihatan pada umumnya menggairahkan hidup dan bertindak seseorang, dengan kata lain orang yang bersangkutan sungguh memiliki dan menghayati keutamaan harapan dalam cara hidup dan cara bertindak. Berharap untuk menjadi kaya pada umumnya orang bekerja keras dan bergairah, berharap bertemu yang terkasih pada umumnya orang gembira dan bergairah, dst.., namun setelah menjadi kaya atau bertemu dengan yang terkasih dapat menjadi lain, mungkin lesu dan tak bergairah lagi.
Janji Allah tidak pernah mengecewakan dan ketika terlaksana tidak akan membuat kita lesu atau tak bergairah, yaitu keselamatan jiwa kita. Maka marilah kita persembahkan pikiran, tenaga dan langkah kita demi keselamatan jiwa kita sendiri maupun sesama atau saudara-saudari kita. Dengan kata lain hendaknya keselamatan jiwa menjadi barometer atau ukuran kesuksesan pelayanan, kerja atau pelaksanaan tugas dan kewajiban kita sendiri maupun bersama-sama. Marilah kita sadari dan hayati bahwa kita mengimani Yesus yang telah mempersembahkan hidupNya dengan wafat di kayu salib demi keselamatan jiwa kita semua, keselamatan seluruh dunia. Ia tidak memikirkan kepentingan pribadi, apalagi mengutamakan diri pribadi. Janji Allah adalah keselamatan jiwa atau hidup mulia selamanya di sorga, dan janji tersebut akan terwujud atau menjadi nyata jika kita siap sedia bekerja sama dengan mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah dalam hidup sehari-hari, senantiasa berusaha hidup suci dan berkenan pada Yang Ilahi.
"Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu. Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, dan dengan bibir yang bersorak-sorai mulutku memuji-muji…. sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai. Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku "
(Mzm 63:5-6.8-9) .
Jakarta, 20 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar